Mentari sepenggalah ketika rd.angglarang
menginjakan kakinya disebuah tanjung berpasir putih, tanjung itu bernama wahina
terletak tiga kilometer dari kerajaan jayapurantala, ibu kota kerajaan yang
terletak disebuah kepulauan berbentuk kepala burung dengan pegunungan
legendaris “jaya wijaya” dimana salju abadi senantiasa melingkupi puncak gunung
tersebut.
“itukah pegunungan jaya
wijaya, yang pernah diceritakan ayahanda linggabuana..”
Membatin rd. anggalarang,
pemuda gagah berbaju putih calon raja padjajaran yang tengah menjalankan lelaku
atau ritual pengembaraan selama satu tahun sebelum dirinya diangkat menjadi
prabu ditatar sunda ini pindahkan buntalan bututnya dibahu kiri, kemudian
dengan ringan melangkahkan kaki menuju kearah selatan dimana meremang tersaput
kabut sebuah puncak pegunungan yang selalu dilingkupi salju abadi, pemuda ini
tidak menyadari dari tadi sepasang mata mengawasinya dengan tajam, begitu
anggalarang lesatkan badannya kearah selatan sosok yang ternyata seorang dara
jelita berbaju ungu keluar dari tempat persembunyiannya.
“pemuda itu bukan orang
sembarangan, ini kali usahaku harus berhasil..”
Setelah termenung beberapa
saat, dara ayu berbaju ungu ini lesatkan badannya yang ramping kearah dimana
rd.anggalarang pergi.
ooooOoooo
Padepokan yang terletak disebuah bukit
cadas ini selalu ramai dengan aktifitas anak-anak didiknya, seperti ini kali
beberapa anak murid padepokan padas
sancang tengah menggelar acara tahunan, yaitu tanding jurit olah kanuragan
antara berbagai perguruan yang berada di wilayah kerajaan jaya purantala,
seorang lelaki tua dengan jangut memutih terlihat melesat dari tempat duduknya
dengan sebat sosok rentanya jungkir balik diudara dan dengan ringan jejakan
kaki diatas arena tanding jurit.
“para tetua dari berbagai
aliran, saya daeng paturanggi, ketua padepokan padas sancang dengan rendah hati
membuka acara tahunan tanding jurit persahabatan seluruh padepokan yang ada diwilayah
kerajaan jaya purantala, silahkan para ketua padepokan yang telah siap harap
tampil ke arena..”
Ujar daeng paturanggi
lantang, namun alangkah terkejutnya pemimpin padepokan padas sancang ini,
mendadak Susana alam yang semula hangat terkena sinar mentari pagi kini
perlahan tapi pasti meredup disusul munculnya titik-titik salju yang entah
datang dari mana turun dengan derasnya membuat orang-orang yang berkumpul di
sekeliling arena tanding jurit menggigil kedinginan, beberapa orang yang
memiliki tenaga inti tanggung seketika langsung ambruk dengan darah kental
keluar sari mata, hidung dan telinga dan beberapa yang lainnya langsung membeku
menjadi patung es,
Melihat hal itu, ketua
padepokan padas sancang, daeng paturanggi langsung kerahkan tenaga inti yang
bersumber dari pusarnya, bias kuning keperakan terlihat menjalar dari ujung
kaki sang ketua padepokan padas sancang dan begitu orang tua ini kibaskan
lengan jubahnya ledakan keras membahana terdengar diarena tanding jurit..
“BLLLLLAAAAAMMMMM….!!!!”
Arena tanding jurit
berguncang hebat seperti terkena gempa, tapi orang-orang yang semula membeku
kini bisa menggerakan anggota badannya sedang yang telah terlanjur ambruk
dengan mata, telinga dan hidung yang masih mengucurkan darah kental terlihat
terlempar berseliweran keluar dari gelanggang tanding jurit, dan ditengah arena
tanding jurit tampak satu sosok berselempang kain putih berdiri dengan jumawa.
“resi.drupada..kenapa andika
mengacaukan acara kami..”
Ujar daeng paturanggi dengan
lantang, hingga efek dari tenaga intinya mampu mengibarkan sedikit ujung kain
putih yang dipakai orang yang bernama resi drupada ini.
“tenaga inti mu sudah banyak
kemajuan, daeng paturanggi..tapi sayang ilmu murahan itu Cuma bisa menakuti
anak bau kencur..”
Daeng paturanggi terlihat
mengepalkan telapak tanganya, tapi batin ketua padepokan padas sancang ini
sadar orang tengah memancing emosinya, setelah menarik napas dalam orang tua
dengan janggut putih berkibar ini teruskan ucapannya.
“resi drupada, kami tidak
ada silang sengketa dengan andika..harap jangan membuat keributan di tempat ini..”
Orang yang dipanggil
resi.drupada ini lantas tuding telunjuknya tepat-tepat kearah daeng
paturanggi..
“daeng paturanggi karena
fitnahmu aku dan anakku dhanawa gandrung terusir dari istana jaya
purantala..apa kau masih menyebut tidak ada silang sengketa..manusia licik…”
Merah padam wajah daeng
paturanggi mendengar ucapan resi.drupada, apalagi ucapan yang diteriakan dengan tenaga
inti ini terdengar sangat keras dan membahana disesantro arena tanding jurit.
“resi.drupada..karena ulah
anakmu sendiri..mengacau dimana-mana mengumbar ilmu dan menundukan berbagai
aliran dan padepokan.apakah salah jika kami melakukan hal itu..”
“jangan banyak lagak. Daeng
paturanggi..hari ini aku datang untuk menuntaskan urusan itu..bersiaplah..jaga
serangan ku..”
Diawali deru angin yang
keras, resi.drupada kembangkan telapak tangan kanannya dan dengan sebat melesat
menggempur daeng paturanggi, detik berikutnya pertarungan sengit pecah antara
daeng paturanggi dengan resi. Drupada.
Dengan ganas resi.drupada bekas penasehat
kerajaan ini lentingkan badannya keatas, jungkir balik beberapa kali diudara
dan dengan sebat sabetkan tasbeh besar yang digenggamnya kearah batok kepala
daeng paturanggi.
“trraaaaakkk…trraaaaakkk…!!”
Daeng paturanggi, putar
tongkat kayu dari pohon jana keling dengan cepat keatas, bentrokan antara
senjata mustikaitu sangat dahsyat hingga menimbulkan gemuruh dan kilat
disekeliling arena tanding jurit.
Seratus jurus telah berlalu,
memasuki jurus berikutnya sebuah sambaran yang mengarah kaki daeng paturanggi
terasa dingin mencucuk persendian, dengan cepat ketua padepokan padas sancang
ini lompat sejengkal keudara, namun rupanya itu Cuma serangan pancingan dari
resi drupada karena serangan yang sebenarnya datang dari atas.
“brruuaakkk..!!”
Sebuah jatuhan tumit telak
mengenai bahu kiri daeng paturanggi membuat orang tua dengan janggut putih
berkibar jatuh berlitut diatas arena tanding jurit, mengetahui hal itu. Resi
drupada tidak mau membuang kesempatan dengan sebat babatkan tasbeh besarnya
kearah kepala daeng paturanggi..
“beeeerrrrreeeeesssss…!!!”
Resi derupada merasakan
sabetan tasbehnya mengenai sesuatu yang lunak dan empuk seperti kapas, hingga
dengan cepat tarik tasbehnya menghindari dorongan yang berbalik kearah dirinya,
“siapa kau anak muda..ikut
campur urusan kami..”
Bentak resi.drupada manakala
mengetahui tasbeh besar yang disangka menghantam kepala daeng paturanggi
ternyata terganjal oleh sebilah keris yang digenggam oleh seorang pemuda baju
putih yang entah dari mana datanggnya telah berdiri di tengah arena dengan buntalan
butut di bahu kirinya.
“maap kan saya paman, bukan
bermaksud campur tangan.tapi menyerang lawan yang sudah tidak berdaya apakah
pantas dilakukan oleh seorang pendekar..”
“jangan sok jadi pahlawan
kau anak muda..menepilah ini urusan kami berdua..”
Pemuda gagah berbaju putih
yang tak lain dari anggalarang Cuma rangkapkan tangannya didepan dada, hal itu
sudah cukup memberi tanda resi drupada orang menantang dirinya.
“ aku resi drupada, sebut
siapa dirimu..aku pantang menghabisi orang yang tidak jelas..”
Sentak resi drupada lantang
sambil kembali mempersiapkan tasbeh besar yang urung digunakan menghantam
kepala daeng paturanggi.
“saya anggalarang dari tanah
jawadwipa..”
“bagus..abu jenazahmu akan
ku kirim kesana..”
“berusahalah tuan resi..agar
dupa tetap menyala dipadepokan andhika..”
Resi drupada kembali putar
tasbeh besar dengan tangan kirinya, sedang telapak tangan kanan dikembangkan
kedepan inilah jurus kincir langit
yang pernah menggegerkan dunia persilatan pada masanya.
Mengetahui lawan
mengeluarkan jurus andalan, anggalarang cabut keris mustika milik mahapatih gadjah mada yang sebelum berangkat
mengembara diberikan pamannya sang bunisora suradipati.
(ihwal keris mustika
mahapatih Gadjah mada yang kini berada ditangan anggalarang, silahkan baca dari
episode: prajapati wilwatikta, pinangan berdarah sampai tragedy patrem saka domas, pen)
Didahului bentakan nyaring,
resi drupada sabetkan tasbeh besar kearah anggalarang yang dengan sebat tusukan
keris kearah depan, pertarungan tingkat tinggipun pecah.
Kita tinggalkan sejenak arena tanding jurit
Jauh dipuncak pegunungan
jaya wijaya, seorang lelaki separuh baya dengan rambut putih dijalin kebelakang
terlihat khusuk bersemadi ditengah guyuran salju yang deras, suhu udara
disekitar sangat dingin mencucuk persendian bahkan tetesan air diujung daun
tampak membeku saking minesnya suhu ditempat itu, namun sosok yang duduk
bersila ini seakan tidak memperdulikan alam sekitar, tetap bersila
mengheningkan jiwa raga asa dan karsanya pada sang maha pemilik kehidupan,
sementara itu dimulut sebuah goa seorang pemuda umur duabelas tahun tampak
gelisah memandang sosok yang sedang khusuk bersemadi itu.
“sampai kapan paman wong
agung manok wari menghentikan semadinya, sudah seminggu lamanya aku berada
ditempat celaka ini..kalau tidak mengingat amanat bopo..sudah dari kemarin aku
tinggalkan tempat ini..”
Membatin sang pemuda sambil
merapatkan pakaian tebal ditubuhnya
“sebaiknya aku tinggalkan
saja tempat ini..terserah bopo mau bilang apa..”
Memikir sampai disitu,
pemuda tanggung dengan rambut panjang dijalin kebelakang ini lagkahkan kakinya
meninggalkan goa menerjang gumpalan salju yang menutupi perjalanannya
Sekitar seratus langkah
pemuda ini menerjang gumpalan salju meninggalkan goa, mendadak langkahnya
terhenti didepan sana terpaut tiga langkah orang berambut putih dijalin
kebelakang yang tengah semadi tampak didepannya dirinya masih dalam posisi
semula.
“benar kata bopo, paman
manok wari memiliki ilmu pemindah jasad
unsur salju..” membatin sang pemuda, belum selesai dengan dialog bhatinnya
pemuda ini dikejutkan oleh sebuah suara yang menggema disekelilingnya
“dhanawa gandrung, katakana
ada keperluan apa kau menemui saya..”
Pemuda ini tercekat, jelas
dia melihat sosok yang ada dihadapannya masih diam dalam semadi tapi gema
suaranya bisa didengarnya dengan jelas menggema ditempat itu.
“paman bangunlah dulu dari
semadimu..” ujar dhanawa gandrung pelan
“katakana saja dhanawa
gandrung, apa kau kemari disuruh resi drupada bopo mu..”
“paman sudah
mengetahuinya..”
“jawabannya..tunggulah
sepuluh tahun lagi..baru kau datang lagi kemari..”
“terlalu lama paman, bopo
menghendakinya sekarang..”
“sifat manusia tidak pernah puas
seakan hidup sendiri didunia ini, sehebat apapun ilmu didunia jika sang maha
pemilik hidup tidak berkehendak semuanya tinggal onggokan jasad tiada
guna..sadarlah dhanawa gandrung..kembalilah ke awal langkah mu..”
“paman aku bukan untuk
mendengar kotbah..cepat pinjamkan kitab pusaka inti salju itu..”
Sosok wong agung manok wari untuk pertama
kalinya buka kedua kelopak mata yang sedari tadi terpejam, dipandanginya pemuda
dihadapannya dengan tajam
“dengar dhanawa gandrung,
bopo mu pernah meminta pada saya untuk mengangkat mu sebagai murid, tapi karena
sifat serakah dirimu yang ingin jadi pendekar tangguh penguasa rimba persilatan
hingga bopomu diasingkan oleh pihak kedaton jaya purantala karena sepak
terjangmu..maka ketahuilah..kitab pusaka inti
salju tidak berjodoh dengan dirimu..sekarang pulanglah..renungi semua
kesalahan..”
“paman aku tidak perduli
dengan semua itu..karena akupun tidak sudi menjadi murid mu..aku pendekar
besar..siapa yang tak mengenalku..penakluk semua aliran persilatan, kelak aku akan
mendirikan partai lintas aliran telaga
biru dan menguasai dunia persilatan..”
Selesai dengan ucapannya
dhanawa gandrung jejakan kakinya kesalju yang dalam sekejapan mata sosoknya
terlihat puluhan mil menuruni lereng puncak jaya wijaya.
ooooOoooo
Tanding jurit antara rd.anggalarang dan
resi drupada terus berlanjut, namun diam-diam orang tua berselempang kain putih
ini merasa jerih, walau yang dihadapinya hanyalah seorang anak muda namun
ketika bentrok tenaga inti terjadi resi drupada merasakan tangannya kesemutan
serta aliran darahnya sedikit terganggu, menyadari lawan setingkat lebih tinggi
olah kanuragannya, resi drupada segera merubah posisi kuda-kudanya dan dalam
satu kesempatan tubuh orang tua berselempang kain putih ini lentingkan badannya
kebelakang lalu secepat kilat tinggalkan arena tanding jurit.
“terimakasih tuan pendekar
atas pertolongannya..”
Ujar daeng paturanggi tertatih menghampiri anggalarang sambil
dipapah beberapa anak muridnya
“tidak perlu sungkan paman,
tolong-menolong sesama mahluk tuhan merupakan sebuah hal yang lumrah dirimba
persilatan..”
“siapakan tuan pendekar
ini..aku atas nama ketua padepokan padas sancang merasa berhutang budi”
“saya anggalarang, pengelana
biasa.tak usah mengungkit budi paman yang hanya akan memberatkan langkah saya
kelak.”
“singgahlah beberapa hari
dipadepokan kami tuan anggalarang..”
“terimakasih atas kemurahan
hati paman..”
Disaat yang sama sekelebatan
bayangan ungu dengan ringan hadir ditempat itu yang langsung menubruk tubuh
daeng paturanggi.
“ayah apa yang
terjadi..siapa yang melakukan semua ini..”
Ujar sosok ramping berbaju
ungu yang ternyata seorang dara ayu berkulit sawo matang.
“mindi wahi..kau datang
anakku..”
“iya ayah..apakah pemuda itu
yang membuat ayah terluka..”
Sentak mindi wahi sambil pandang
rd.anggalarang dengan tajam lantas hunus pedang yang tergantung dipinggangnya
“sarungkan pedang mu
anakku..dialah tuan pendekar yang menolong kita..” ujar daeng paturanggi lirih
“oh..maapkan saya tuan
pendekar..terimakasih telah menolong ayah ..”
“tidak mengapa nyisanak.
Mindi wahi..”
“mindi wahi, siapkan ruang
peristirahatan buat tamu kita..”
“baik ayah..”
Dara ayu berkulit sawo
matang ini lantas berlalu dari hadapan ayahnya, bersaman dengan datangnya
rembang petang melingkupi kawasan lereng bukit dimana padepokan padas sancang
berada.
Ditempat lain, dhanawa gandrung yang gagal
mendapatkan kitab mustika inti salju
milik wong agung manokwari telah sampai disebuah lembah nan menghijau, penduduk
sekitar menamai lembah itu baliem dan
disaat yang sama resi.drupada pun telah sampai dikawasan lembah baliem.
“dhanawa gandrung..apa kau
berhasil mendapatkan kitab mustika itu..”
“maap bopo, aku gagal..malah
paman manok wari mengusir ku..”
“terlalu..paman mu
itu..sudahlah dhanawa gandrung, sekarang pergilah kekepulauan seram..dan
tundukan aliran silat yang ada disana bawa seluruh anak buahmu..”
“baik bopo, aku akan ke desa
hitu wali menemui bajul saketi..”
Resi drupada hanya
mengangguk, tak lama sosok keduanya tampak melesat ke jurusan yang berbeda.
ooooOoooo
Di dalam bilik yang disediakan daeng
maturanggi, rd. anggalarang terlihat duduk bersila diatas bale terbuat dari
rotan yang dialasi daun pandan kering, mata pemuda gagah ini tak lepas dari
sebilah keris eluk Sembilan yang berada dalam genggaman tangan kanannya, keris
yang memancarkan aura biru itu milik mahapatih. Gadjah mada yang diserahkan
pamannya mangkubumi bunisora ketika meninggalkan kedaton padjajaran untuk
menjalankan lelaku pengembaraan selama satu tahun sebelum dirinya memangku
jabatan prabu menggantikan ayah handanya prabu.linggabuana yang telah mangkat
tewas di palagan bubat.
“apa maksud patih majapahit
itu menyerahkan kerisnya pada
diriku..tanpa memberikan kerisnya pada pihak padjajaran, kelak aku tetap
menantangnya duel, tewasnya ramanda linggabuana dan kakang mbok dyah pitaloka
hanya bisa dituntaskan diujung maut bagi gadjah mada..”
Anggalarang terus termenung
memandangi bilah keris milik gadjahmada, gejolak jiwa mudanya membuncah sampai
ke ubun-ubun ketika nama gadjahmada terlintas dalam benaknya, mendadak telinga
tajam anggalarang mendengar desingan mencurigakan yang mengarah dirinya, dengan
cepat anggalarang sabetkan keris yang dipegangnya.
“traaang..traaaang…tranggg..!!”
Terdengar
benturan benda tajam memekakan telinga begitu puluhan bayangan perak beradu
dengan badan keris, dengan sigap anggalarang lentingkan badannya menembus atap
yang terbuat dari anyaman daun rumbia, begitu jejakan kakinya diatas atap
sekelebatan bayangan hitam tampak melesat sebat kearah timur, tanpa pikir
panjang anggalarang melesat mengejar bayangan hitam yang barusan menyerangnya
dengan puluhan pisau terbang.
Kejar mengejar
antara anggalarang dan bayangan hitam terjadi, namun mendadak pemuda calon
prabu padjajaran ini hentikan larinya senyum simpul tersungging disudut
bibirnya, ketika bayangan hitam melesat menembus belukar didepannya,
anggalarang lentingkan badannya kearah berlawanan.
Bayangan hitam terlihat menghentikan larinya,
dihadapannya terbentang sebuah bibir jurang yang lebar, dan tanpa ragu
lentingkan badannya menghambur masuk kedalam jurang, disaat bersamaan sosok
lain terlihat jejakkan kakinya dengan ringan ditempat itu.
“hem..betul
dugaan ku..jurus tipuan yang bagus, sangat berbahaya menuruni jurang dalam
kegelapan, lebih bagus aku tunggu sampai besok pagi..”
Memikir sampai
disitu sosok pemuda yang tak lain dari anggalarang lentingkan badannya keatas
sebuah cabang pohon handaru yang banyak tumbuh disekitar jurang, sambil
menunggu pagi pemuda ini sandarkan punggungnya disalah satu cabang pohon.
Sementara jauh
didasar jurang, sosok bayangan hitam terlihat duduk bersila dimana sebuah goa
batu pualam berwarna biru berada, tak lama satu sosok berselempang kain putih
melesat dari dalam goa dan berdiri dihadapan sosok bayangan hitam.
“apa tugas mu
sudah beres mindi wahi..”
“maap guru, saya
gagal..pemuda jawadwipa itu memiliki kanuragan satu tingkat diatas saya..malah
kami sempat adu lari dengan pemuda itu..”
“apa dia tahu,
kau menuju tempat ini..”
“jurus muslihat bayangan yang diajarkan guru
sangat ampuh, saya yakin pemuda itu kini tengah kebingungan..”
“kau memang
muridku yang paling cerdik mindi wahi..”
“tapi guru..saya
khawatir.lambat laun ayahku mengetahui, saya berguru pada dirimu..”
“kau tidak usah
khawatir, begitu aku bisa kembali kekedaton jayapurantala padepokan padas
sancang akan aku berikan pada dirimu..”
“saya tidak
menghendaki padepokan itu guru, aji raga
gegana yang saya kehendaki..”
“kaupun bisa
mendapatkanya sekarang, tapi Cuma bertahan empat puluh hari saja..bagaimana..”
“maksud guru,
setelah empat puluh hari ilmu itu akan musnah..”
“kau bisa
mencari ku, untuk mendapatkan ilmu itu kembali..”
“baiklah
guru..saya bersedia..”
“bagus..dan
tugasmu berikutnya, menjadi mata-mata di kedaton jaya purantala..”
ooooOoooo
mentari baru saja menampakkan sinarnya,
rd. anggalarang yang masih terkantuk diatas cabang pohon tampak rentangkan
tangannya menusir penat, mendadak matanya yang tajam melihat sesuatu berkelebat
dari dalam jurang, seekor burung merpati putih dengan ringan melesat dari dalam
jurang kemudian dengan cepat terbang kearah selatan.
“ah..mungkin
merpati itu,bersarang disalah satu dinding jurang..” gumam anggalarang yang
dengan sigap jejakan kakinya kembali dengan ringan ketanah
“jurang ini
sangat dalam, pandangan ku terhalang kabut tebal yang menaungi
pertengahannya..tapi sosok bayangan hitam belum juga muncul..apa aku harus
turun kebawah sana, aku harus tahu alasan orang itu menyerang diriku dengan
pisau terbangnya..”
Memikir sampai
disitu anggalarang lantas julurkan kepalanya kebibir jurang, seketika hawa
sedingin es menyergap tubuhnya.
“apa dengan
meniti akar-akar ini, aku bisa mencapai dasar..”
Dengan sigap
anggalarang meniti akar-akar pohon yang berseliweran dibibir jurang, perlahan
tubuhnya meluncur kebawah, tapi begitu hendak mencapai pertengahan jurang yang
dinaungi kabut tebal..kakinya merasakan ada yang membetot dengan keras pegangan
tangannya pada akar terlepas..tak ayal tubuh pemuda ini dengan cepat meluncur
kedasar jurang.
Tubuh
anggalarang terus meluncur dengan cepat, ketika hendak mencapai dasar jurang
anggalarang merasakan tubuhnya berputar dengan cepat lalu dengan keras
terbanting ketanah
“pucuk dicinta
maut tiba..kau datang mengantarkan nyawamu..pemuda jawadwipa..”
“resi drupada..”
“hahaha..bagus
kau masih mengenalku..”
“jadi kau yang
mengerang ku dengan pisau terbang itu..”
“sudahlah..tidak
usah banyak cakap, kekalahanku di arena tanding jurit kemarin akan kau bayar dengan
nyawa mu disini..” ujar resi drupada sambil putar tasbeh besarnya keudara,
mendadak untaian tasbeh besar ini meledak dan dari asap ledakan muncul puluhan
mahluk mengerikan yang dengan sangar menyerang anggalarang.
“bala pakewuh..” ujap anggalarang yang
dengan cepat pasang kuda-kuda pertahanan, kemudian cabut kujang emas dari balik
baju putihnya.
Puluhan mahluk
mengerikan ini dengan ganas menyerang anggalarang, kujang emas berkiblat dan
dalam hitungan detik sepuluh mahluk mengerikan hancur cerai-berai tapi dengan
cepat kembali kebentuk semula malah lebih banyak lagi, anggalarang terkesiap
dia rubah jurus pertahanannya, lalu lentingkan badannya keudara kembali kujang
emas berkiblat membabat puluhan mahluk parewangan ini, tapi semakin dibabat
hancur semakin bertambah banyak mahluk yang menyerang dirinya, sehebat apapun
seseorang menghadapi serangan yang bertubi-tubi akan kelelahan juga, begitupun
dengan anggalarang pakaian yang dikenakannya tampak robek disana-sini, lelehan
darah merembes dari kulit yang terkena cakaran mahluk parewangan’ disaat
seperti itu dari pinggang kanan anggalarang membersit sinar berwarna biru dan
dengan cepat membabat semua mahluk yang menyerangnya.
Dalam sekejap
sinar biru memporak-porandakan puluhan mahluk yang menyerang anggalarang tanpa
bisa bangkit kembali, begitu mahluk mengerikan hilang sinar biru ini kembali
kepinggang kanan anggalarang.
“terimakasih
kyai..atas bantuannya..”
Ujar anggalarang
sambil usap pinggang kanannya dimana keris mustika milik mahapatih Gadjah mada
terselip.
“hem..resi
drupada..melarikan diri..”
Karena tidak
adalagi yang dilakukan ditempat itu, anggalarang jejakan kakinya kelantai gua
pualam biru dan dengan cepat sosoknya terlihat meluncur menembus kabut tebal
yang menaungi pertengahan jurang.
ooooOoooo
salam bhumi
deres mili
akan datang:
Sengketa Tanah Semenanjung
ditunggu kisah selanjutnya kang mas....... :)
BalasHapusnuhun kang kunjungan dan testimoninya kang ceceppp
BalasHapusnuhun kunjungannya kang ceceppp..jaga episode selanjutnya..
BalasHapus