KONTAK SAYA

Email Twitter Facebook

TELUSURI

GALERI FOTO

Kategori Arsip Daftar Isi

MULAI DARI SINI

Pelayanan Portfolio Pembayaran

Minggu, 04 November 2012

KUNTUM TERATAI DI TENGAH BELUKAR

Sosok agung penuh wibawa ini tampak tersenyum penuh welas asih. Pandangan matanya begitu teduh menyejukan kalbu manakala menatap sosok pemuda berbaju putih bercelana hitam ringkas dengan buntalan butut warna hitam di punggung kanannya yang tampak duduk bersila di atas rerumputan.
“Ananda Anggalarang. Bara dendam hanya akan membuat hidup kita berada dalam lingkaran yang menyesatkan. Membutakan mata hati dan pikiran. Menyesakan dada serta menumpulkan hati nurani yang mengakibatkan martabat sebagai manusia menjadi rendah bagai binatang”.
“Tapi ayahanda prabu. Gajah Mada telah merendahkan martabat kesatria-kesatria Padjajaran. Menginjak-injak harga diri kerabat kedaton. Membunuh orang-orang tak berdosa tanpa alasan yang jelas. Apakah saya sebagai generasi trah Padjajara hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apapun untuk mengembalikan wibawa Padjajaran..” ujar Anggalarang lantang namun pandangan dari pemuda gagah ini tetap santun.
“Ananda Anggalarang. Kadang apa yang ananda lihat, dengar dan rasakan belum tentu seperti kenyataannya..”
“Maksud ayahanda prabu..”
“Ananda masih ingat yang di katakana mbok mban Dalem..”
Sesaat Anggalarang kerutkan keningnya. Mencoba mengulas kembali pertemuannya dengan mban pengasuhnya ini.
“Saya ingat ayahanda prabu. Lalu apa yang harus hamba lakukan..”
“Ananda Anggalarang. Ayahanda tidak bermaksud menghalang-halangi tujuan ananda menantang duel dengan Mahapatih Wilwatikta itu. Namun ayahanda juga tidak melarang ananda mengembalikan kewibawaan Padjajaran..”
“Saya mengerti ayahanda prabu..” ujar Anggalarang pelan.
“Ananda Anggalarang. Ada baiknya sebelum ananda melaksanakan apa yang menjadi tekad dan tujuan. Ananda menyambangi perdikan Welangun di kaki sebelah tenggara pegunungan Arjuna..”
“Saya juga mempunyai pemikiran seperti itu ayahanda prabu..”
“Nah ananda Anggalarang. Ayahanda pamit..”
“Ayahanda mau kemana..Ayahanda tunggu..Ayahanda..Lingga Buana..Ayahanda..Ayahanda..”

Anggalarang tersentak dari pembaringannya. Peluh sebesar biji jagung terlihat mengucur deras dari pori-pori di sekujur tubuhnya. Pemuda gagah ini lantas bangun dari tidurnya. Di kucak-kucaknya kedua matanya dengan punggung tangan kanannya. Begitu pikirannya mulai jernih. Pemuda ini lantas membasuh mukanya di aliran sungai yang membentang di hadapannya.
“Ahh..rupanya hanya mimpi. Tapi seakan begitu jelas dan nyata…” gumam Anggalarang sambil memandang aliran air sungai berbatu nan bening di depannya.
“Perdikan Welangun. Lebih baik aku segera ke sana..” membatin Anggalarang. Pemuda gagah ini lantas silangkan buntalan butut di bahu kirinya. Begitu mau meneruskan langkah kaki. Telinganya yang tajam mendengar desingan senjata tajam yang mengarah dirinya. Tak menunggu lama lusinan senjata rahasia berbentuk jarum-jarum halus menderu ke arahnya.
“Triiiingggg…triinggg…trriiinggg…”
Dentingan memekakan telinga terdengar manakala dengan sebat Anggalarang cabut kujang emas dari balik pakaiannya dan dengan senjata mustika ini pula lusinan senjata rahasia jarum halus luruh tersambar sabetan dari kujang emas milik Anggalarang.
Begitu kaki Anggalarang kembali menginjak bumi. Sepuluh orang bercadar hitam telah mengurungnya di tegah-tengah.
“Kalian lagi..apa mau kalian sebenarnya..” sentak Anggalarang yang sudah menyarungkan kembali kujang emas miliknya.
Sosok tinggi besar bercadar hitam yang tempo hari nyaris membunuh Anggalarang dengan jarum panjang halus ini hanya diam. Namun pandanngan matanya tampak menyorot tajam kearah Anggalarang.
“Jangan harap kali ini raden bisa lolos dari kami..” gumam sosok tinggi besar bercadar hitam ini pelan.
“Kalian mengenal ku..siapa kalin ini sebenarnya..” bentak Anggalarang gusar karena sejauh ini belum juga dapat menduga-duga siapa gerombolan bercadar hitam ini. Sementara lawan sepertinya  mengenalnya dengan baik.
“Siapa kami tidak penting raden. Yang terpenting sekarang raden tahu apa yang kami inginkan..”
“Apa salah ku pada kalian. Hingga kalian sangat bernapsu mau membunuh ku..” sentak Anggalarang sambil raba keris milik Gajah Mada yang terselip di pinggang sebelah kanan di balik pakaian putihnya. Tapi entah kenapa pemuda gagah ini membatalkan niatnya dan kembali genggam gagang kujang emas miliknya.
“Semua jawaban itu akan raden ketahui setelah berada di alam baka…” bersamaan dengan ucapannya. Sosok tinggi besar bercadar hitam ini perintahkan ke Sembilan temannya untuk menyerang Anggalarang yang kini telah mencabut kembali kujang emas miliknya di tangan kanannya.
Tanpa di komando dua kali. Kesembilan orang bercadar hitam ini lantas merangsak Anggalarang dengan pedang yang tampak berkilat terkena sinar mentari di pagi hari. Pertempuran tak seimbang pun pecah.
Seratus jurus berlalu. Anggalarang dengan kujang emas di tangan kanannya tampak bertarung dengan gesit. Namun pemuda ini merasa aneh. Semua jurus kanuragan yang di milikinya sepertinya sudah di pelajari kelemahannya oleh lawan-lawannya. Hingga beberapa kali nyaris sambaran pedang mengenai dirinya. Memasuki jurus berikutnya. Tanpa di duga sebuah jarring putih melibat tubunnya seperti beberapa waktu yang lalu. Anggalarang kembali selipkan tangan kanannya kearah pinggang kanan di mana senjata mustika milik Gajah Mada berada. Namun kembali hatinya bimbang untuk menggunakan senjata tersebut. Dengan kujang emas serta dilambari tenaga inti.  Anggalarang mencoba merobek jarring putih ulat sutra yang melibat tubunnya. Namun usahanya sia-sia. Jarring itu seperti di ketahui sangat kuat dan lentur melibatnya. Hanya bilah keris mustika milik Gajah Mada lah yang mampu menjebol dan merobek kuatnya jarring ulat sutra tersebut.
“Aku tidak akan menggunakan senjata milik patih Wilwatikta itu lagi. Apapun yang terjadi..”
Membatin Anggalarang. Yang setiap kali menggunakan senjata tersebut merasa mempunyai hutang budi terhadap mahapatih Wilwatikta itu. Pemuda gagah ini memilih membiarkan tubuhnya terjirat jarring ulat sutra yang sangat lentur dan kuat tersebut.
“Mengapa tidak menggunakan senjata mustika itu lagi raden..” ujar orang tinggi besar bercadar hitam yang membuat Anggalarang tercekat.
“Hem..siapa dia sebenarnya. Betul dugaan ku..mereka ini mengetahui dengan baik tentang diriku..” membatin Anggalarang yang kini terlihat berlutut dengan jarring ulat sutra yang semakin kuat menjirat tubuhnya.
“Mengapa diam saja raden..” ujar orang tinggi besar bercadar hitam ini pelan.
“Silahkan kalau kalian menginginkan nyawaku..” ujar Anggalarang tegas.
“Hahahaha…Ego yang terlalu di agung-agungkan kadang akan membawa petaka bagi diri sendiri raden..” ujar orang bercadar hitam ini datar.
“Jangan banyak cakap. Bukankah nyawa ku yang kalian inginkan..tunggu apa lagi..” bentak Anggalarang.
“Baiklah kalau itu yang raden kehendaki. Kami sudah memberikan kesempatan pada raden. Jadi jangan salahkan kami..” ujar sosok bercadar hitam ini sambil loloskan sebilah jarum panjang tipis dari balik baju hitam ringkasnya.
“Raden tentu masih ingat dengan benda ini..” gumam orang bercadar hitam tandas.
Anggalarang hanya diam pasrah menanti ajalnya yang sebentar lagi merenggut nyawanya. Pemuda ini sudah bertekad tidak akan menggunakan senjata keris mustika milik Gajah Mada lagi walaupun sudah di ketahui beberapa kali menyelamatkan nyawanya dalam situasi yang sangat genting. Jiwanya sudah tekad bulat. Lebih baik tewas terhormat daripada selalu di selamatkan oleh benda milik seseorang yang sangat dia benci.
“Lakukanlah..” tandas anggalarang.
Perlahan orang tinggi besar bercadar hitam ini dekati Anggalarang. Lalu dengan kecepatan yang sulit di lihat pandangan mata biasa tangan kanannya yang menggenggam jarum halus ini tusukkan ke pangkal leher Anggalarang yang masih terjirat jarring ulat sutra.
“Craaaaaassssss….Craaaasssss…”
Sekelebatan bayangan hitam tau-tau sudah berada di sisi Anggalarang yang dengan cepat cabut bilah keris mustika milik Gajah Mada yang terselip di pinggang kanan pakaian Anggalarang. Dan dengan senjata ini pula jarring ulat sutra yang kuat itu dapat di jebolnya. Kemudian dengan sebat serang kesepuluh orang bercadar hitam dengan gencarnya. Mengetahui jarring ulat sutra terkoyak dan Anggalarang di bantu sosok yang baru datang. Salah seorang bercadar hitam jatuhkan benda bulat ke tanah yang dalam waktu beberapa saat tempat itu gelap oleh pekatnya kabut hitam yang tiba-tiba melingkupi wilayah itu. Dan begitu kabut hitam sirna ke sepuluh orang bercadar itu telah raib dari pandangan.
“Trimakasih atas pertolongannya kisanak..” ujar Anggalarang sambil menerima kembali bilah keris mustika milik Gajah Mada dari tangan orang yang baru datang itu.
“Benar apa yang di katakana orang bercadar hitam itu raden. Ego yang terlalu di agung-agungkan kadang akan membawa petaka bagi diri sendiri..” ujar sosok dengan rambut di gelung diatas kepalanya  ini tenang.
“Maap..andika mengenal ku..” ujar Anggalarang keheranan.
“Siapa yang tidak mengenal raden. Dengan senjata dahsyat milik mahapatih Majapahit itu..”
“Siapakah andika ini..” ujar Anggalarang pelan..”
“Saya Mangkurat. Salah satu telik sandi yudha Majapahit..”
Anggalarang terperanjat di tempatnya berdiri. Sedangkan sosok yang baru datang dan menyelamatkannya yang tak lain dari Mangkurat yang beberapa waktu lalu sedang melacak keberadaan bilah pedang Sangga Buana yang di ketahui di larikan oleh Sanjaya.
“Raden tidak usah heran. Apa yang saya ketahui semuanya tentang diri raden. Akan terjawab jika raden telah sampai di perdikan Welangun..” ujar Mangkurat yang membuat bergetar hati Anggalarang mendengar perdikan welangun di sebut.
“Andika Mangkurat. Apa yang andika ketahui tentang perdikan itu..” ujar Anggalarang pelan.
“Sambil jalan nanti saya ceritakan raden. Mumpung masih pagi ada baiknya kita meneruskan perjalanan ke perdikan Welangun. Bukankah tujuan raden sekarang ini ke perdikan di kaki gunung Arjuna itu..” ujar Mangkurat di sambut anggukan tegas dari Anggalarang. Tak berapa lama keduanya terlihat melesat sambil menunggang kuda kearah tenggara.

ooooOoooo

Hujan semakin deras mengguyur bumi. Sesekali di selingi lesatan kilat serta gelegar halilintar merobek angkasa. Di tengah guyuran hujan yang semakin lebat. Satu sosok tubuh tampak duduk bersila di hadapan sebuah pintu gerbang bertuliskan perguruan Walet Jingga. Sosok itu tak lain dari Sanjaya atau dunia persilatan lebih mengenalnya dengan Sada Lanang. Sudah hampir tujuh hari Sada Lanang duduk bersila di hadapan pintu gerbang yang selalu tertutup rapat itu. Yang hanya di buka sewaktu-waktu jika para cantrik atau anak perguruan keluar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Satu sosok ramping terlihat keluar dari pintu gerbang sambil menghunus sebilah pedang tipis. Tiga langkah dihadapan Sada Lanang gadis belia ini hentikan langkahya. Matanya tajam menyorot penuh bara dendam dan kebencian. Bilah pedang tipis yang di peganynya tertempel di pangkal leher Sada Lanang yang masih diam dengan mata terpejam.
“Buka matamu pembunuh..!!” sentak gadis belia ini galak.
Perlahan Sada Lanang membuka kedua bola matanya. Sesaat pandangan mata Sada Lanang dan gadis ini bersitatap. Sekelumit senyum tipis mengembang di sudut bibir Sada Lanang.
“Nyisanak Pandan Arum. Apakah hari ini saya di perbolehkan menemui ketua perguruan walet jingga..” ujar Sada Lanang pelan.
“Bopo sudah kau bunuh dengan kejam. Masih berani datang kemari dengan alasan minta maap..”
“Nyisanak Pandan Arum. Beri saya kesempatan untuk menebus semua kesalahan..”
“Apa kau juga dulu memberi  kesempatan pada bopo. Sebelum kau penggal. Dosamu selangit tembus sedalam lautan. Tak cukup hanya dengan minta maap..”
“Lalu apa yang harus saya lakukan…” ujar Sada Lanang pelan.
Pandan Arum tancapkan pedang tipisnya di hadapan Sada Lanang.
“Bunuh dirimu sendiri dengan pedang ini..”
Sada Lanang tertegun. Niat bertobat dan memperbaiki semua kesalahan di masa lalunya demi menawarkan kutukan yang menimpanya sudah tekadnya. Apapun akan dia lakukan. Tapi disuruh membunuh dirinya sendiri itu tidak mungkin di lakukannya.
“Nyisanak Pandan Arum. Apa tidak ada jalan lain..” ujar Sada Lanang bergetar.
“Ada..” ujar Pandan Arum ketus.
“Apa itu nyisanak pandan Arum..”
“Kau harus mampu menahan jurus-jurus ku..” sentak Pandan Arum lalu cabut bilah pedang tipisnya yang tertancap di hadapan Sada Lanang. Dan dengan ganas tusukkan bilah pedang itu tepat di dada sebelah kiri Sada Lanang.
Sada Lanang yang masih tertegun dengan replek gulingkan tubuhnya di rerumputan basah. Bilah pedang Pandan Arum lewat sesenti dari dadanya. Mengetahui lawan dapat menghindari serangannya. Gadis belia ini kembali lentingkan badannya ke atas. Bersalto beberapa kali di udara dan sebelum tubuhnya menginjak tanah. Kembali tebaskan pedang tipisnya kearah tenggorokan Sada lanang.
“Traaakkk…traaakkk..!!”
Dengan tongkat berujung sapu lidi. Sada Lanang menangkis semampunya serangan beruntun dari Pandan Arum.
“Buuukkk..!!”
Tumit kanan Pandan Arum berhasil menghujam dada sebelah kanan dari Sada Lanang. Lelaki dengan parut melintang di pipi kirinya ini sedikit terhuyung lalu ambruk di rerumputan. Melihat lawan nya sudah tak berdaya. Pandan Arum kembali tusukkan pedang tipisnya kearah dada sebelah kiri Sada Lanang.
“Triiingggg…!!”
Pedang tipis yang dipegang Pandan Arum bergetar. Dirasakannya tangan yang memegang pedang itu kesemutan. Gadis ini palingkan wajahnya kearah dimana serangan yang menepis pedangnya berasal. Satu sosok lelaki separuh baya terlihat berdiri di tengah guyuran hujan yang semakin lebat.
“Paman Rawit. Kenapa paman menghalangi saya membalas kematian bopo..” ujar Pandan arum.
“Lawan mu sudah tidak berdaya Pandan Arum. Jiwa ksatria tidak akan menyerang lawan yang sudah tidak berdaya. Etika dunia persilatan tetap berlaku walau buat sang durjana sekalipun..”
“Orang ini telah menghancurkan perguruan dan membunuh bopo paman..”
“Pandan Arum. Sadarkah dirimu dia bertarung dengan mu tanpa menggunakan olah kanuragan sedikitpun. Hanya menggunakan tongkatnya saja..itu tidak adil anakku..”
“Tapi paman..” Pandan Arum tak jadi meneruskan kata-katanya. Gadis ini tahu betul pamannya sangat membenci perkataan “Tapi”. Dilihatnya lelaki paruh baya ini melangkah mendekati Sada Lanang yang sudah berdiri bertumpu dengan tongkat berujung sapu lidinya.
“Kisanak..bukankah tujuh hari yang lalu kami sudah menegaskan sikap. Sekarang pergilah tidak ada lagi yang kisanak harapkan di tempat ini..” ujar lelaki paruh baya ini pelan.
“Beri saya kesempatan sekali ini saja paman. Apapun akan saya lakukan. Terimalah saya menjadi cantrik agar dapat menebus semua kesalahan yang pernah saya buat di perguruan ini. Saya mohon terimalah dharma bakti saya paman..” kata Sada lanang tertunduk dalam.
“Tapi Paman..” sela Pandan Arum. Namun gadis ini kembali diam begitu sorot mata tajam pamannya mengarah pada dirinya. Gadis belia ini kembali tertunduk.
“Baiklah kisanak Sada Lanang. Kami terima dharma bakti mu. Namun waktu mu cuma empat puluh hari saja. Bukankan masih banyak partai dan perguruan yang akan kisanak sambangi agar dirimu dapat permintaan maap dari mereka..”
“Terimakasih paman. Lalu apa yang harus saya lakukan..” ujar Sada Lanang yang masih bertumpu dengang tonkat berujung sapu lidinya.
Tanpa menjawab pertanyaan Sada Lanang. Lelaki paruh baya ini mengajaknya menaiki sebuah bukit kecil di sebelah barat perguruan wallet jingga. Disebuah pedataran padang ilalang langkah ke duanya berhenti di sebuah bangunan punden berundak.
“Disinilah ketua pertama dari perguruan wallet jingga di perabukan. Selama empat puluh hari kisanak harus menjaga dan membersihkan tempat ini. Dan setelah empat puluh hari di muka. Kisanak harus meninggalkan tempat ini segera. Lewat satu detik saja aku tidak bertanggung jawab bila Pandan Arum datang menemui kisanak. Apa kisanak sanggup..” ujar lelaki paruh baya ini tegas.
“Baik paman..semuanya akan saya lakukan..”
Lelaki paruh baya ini cuma anggukkan kepalanya. Tanpa menoleh lagi lelaki yang diketahui sebagai ketua baru dari perguruan wallet jingga ini langkahkan kakinya meninggalkan Sada Lanang.

ooooOoooo

Hari masih pagi. Kabut tipis terlihat melayang diantara pucuk-pucuk cemara. Hembusan angin terasa dingin mencucuk persendian. Disebuah bangunan yang keseluruhannya terbuat dari rotan ini sudah tampak kesibukan. Di beranda depan seorang lelaki gagah berpakaian hitam ringkas tampak sedang menggores-goreskan kuas kecil di sebuah kanvas yang terbuat dari kain belacu. Dihadapan lelaki gagah ini sepuluh orang anak bau kencur terlihat khusuk memperhatikannya. Sesekali ocehan dari anak-anak ini meluncur dengan bebasnya.
“Guru. Kenapa hari ini cuma ada titik di kanvas..” ujar salah seorang anak sambil duduk bersila. Lelaki gagah ini sesaat hentikan kegiatannya. Lalu duduk bersila di hadapan ke sepuluh anak didiknya.
“Murid-muridku. Apa yang kalian ketahui tentang titik di atas kanvas itu..” ujar lelaki berbaju hitam ini pelan.
“Titik ya titik guru. Artinya habis atau selesai..” ujar salah seorang muridnya.
“ada lagi yang mau berpendapat..” ujar lelaki gagah ini selanjutnya.
“Saya guru. Titik adalah tanda tulisan harus di akhiri..”ujar bocah sepuluh tahun ini di sambut senyum di kulum gurunya.
“Murid-muridku. Semua pernyataan kalian adalah benar. Namun tahukah kalian kalau kita membuat satu titik lagi dan lagi dan lagi itu akan membentuk sebuah garis. Jika kita menyambungkan garis yang satu dengan yang lain akan terbentuk bidang. Yang artinya di dunia ini kita jangan terpaku dengan satu pandangan. Masih banyak pandangan lain di luar sana. Menerima semua masukan. Mendengar semua kemauan. Sebab kelak kalian semua adalah pemimpin. Seorang pemimpin yang baik tidak akan terpaku hanya dalam satu hal. Tidak hanya mendengar dari satu sisi…”.
Sementara di beranda belakang rumah rotan. Sepuluh anak perempuan berusia belasan tahun terlihat sedang berlatih olah kanuragan dengan sebilah rotan dengan seriusnya. Dihadapan anak-anak perempuan ini terlihat seorang perempuan berbaju coklat ringkas dengan pedang giok hijau di tangan kanannya. Sesekali perempuan anggun ini membetulkan setiap gerakan-gerakan yang kurang sempurna. Dilain saat memperagakan sebuah jurus baru yang langsung di ikuti oleh kesepuluh bocah perempuan ini.
“Anak-anak teruskan latihan kalian..” ujar perempuan anggun ini datar kemudian sosoknya terlihat masuk ke dalam sebuah bilik.
Tak lama berselang. Dari arah pintu gerbang tampak sesosok perempuan tua berlari sambil menangis sesenggukan menghampiri lelaki gagah yang tengah mengajar murid-muridnya di beranda depan rumah.
“Ada apa biung..mana Sekar Wangi …” ujar lelaki gagah ini cemas.
“Sungging..ketika biung bermain dengan Sekar di bukit sebelah selatan. Mendadak muncul tiga orang bertampang sangar merebut Sekar dari gendongan biung..” sela perempuan tua ini sambil sesenggukan. Mendengar kegaduhan di luar. Perempuan anggun dengan bilah pedang giok hijau di tangan kanannya muncul dari dalam biliknya.
“Ada apa kakang sungging..”
“Duh anakku Pitaloka. Sekar di culik orang..” ujar perempuan tua ini masgul.
“Di culik..kakang..” sentak perempuan anggun ini panik.
“Tenang Nimas Pitaloka. Saya tahu siapa yang melakukannya..”
“Siapa pelakunya kakang..”
“Partai arit iblis..”
“Tunggu apa lagi mari kita datangi penculik itu..” sela perempuan anggun ini sambil menggenggam pedang giok hijau di tangan kanannya.
“Agak sulit melacak keberadaan partai arit iblis. Mereka nomanden selalu berpindah-pindah tempat namun sepak terjangnya semakin meresahkan. Beberapa hari yang lalu pemimpin mereka yang bernama Manggala mengancam agar kita menyerahkan perguruan ini..” ujar lelaki gagah ini pelan.
“Lalu apa yang harus kita lakukan kakang..”
“Menunggu…nyimas..”
“Maksud kakang..”
“Kita menunggu kabar dari partai arit iblis. Cepat atau lambat pasti mereka muncul dengan sendirinya..”
“Lalu bagaimana dengan keselamatan putri kita Sekar kakang..”
“Sekar anak yang cerdas. Percayalah semuanya akan baik-baik saja nyimas..”
Wanita angun ini cuma anggukkan kepalanya. Disarungkan nya kembali bilah pedang giok hijau pada warangkanya. Kemudian sosoknya kembali lenyap di balik bilik kamar. Sementara lelaki gagah yang tak lain dari Sungging Prabangkara terlihat melangkah ke atas sebuah bukit.

ooooOoooo

Selanjutnya : JALAN PEDANG JALAN KESATRIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lisensi

Lisensi Creative Commons
BHUMI DERES MILI by BHUMI DERES MILI is licensed under a Creative Commons Atribusi 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di KANG KUSYOTO, KYT.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http//:www.bhumideresmili.blogspot.com.

Total Tayangan Halaman

About

Pages

Download

Powered By Blogger

Search Box

Popular Posts

Followers