KONTAK SAYA

Email Twitter Facebook

TELUSURI

GALERI FOTO

Kategori Arsip Daftar Isi

MULAI DARI SINI

Pelayanan Portfolio Pembayaran

Jumat, 28 Oktober 2011

EMBUN MERAH SEMENANJUNG HIMALAYA


     Bulir-bulir salju perlahan menitik dari angkasa menerpa kepala dua sosok tubuh yang tampak duduk bersila diatas sebuah tebing batu yang curam, tak menunggu lama gundukan salju terlihat menyelimuti sekujur tubuh keduanya hingga sebatas leher, namun kedua pemuda berambut gondrong ini seakan tak memperdulikan dinginnya salju dan terpaan angin yang seakan membeset permukaan kulit bak sembilu itu, kedua sosok ini tetap tak bergeming seolah gundukan batu karang yang kokoh.
Tak lama dari empat penjuru mata angin menderu dengan dahsyat kilatan-kilatan berwarna keperakan mengurung kedua sosok ini dengan cepat, saking cepatnya kilatan-kilatan berwarna keperakan ini tampak berpendar kesegala arah
“Dhhhhuuuaaaarrrr…!!”
Dentuman keras menggelegar mengguncang tempat dimana kedua sosok ini masih duduk bersila dengan gundukan salju yang membenamkan keduanya hingga leher, titik-titik salju semakin rapat turun dari langit, detik berikutnya kawasan itu dilanda badai salju yang ganas hingga radius seratus meter.

Tiga bulan kemudian

     Sosok kerempeng dengan selempang kain putih tampak melangkah dengan tenang diantara bulir-bulir salju yang menitik dari angkasa, gundukan salju yang berada didepannya seakan bagai gumpalan kapuk yang lunak diterjangnya dengan mudah, tiga langkah dihadapan sebuah gundukan salju yang besar sosok kerempeng dengan selempang kain putih ini hentikan langkahnya.
“keluarlah, masa pertapaan kalian telah usai..”
Walau pelan ucapan yang keluar dari bibir orang tua berselempang kain putih ini namun mampu menggetarkan gundukan bongkahan salju dihadapanya hingga luruh kebawah, dan dari dalam gundukan salju terlihat dua sosok tubuh  dalam posisi bersila.
“sifu zen..”
Ucap kedua pemuda ini bersamaan, sambil rangkapkan kedua tangan masing-masing didepan dada
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil sifu zein ini Cuma tersenyum simpul
“murid-murid ku.. perlihatkan padaku hasil dari latihan kalian..windu kuntoro kau duluan..”
“baik sifu zen..”
Pemuda gagah bernama windu kuntoro ini lantas rangkapkan kedua tanganya didepan dada detik berikutnya sosoknya tampak melesat keatas jungkir balik beberapa kali diudara dan begitu kebut telapak tangan kanannya kedepan seberkas sinar putih kebiruan melesat dari telapak tanganya dan dengan dahsyat menerpa sebatang pohon pinus hingga menjadi bubuk berwarna biru.
“jurus kuntum kilat melecut ragamu nyaris sempurna, windu kuntoro kau harus banyak berlatih hingga tingkat ketiga bisa kau kuasai..”
“baik sifu..”
“nah sekarang giliran mu lindu bergola..”
Pemuda dengan perawakan jangkung ini rangkapkan kedua tangannya didada dan dalam satu kelebatan sosoknya tampak menjadi tujuh bayangan yang berbeda.
“lindu bergola, jurus tujuh bayanganmu sudah sempurna..murid-muridku kemarilah ada sesuatu yang musti kalian ketahui..”
Kedua pemuda ini lantas duduk bersila diatas salju dihadapan gurunya
Sifu zen lantas memasukan tangannya dibalik kain putih, dua buah benda tampak berada dalam kedua tangannya
“kitab pusaka mustika halilintar ini baru akan aku berikan begitu jurus kuntum kilat melecut raga level pertama bisa kau sempurnakan windu kuntoro, dan batu bintang sangga buana ini bisa dijadikan pedang mustika paling hebat bila jurus tujuh bayangan lindu bergola telah mencapai level ketujuh..sekarang kalian boleh beristirahat..”
“baik sifu..”
Ujar windu kuntoro dan lindu bergola bersamaan, namun begitu orang tua berselempang kain putih ini balikan badan, tak disangka secara bersamaan kedua pemuda ini lancarkan serangan mematikan dan telak mengenai anggota badan yang sangat vital dari sifu zen,  tubuh orang tua ini seketika ambruk diatas salju genangan merah terlihat menetes dari sela-sela bibir orang tua ini menetes diatas hamparan putihnya salju, yang seketika menjadi merah.
“durjana apa..apa..yang..kalian lakuka..kan..”
Ujar orang tua berselempang kain putih ini terbata-bata
Tapi tanpa belas kasihan kedua pemuda ini kembali menyerang secara serentak, hingga detik berikutnya sifu zen terkapar diatas salju, nyawanya putus sudah dengan meninggalkan tanda Tanya dalam hatinya, mengapa kedua muridnya begitu tega menghabisi dirinya.
Sementara itu, setelah membunuh sang guru windu kuntoro dengan cepat ambil kedua benda yaitu kitab pusaka mustika halilintar dan batu bulan sangga buana .dan dengan cepat lesatkan badannya keudara tanpa memperdulikan teriakan dan caci maki dari lindu bergola.
Wiku dharma persada sesaat usap wajahnya
“begitulah ceritanya sanjaya, setelah aku kembli ketanah jawadwipa batu bulan sangga buana secara gaib raib dan hilang dari tanganku, dan entah bagaimana ceritanya batu bulan itu berada dimajapahit dan dimiliki seorang pembesar keraton, tapi mudah-mudahan dengan kau menyerahkan batu bulan yang sekarang sudah jadi sebilah pedang,  lindu bergola atau pertapa sapta raga bisa maklum dan berkenan mengangkatmu menjadi muridnya..”
Wejangan dan cerita wiku dharma persada pada sanjaya yang akan berangkat ketanah Hindustan itu masih terngiang ditelinga sanjaya yang kini telah berada ditanah Hindustan dalam rangka menyambangi pertapa sapta raga agar dirinya dapat diangkat menjadi murid dari sang pertapa untuk menandingi jurus kuntum kilat melecut raga level ketiga kepunyaan manggala si arit iblis.
(harap baca episode pertama: Rajah Kala Cakra, pen)

ooooOoooo

     Senja temaram melingkupi kawasan jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya, ketika sanjaya dan pemuda yang baru dikenalnya rajes menginjakan kaki disebuah tebing yang curam dimana sejauh mata memandang hanya hamparan bebatuan yang berlumut tebal, hembusan angin tampak megibarkan rambut gondrong dari sanjaya.
“tuan pendekar saya hanya bisa mengantar sampai disini..”
“rajes engapa dirimu seperti ketakutan..”
“tuan pendekar, seperti yang pernah saya katakana ditempat inilah pertamakali saya bersekutu dengan iblis dan mendapat kutukan , tuan pendekar saran saya urungkan saja niat anda..”
Seperti tak mengacuhkan ucapan rajes, pemuda gagah dengan parut melintang dipipi kirinya ini langkahkan kaki lebih dekat kebibir jurang, diambilnya sebongkah batu yang cukup besar lalu dilemparnya kebawah, lama pemuda ini menunggu namun suara yang diharapkannya tak kunjung terdengar, yang menandakan betapa dalamnya jurang yang menganga dihadapannya ini
Dengan hati-hati sanjaya melongok kan kepalanya dibibir jurang, sebersit hawa sedingin es langsung menyergapnya.
“rajes ceritakan padaku tentang iblis yang bersekutu dengan dirimu itu..”
“baiklah tuan pendekar, mungkin setelah mendengar kisah saya, tuan pendekar akan mengurungkan niat berurusan dengan mahluk ditempat ini….”

Rabu, 12 Oktober 2011

PRAJA PATI WILWATIKTA


     Hembusan angin timur dari lereng pegunungan arjuna begitu menyejukan, dari lamping bukit seorang pemuda berparas gagah terlihat berdiri dipinggir tebing yang menjorok kelembah dimana sebuah perdikan yang dikelilingi hutan pinus tampak meremang tersaput kabut senja hari, sesaat pemuda berbaju hitam ini betulkan letak buntalannya di punggung sebelah kiri, matanya terus mengawasi perdikan dikaki gunung arjuna itu.
“welangun, inikah perdikan dimana aku dilahirkan..”
Gumam pemuda berbaju hitam yang tak lain dari sungging prabangkara, setelah beberapa hari lalu dari kota raja majapahit dimana pemuda ini tanpa sengaja memperoleh anugrah dari prabu hajam wuruk yang merasa berkenan dengan lukisan putri  padjajaran dyah pitaloka yang dilukis sungging prabangkara.
“seperti apakah kondisi biungku sekarang..lebih baik aku segera keperdikan itu..”
Dengan sekali jejekan kakinya ketanah sosok sungging prabangkara dalam sekejap terlihat menuruni bukit dengan ringannya, pemuda ini tak menyadari sekelebatan bayangan dengan sebat mengikutinya dari belakang, ketika pemuda berbaju hitam ini mulai memasuki perbatasan perdikan sosok bayangan yang menguntitnya raib diatara rimbunnya pokok-pokok pinus yang melingkar mengelilingi perdikan welangun.
Sungging prabangkara tapak melangkah pelan memasuki gerbang perdikan welangun, dada pemuda gagah ini serasa sesak oleh perasaan rindu terhadap sosok seorang ibu yang selama belasan tahun hanya berada dalam bayangannya saja sesuai dengan yang diceritakan gurunya ketika masih berada dipuncak pegununga semeru.
Disebuah pinggir hutan kecil sungging prabangkara hentikan langkahnya, terpaut sepuluh tombak dihadapanya berdiri satu pondok panggung yang keseluruhanya terbuat dari rotan, di halaman depan terlihat seorang perempuan kurus paruh baya tengah membelah pokok-pokok pinus dengan sebilah golok, sungging tampak tercenung ditempatnya berdiri, kelopak matanya terasa panas dan ketika menarik napas dirasakannya buliran air bening meluncur dipipinya.
“inikah biungku..kasihan dalam umurnya yang mulai sepuh semuanya dikerjakan sendiri..”
Sungging prabangkara seakan terpaku ditempatnya berdiri, matanya terus mengawasi perempuan yang adalah biungnya sendiri itu dengan berbagai perasaan yang berkecamuk  sampai perempuan yang bernama welas ini menyadari ada seseorang yang berdiri mengawasinya, welas lantas berjalan menghampiri sungging prabangkara.

Lisensi

Lisensi Creative Commons
BHUMI DERES MILI by BHUMI DERES MILI is licensed under a Creative Commons Atribusi 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di KANG KUSYOTO, KYT.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http//:www.bhumideresmili.blogspot.com.

Total Tayangan Halaman

About

Pages

Download

Powered By Blogger

Search Box

Popular Posts

Followers