Hari masih terang-terang tanah. Kicau burung seakan
menyambut sang bola jagat yang perlahan muncul dari rimbun pepohonan mastaba
yang banyak tumbuh di sekitar perbukitan dimana disalah satu lembah nan subur
berderet puluhan rumah beratapkan rumbia melingkari sebuah bangunan yang cukup
besar berlantai tiga dengan cungkup berbentuk limas. Dua orang berpakaian hijau
ringkas dengan sebilah pedang tipis di pinggang kirinya terlihat terkantuk
menyandar di salah satu tiang gerbang. Onggokan kayu bekas api unggun tampak
menghitam dengan asap tipis masih mengepul di tiup angin di pagi hari nan sejuk
itu.
Gemuruh
puluhan ladam kuda memaksa kedua orang penjaga gerbang ini terhenyak dari
kantuknya. Lantas cabut pedang masing-masing menyongsong beberapa penunggang
kuda yang kini berhenti sekitar lima puluh tombak dari bangunan utama lantai
tiga berbentuk limas.
“Siapa Kalian dan ada keperluan apa…” sentak salah
seorang penjaga pintu gerbang sambil memegang hulu pedangnya.
Tiga orang bertampang sangar serentak melompat dari
punggung kuda yang di tungganginya.
“Apa kalian sudah buta. Tidak tahu siapa kami..”
sentak orang tinggi besar sambil membolang-baling seutas rantai di tangan
kanannya.
“Cepat suruh keluar ketua kalian…” membentak orang
kedua dengan tombak pendek berujung trisula.
“Ketua kami tidak ada di tempat…” sela penjaga gerbang
ke dua sambil silangkan pedang tipis di dadanya.
“Warok Sampar Kombayoni, Sangaran. Sudahlah jangan
buang waktu dengan kedua cecunguk ini. Kepung
tempat ini jangan biarkan Tunggara si penghianat itu lolos..”
bentak orang
berjubah merah berang. Orang ini bertampang paling angker diantara kedua
temannya dengan tangan kanan di sambung sebuah logam berbentuk arit berwarna
merah.
“baiklah Manggala…mungkin kedua cecunguk ini sudah
lelah berjaga semalaman. Ada baiknya kita bantu istirahat selamanya di alam
baka…” ujar Warok Sampar Kombayoni sambil putar tombak pendek berujung trisula
dengan cepat.
Melihat gelagat tidak beres. Salah satu penjaga
gerbang dengan cepat lemparkan sesuatu di udara.
“Blaaaarrr…!!”
Bersamaan dengan bunyi letusan di udara. Dari berbagai
sudut bangunan berlantai tiga berbentuk limas melesat puluhan bayangan hijau
yang dengan sigap membentuk brikade pertahanan.
“luar biasa..di bayar berapa kalian oleh penghianat
Tunggara…” bentak Manggala sambil atur kuda-kuda pertahanan.
“Seraaangggg…!!!”
Satu Tahun Sebelumnya
Orang berjubah putih dengan enam bulatan di batok
kepalanya yang plontos setelah menyarangkan tendangan beruntun kearah Manggala
si arit iblis hingga terjungkal tampak keteteran. Rantai maut milik Sangaran berhasil di
elakkannya. Tombak berujung trisula miik Warok sampar Kombayoni juga luput
menyentuh tubuhnya bahkan dengan kecepatan yang di milikinya orang berjubah
putih yang tak lain dari Wiku Dharma Persada sempat menghadiahkan tendangannya
ke dada Warok dari alas roban tersebut. Namun sebilah belati terbang milik
Tunggara tampak menancap di punggung sebelah kirinya. Di tambah lagi senjata
andalan dari sang Wiku berupa tasbeh besar hancur terkena sambaran rantai maut
milik Sangaran serta kibasan maut ajian kuntum kilat melecut raga tingkat tiga
milik Manggala.
“DUUUAAAAAARRRR…!!!”
Dentuman keras menggelegar. Debu pasir tampak
membumbung menutup pemandangan sejauh radius seratus meter. Setelah suasana
terang kembali Wiku Dharma Persada sudah tidak ada di tempatnya lagi.
“kurang ajar. Wiku Dharma Persada lolos..” sentak
manggala geram.
“tidak usah dikejar Manggala. Pisau terbang beracunku telak menghujam punggungnya.
Kalau dalam satu hari tidak diobati. Secara
perlahan urat saraf dalam tubunya lumpuh. Aliran daranya akan mengalir terbalik dan bisa
dipastikan akan tewas dengan sendirinya..” ujar Tunggara sambil menimang pisau
terbangnya.
“hai..kalian cepat tolong aku. Dadaku sesak
terkena tendangan wiku sialan itu..”sentak warok sampar kombayoni sambil
memegang dadanya yang berdenyut terkena tendangan beruntun sang Wiku.
“bagaimana sekarang Manggala…” ujar Sangaran.
“kuburan mustika telah kita kuasai. Aku yakin
didalam sana masih banyak senjata-senjata mustika yang dahsyat serta harta
karun. Milik Wiku itu. Ayo kita
periksa..” ujar Manggala.
Keempatnya lantas melesat masuk kedalam bangunan
berbentuk kubus dari batu andesit yang akan membawa mereka kebawah tanah dimana
sebuah tempat bernama kuburan mustika berada.
(untuk lebih jelas. Baca episode sebelumnya: Karmapala Sang Pendekar, Pen)
Namun tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh
Manggala si arit iblis, Warok Sampar Kombayoni serta Sangaran. Satu detik sebelum
ke tiganya mencapai bangunan berbentuk kubus dari batu andesit. Tunggara yang
lebih dahulu masuk ke dalam bangunan batu andesit dengan licik lemparkan
puluhan pisau terbang kearah ke tiganya. Begitu Manggala, Warok sampar
kombayoni serta Sangaran sibuk menghindari serangan mendadak puluhan pisau
terbang Tunggara dengan cepat tekan salah satu celah yang ada di dinding batu
yang secara otomatis bangunan berbentuk kubus itu menutup dan meluncur kebawah.
Amblas ke dalam tanah tanpa meninggalkan jejak sedikitpun di permukaan tanah.
“Kurang ajar. Tunggara..penghianat busukk..!!”
sentak Manggala sambil lancarkan pukulan yang mengandung jurus kuntum kilat
melecut raga tingkat tiga ke tanah.
“BBUUUUUMMMM..!!”
Kembali pedataran itu terguncang seperti di
goyang lindu dengan batu debu beterbangan menutupi pemandangan dan hal itu di
lakukan Manggala secara terus menerus.
“Hentikan Manggala…perbuatan mu ini bisa
mencelakakan kita semua..!” sentak Warok Sampar Kombayoni sambil kerahkan
pertahanan pelindung dari bebatuan yang semburat ke segala penjuru.
“apa kalian tidak lihat..kita di pecundangi oleh
penghianat itu..” geram Manggala.
“Kendalikan emosi mu Manggala. Perhatikan dataran
ini. Tidak berlubang sedikitpun walau kamu memukulnya terus menerus dengan
jurus mu itu..” gumam Sangaran.
“Tempat ini kuburan mustika. Mungkin sebelumnya
sudah dipasang sejenis pagar pelindung oleh Wiku Dharma Persada agar tidak
mudah di tembus oleh apapun..” menambahkan Warok Sampar Kombayoni. Membuat
Manggala semakin gusar.
“Lalu apa yang harus kita lakukan..” seru Manggala.
“Untuk sementara kita menunggu kabar selanjutnya.
Aku yakin cepat atau lambat Tunggara akan muncul lagi. Saat itulah kita membuat
perhitungan..” ujar Warok Sampar Kombayoni.
Dan begitulah….
Setelah kurang lebih satu tahun menunggu sambil
menyirap kabar tentang Tunggara. Ketiganya baru memperoleh berita bahwa
Tunggara kini telah menjadi seorang saudagar sekaligus ketua partai silat
pedang lumut mustika hijau.
Kembali ke bangunan tingkat tiga beratap
limas. Kediaman Tunggara
Begitu mendengar aba-aba penyerangan. Puluhan bayangan hijau yang melesat dari
bangunan berbentuk limas itu langsung menyerang rombongan Manggala si arit
iblis. Mengetahui hal itu Manggala lantas memberi aba-aba pada anak buahnya.
Pertempuran sengit pun pecah antara anak buah Manggala dan Tunggara. Kegaduhan
di halaman bangunan limas membuat Tunggara yang sedang berada di dalam ruangan
lantai paling atas segera mendatangi sumber keributan. Dan alangkah kagetnya
saudagar sekaligus ketua partai pedang lumut mustika hijau ini ketika
mengetahui siapa yang membuat keributan.
“Manggala..celaka. Bagaimana mereka mengetahui keberadaan ku…”
Tunggara segera memerintahkan beberapa anak
buahnya untuk menyelamatkan istri serta bayi lelaki berusia lima bulan melalui
jalan rahasia. Tapi alangkah kagetnya Tunggara. Ke tiga bekas temannya itu kini
sudah ada di belakang dirinya.
“Hahahahaha…jadi ini ketua partai pedang lumut
mustika hijau itu..yang tak lebih dari seorang penghianat..” geram Manggala
sambil siapkan pukulan maut kuntum kilat melecut raga tingkat tiga.
“Manggala sabar sedikit aku telah menyiapkan
bagian kalian masing-masing..” ujar Tunggara bergetar.
“Penghianat busuk..kami datang kemari mau
menjemput nyawa semprul mu..” bentak Manggala
“Setelah itu baru keluargamu..” sela Sangaran
sambil bolang baling rantai mautnya.
“Jangan libatkan mereka dengan urusan kita. Mereka tidak tahu apa-apa..” bentak Tunggara.
“Amboy..hahahaha..perampok busuk macam kamu punya
hati juga rupanya..” ejek Warok Sampar Kombayoni lalu putar tombak pendek
berujung trisula dengan cepat.
“Jangan banyak mulut. Ringkus dia..” sentak
Manggala.
Sementara di luar bangunan berbentuk limas.
Pertempuran antara anak buah Manggala si arit iblis dan Tunggara semakin seru.
Namun lambat laun puluhan anak buah Tunggara terdesak dan akhirnya tumbang satu
per satu.
Tunggara kibaskan tangannya kedepan. Puluhan
senjata rahasia berbentuk pisau terbang menderu cepat ke arah Manggala,
Sangaran dan Warok Sampar Kombayoni tapi dengan sekali kibaskan senjata masing-masing
semua senjata rahasia itu luruh ke tanah. Melihat hal itu Tunggara lantas
balikan badan bermaksud melarikan diri tapi sebuah sambaran rantai di rasakan
melibat tubuhnya sampai ambruk ke tanah berumput.
“Cuma segini kemampuan ketua partai pedang lumut
mustika hijau. Memalukan..” cibir Manggala.
“Manggala..lihat apa yang kita dapat kan..”
teriak beberapa anak buahnya sambil menggelandang seorang perempuan sambil
menggendong bayi lima bulan yang terus menangis di dekapannya.
“Apa yang kalian lakukan dengan keluarga ku.
Lepaskan….mereka tidak tahu apa-apa..” teriak Tunggara begitu mengetahui siapa
yang di gelandang oleh anak buah Manggala.
“hemmm..mengharukan sekali…hahahaha..” sentak
Sangaran sambil letakkan salah satu kakinya di dada Tunggara yang masih terikat
oleh rantai maut miliknya.
“Warok Sampar bawa kemari orok itu..” sentak
Manggala.
Warok Sampar Kombayoni lantas rebut orok dalam
bedungan wanita istri dari Tunggara. Lalu angsurkan di hadapan Manggala.
“Jangan kau apa-apakan anak ku..Manggala..”
rengek Tunggara parau.
“huh..bekas begal bajing akiring mental tempe. Menyesal aku dulu menyelamatkan mu dari telik
sandi Majapahit itu. Sekarang perhatikan
apa yang akan aku lakukan pada anak mu ini..”
Sentak Manggala sambil angsurkan tangan kanan yang
berbentuk arit di leher sang orok. Manggala sekilas teringat puluhan tahun
silam ketika dirinya bermaksud membunuh orok yang akhirnya cuma mengenai pipi
kirinya saja. Karena keburu di selamatkan Jarot anak buah dari Wiku Dharma
Persada.
“Manggala..aku mohon..lepaskan mereka. Silahkan
kalian ambil semua mustika dan harta benda ku..” rengek Tunggara menyayat hati.
Tapi rupanya Manggala tidak memperdulikannya dengan sekali ayunkan tangan
kanannya yang berbentuk arit. Leher orok malang itu siap menggelinding di
tanah.
“Craaakkkk…!!”
Arit merah Manggala terlihat melesak ke dalam
batu pipih bekas orok yang akan di penggalnya, sedang orok dan ibunya terlihat
di sambar oleh sekelebatan bayangan hitam yang kini mengamankan kedua anak dan
bayinya di tempat kelindungan.
“Siapa kau berani mencampuri urusan ku..” sentak
Manggala gusar. Sedang sosok bayangan hitam bercaping lebar dengan tongkat kayu
berujung sapu lidi terlihat berdiri di hadapannya.
“Rupanya seperti itu. Dahulu ketika kau akan
membunuh ku..” ujar sosok yang baru datang ini pelan.
“Apa maksud mu. Siapa kau..buka caping butut mu
itu..” sentak Manggala.
“Apa arti sebuah nama. Semua manusia terlahir tak
bernama…”
“Huh..jangan banyak mulut..!!”. Manggala lantas kebut tangannya ke depan
secara bersamaan. Alur berwarna merah melesat bergumpal-gumpal.
“Itukah jurus Kuntum Kilat Melecut raga level
tiga..” gumam orang bercaping dengan ujung tongkat berbentuk sapu lidi. Dengan
cepat kibaskan benda itu memapasi jalur merah yang mengarah dirinya.
“beessss…” terdengar letupan kecil lalu sirna.
“Edan..siapa orang ini. Pukulan andalan ku di buat
mentah hanya dengan benda butut di tangnnya itu..” membatin Manggala.
“Sangaran, Warok sampar Kombayoni..mengapa diam
saja. Bereskan orang gila kesasar ini..” sentak Manggala.
Tak menunggu komando dua kali. Sabetan rantai
maut Sangaran terlihat melesat kearah orang bercaping bambu dengan tongkat
berujung sapu lidi ini disusul tusukan berantai tombak bermata trisula milik
Warok Sampar Kombayoni. Namun seperti mengacuhkan bahaya yang datang. Sosok
bercaping bambu tampak diam bagai patung di tempatnya berdiri. Rantai maut
Sangaran melesat dengan cepat mengarah kepala sosok bercaping bambu dengan
deras. Sejengkal lagi sudah bisa di pastikan kepala bercaping bambu itu akan
terkena hujaman rantai maut. Dengan hanya menggeser badannya ke samping kiri
sosok bercaping bambu ini dapat menghindari hujaman rantai maut Sangaran.
Begitupun ketika tusukan beruntun tombak berujung trisula Warok Sampar
kombayoni yang mengarah ke dada kiri sosok bercaping bambu. Hanya dengan satu
langkah ke belakang sosok bercaping bambu ini lolos dari tusukan mematikan
tombak berujung trisula Warok Sampar Kombayoni.
Melihat hal itu. Manggala lepaskan pukulan jurus
kuntum kilat melecut raga level tiga sekaligus mengerahkan seluruh tenaga inti
yang di milikinya.
“BUUUUUUMMMM..!!!”
Kiblatan sinar merah terlihat bergulung-gulung
bagai ombak menerjang sosok bercaping bambu. Namun dengan tenang sosok ini
kibaskan tongkat berujung sapu lidi menyongsong pukulan maut Manggala. Begitu
sinar merah jurus kuntum kilat melecut raga level tiga beradu dengan tongkat
berujung sapu lidi. Sinar pukulan maut itu langsung mengembang bagai kipas dan
mental berbalik kearah manggala sekaligus melesat kearah Warok Sampar Kombayoni
dan Sangaran yang dengan sekuat tenaga menghindar dari senjata makan tuan
pukulan maut Manggala.
“DUUUAAARRRRR…!!!”
Sosok Manggala dan kedua temannya tampak
terlempar beberapa tombak ke belakang. Berguling beberapa kali lalu sosok ke
tiganya tertahan oleh sebatang pokok pohon yang tumbang. Menyadari lawan lebih
unggul tanpa di komando dua kali Manggala, Sangaran dan Warok Sampar Kombayoni
lesatkan tubuhnya ke belakang yang sosoknya lantas hilang di tengah rimbunnya
belukar.
“Terimakasih atas bantuannya tuan pendekar…” ujar
Tunggara dan istrinya berbarengan.
Sosok bercaping bambu hanya anggukkan kepalanya
pelan. Tongkat berujung sapu lidi di silangkan di dadanya.
“Kau yang bernama Tunggara…” ujar sosok bercaping
bambu sambil dekati Tunggara
“Tuan pendekar mengenal saya..”
“Itu tidak penting. Tunggara apa kau tahu
keberadaan seseorang yang bernama Wiku Dharma Persada…”
Tunggara terlihat kaget. Di tiliknya sosok
bercaping bambu lebih seksama. Mencoba mengetahui raut wajah di balik caping
bambu.
“Apa hubungan tuan dengan Wiku Dharma Persada…”
“Jawab saja Tunggara. Aku tahu kalian ber empat
sebelumnya adalah murid dan anak buah Wiku itu..”
“Baiklah..karena tuan pendekar telah menolong
saya sekeluarga. Saya akan menceritakan semuanya..”
Setelah menarik napas panjang. Tunggara mulai
menuturkan sebuah kisah yang di alaminya setahun sebelumnya. Dari dirinya yang
di selamatkan Manggala dari tangan Mangkurat telik sandi Majapahit. Sepak
terjangnya bersama Manggala dalam menundukan berbagai aliran partai silat
sampai pengeroyokan terhadap wiku Dharma Persada. Hingga kelicikannya
mempecundangi Manggala dan teman-temannya ketika berada di kuburan mustika
milik sang Wiku.
“Jadi Wiku Dharma Persada sempat meloloskan
diri..”
“Benar tuan pendekar..” ujar Tunggara terbata.
Dia tentu saja tidak menceritakan bagaimana senjata rahasia pisau terbang
beracun sempat menghujam punggung kiri dari Wiku Dharma Persada. Takut kalau
antara sang Wiku dan sosok bercaping bambu di hadapannya itu masih memiliki
hubungan dekat.
“Baiklah Tunggara. Sudah cukup keterangan mu.
Satu saran ku tinggalkan daerah ini sejauh-jauhnya. Aku yakin cepat atau lambat
Manggala akan datang kembali mencari dirimu..”
“Terimakasih tuan pendekar. Kalau boleh tahu
siapa tuan pendekar ini..”
“Aku Sada Lanang..”
Bersamaan dengan ucapan terakhirnya. Sosok
bercaping bambu langkahkan kakinya meninggalkan Tunggara yang masih diam di
tempatnya.
“Sada Lanang. Apa hubungan pendekar itu dengan
Wiku Dharma Persada. Yang aku tahu hanya Sanjaya yang paling dekat dengan Wiku
itu. Kabar terakhir Wiku Dharma Persada mengutus Sanjaya ke nagri Hindustan
entah untuk tujuan apa. Yang jelas aku harus meninggalkan daerah ini sejauh
mungkin. Menghindari Manggala dan tidak menutup kemungkinan Sanjaya yang kelak
kembali lagi ke tanah Jawadwipa ini..”
Memikir sampai disitu Tunggara lantas mengajak
istri yang tengah meggendong bayinya pergi meninggalkan rumah berlantai tiga
berbentuk limas yang selama setahun belakangan menjadi markas partai pedang
lumut mustika hijau yang di pimpinnya. Tunggara tidak pernah tahu sosok
bercaping bambu yang mengaku bernama Sada Lanang itu adalah Sanjaya.
ooooOoooo
Angin utara berhembus pelan. Menyibak rambut panjang
sosok berpakaian putih dengan celana hitam yang tampak diam membisu. Buntalan
butut terlihat bergantung di pundak sebelah kirinya. Matanya terus menerawang
mengamati lembah subur yang ada di bawahnya. Sesekali terdengar tarikan napas
berat dan panjang. Seperti ada batu besar yang mengganjal relung dadanya.
“Hampir satu tahun. Namun keberadaan Patih
Wilwatikta itu seperti sirap tertelan bumi. Kemana lagi aku harus mencarinya.
Sebentar lagi masa pengembaraan ku akan usai..”
Membatin sosok yang sedari tadi diam membisu bak
bongkahan karang di tengah gelombang.
“Bagaimanapun juga. Gajah Mada harus mau duel
dengan ku…”
Sosok baju putih ber celana hitam ini terus diam
membisu. Larut dalam alam pikirannya. Mendadak telinganya yang tajam seperti
mendengar sesuatu. Dihirupnya udara sekitar dengan pelan.
“Hemm..orangnya pasti dekat di sekitar sini..”
gumam sosok ini dalam hati.
Lapat-lapat tertiup hembusan angin. Suara
seruling yang menyayat hati itu terdengar di kejauhan. Seakan berasal dari
relung jurang yang sangat dalam. Mengalun syahdu menggetarkan jiwa sispapun
yang mendengarnya.
“Andika peniup seruling. Sudilah kiranya menunjukan
diri. Aku tahu andika berada dekat di sekitar sini..” teriak sosok berbaju
putih celana hitam ini lantang.
Tak menunggu lama. Dari balik rimbunnya pepohonan
hutan. Satu sosok ramping bercadar violet terlihat muncul sambil menyusun
telapak tangannya di depan kening. Sedang di pinggang sebelah kanan sebuah
seruling berwarna perak terselip di antara ikat pinggangnya.
“Maapkan hamba Raden Anggalarang..” ujar sosok
bercadar violet ini pelan. Ditilik dari suaranya di pastikan dia adalah seorang
perempuan.
“Nyisanak mengenal ku..” gumam pemuda berbaju
putih celana hitam yang ternyata Anggalarang yang tengah dalam lelaku
pengembaraannya.
“Hamba Raden…” gumam sosok bercadar violet ini
sambil masih tetap menyusun ke dua tangannya di depan keningnya.
“Siapakah Nyisanak ini..” tukas Anggalarang.
Perlahan sosok bercadar violet ini membuka
cadarnya di hadapan Anggalarang.
“Mbok mban dalem..benarkah ini dirimu..” gumam
Anggalarang tidak bisa menutupi rasa terkejutnya.
Sosok bercadar violet ini hanya bisa mengangguk
kan kepalanya dengan pelan.
“Mbok mban..bukankah dirimu dikabarkan sudah
tewas di palagan bubat bersama ramanda Lingga Buana, Ibunda, kakang mbok
Pitaloka dan pasukan bala pati Padjajaran..” gumam Anggalarang tak habis pikir.
“Raden tentunya mengenal benda yang hamba pegang
ini…” kata sosok bercadar violet yang memang mbok mban Dalem. Pengasuh dari
Dyah Pitaloka kakak dari Anggalarang. Sambil mengangsurkan sebilah tusuk konde
berbentuk keris tak ber eluk.
“Patrem saka domas. Mbok bukankah patrem ini
milik kakang mbok Pitaloka. Bagaimana bisa ada pada dirimu..” ujar Anggalarang
pelan.
Tanpa di minta dua kali. Meluncurlah sebuah kisah
dari bibir wanita pengasuh Dyah pitaloka ini. Dimulai dari keberangkatanya
bersama rombongan Prabu Lingga Buana yang akan bertolak ke Majapahit dalam
rangka memenuhi pinangan dari Raja Hayam Wuruk. di tengah jalan diantara
derasnya aliran sungai sugaluh Dyah Pitaloka memerintahkan mban Dalem
menyiapkan sebuah sampan kecil yang sebelumnya Putri Padjajaran ini menitipkan
pedang giok hijau miliknya serta patrem saka domas pada mban Dalem. Ketika
putri Padjajaran ini melompat ke atas sampan dan meluncur mendahului rombongan
ke Majapahit. Secara gaib mban Dalem berubah wujud menjadi putri Dyah Pitaloka
yang akhirnya dalam pertempuran di palagan bubat belapati dengan patrem saka
domas. (baca. Angkara Sang Pendekar, Pen).
“Jadi kakang mbok. Pitaloka masih hidup..” ujar
Anggalarang bergetar.
“benar Raden. Tapi Gusti ayu Pitaloka sekarang
sudah menjadi rakyat jelata dan hidup bersama Sungging Prabangkara di sebuah
desa bernama welangun. Sebelah tenggara kaki gunung Arjuna..”
“Sungging Prabangkara. Akhirnya kakang mbok
Pitaloka menemukan belahan jiwanya yang di kenal lewat mimpinya itu..” gumam Anggalarang.
“Beberapa bulan lagi genap satu tahun
pengembaraan raden untuk memegang trah Prabu di Padjajaran..” ujar mban Dalem.
“Benar mbok. Tapi ada sesuatu yang harus aku
lakukan..”
“Kalau hamba boleh tahu. Apa itu Raden..”
“Duel dengan Gajah Mada. Bagaimanapun aku harus
belapati demi kewibawaan Padjajaran. Mbok..”
Mban Dalem cuma bisa menarik napas dalam dan
panjang.
“Kenapa mbok..” ujar Anggalarang. Manakala
melihat pengasuhnya ini tampak khawatir.
“Raden. Bukannya hamba meragukan kemampuan Raden.
Sebelum Raden berhadapan langsung dengan Gajah Mada. Ribuan pasukan Bhayangkari
Majapahit harus Raden hadapi..”
“Mbok. Tapi tekad ku sudah bulat…” pungkas
Anggalarang mantap.
“Baiklah Raden. Jika itu sudah tekad Raden. Cuma
satu pesan hamba. Rakyat beserta seluruh kawula Padjajaran membutuhkan Raden..”
“Aku mengerti mbok. Sekarang mbok mau kemana..”
“Tugas hamba sudah selesai Raden. Hamba akan
kembali ke Pegunungan Kawi. Membuka lembaran baru mendirikan padepokan bersama
suami hamba..”
Setelah pamit pada Anggalarang. Mban Dalem lantas
jejakkan kakinya ke tanah yang dalam sekejap sosoknya telah jauh terlihat di
lamping bukit lalu raib di balik gugusan bukit karang sebelah selatan. Hanya
gaung seruling yang menyayat hati terdengar sangat dekat berputar di sekeliling
Anggalarang.
“Jurus pemindah suara yang sempurna..” gumam
Anggalarang sambil memasukan patrem saka domas ke dalam buntalan hitam butut
miliknya. Lantas sosoknya terlihat jauh menuruni bukit kearah timur. Tujuannya
sudah mantap kota Raja Majapahit.
ooooOoooo
Mentari hampir condong ke barat. Hembusan sang
bayu terdengar bergemerisik manakala menerpa rumpun bambu di kaki bukit. Sosok
bercaping bambu dengan tongkat sapu lidi di ujungnya terlihat tertatih
menjejakkan kaki. Mendaki kearah puncak
bukit batu. Dimana meremang dalam kabut senja hari sebuah bangunan berbentuk
kubus dari batu andesit. Didepan batu andesit inilah sosok bercaping banbu ini
hentikan langkahnya. Sesaat sosok ini buka caping bambu yang menutupi
kepalanya. Tampak seraut wajah kuyu berambut gondrong dengan goresan bekas luka
melintang di pipi kirinya.
“Hampir satu tahu aku meninggalkan tempat ini.
Apakah aku mampu membuka pintu rahasia ini tanpa adanya tenaga inti..” gumam
sosok pemuda berambut gondrong yang tak lain dari Sanjaya atau dunia persilatan
menjulukinya dengan sebutan pendekar sada lanang. Kita semua tahu siapa pemuda
ini. Walau seluruh ilmu kanuragannya sirna akibat pengaruh benda tongkat
berujung sapu lidi yang sekarang menemaninya kemanapun dan dimanapun dia
berada. Tapi benda itu juga yang beberapa kali menyelamatkan nyawanya. Seperti
yang di ucapkan sifu Zen.
“ Aku harus mencobanya..” gumam Sanjaya atau Sada
Lanang dalam hati.
Perlahan pemuda dengan parut melintang di pipi
kirinya ini tempelkan telapak tangan kanannya di celah yang ada di dinding batu
andesit dan dengan sekuat tenaga kepalkan telapak tangannya yang seharusnya
dinding batu andesit ini akan membuka kebawah. Namun untuk ini kali walau di
cobanya beberapa kali tetap saja didinding batu andesit itu tidak membuka.
Bergeming pun tidak.
“Seluruh ilmu kanuragan dan tenaga inti
benar-benar sudah tidak ada lagi pada diri ku..” gumam Sada lanang masgul.
Namun sudut matanya tak sengaja melirik tongkat berujung sapu lidi yang
tergenggam di tangan kirinya.
“Mungkin kah..” membatin Sada lanang. Perlahan
tongkat berujung sapu lidi itu digoreskan di dinding batu andesit.
“RRREEEETTTT…!!” terdengar suara berdesir di
susul terbukanya dididing batu andesit.
“Luar biasa benda ini..” gumam Sada Lanang yang
dengan segera masuk ke dalam bangunan batu andesit berbentuk kubus ini yang langsung
menutup ketika Sada Lanang sudah berada di dalamnya. Serta secara otomatis
meluncur kebawah.
Beberapa saat kemudian daya luncur dari batu
andesit dirasakan berhenti. Ketika tutup batu andesit terbuka. Degan cepat Sada Lanag melangkah keluar. Dimana
di depan sana terpaut tiga langkah di hadapannya puluhan bahkan ratusan
berbagai jenis senjata mustika dari bilah pedang, keris, tombak dan lain
sebagainya masih berada di tempatnya semula ketika wiku Dharma Persada serta
dirinya dulu merampas senjata dan benda mustika dari musuh-musuh partai
Halilintar Sewu dan menyimpannya serta menamakan tempat itu sebagai kuburan
mustika.
“Tidak ada yang berubah dari tempat ini. Dan
tidak ada satu pun senjata mustika yang hilang..lalu apa yang di ambil oleh
Tunggara hingga dia menjadi seorang saudagar yang kaya raya serta jadi pemimpin
dari partai pedang lumut mustika hijau..”
Sada Lanang tampak termenung disebuah batu datar
dimana dahulu wiku Dharma Persada duduk. Mendadak suasana goa yang terang
benerang oleh sebongkah batu bersinar di atap goa. Secara perlahan meredup dan
dari dalam tanah menyembur kabut tebal. Ketika kabut mulai menipis didalam
kabut tampak satu sosok orang tua kelimis berjubah putih tengah duduk bersila.
“Sifu Zen..” gumam Sada Lanang tercekat. Pemuda
ini tak menyangka guru dari wiku Dharma Persada dan pertapa Sapta Raga
menampakkan sosok astral di hadapannya.
“Sada Lanag. Tidak usah heran atau aneh dengan
apa yang kau alami. Sebab semua yang ada di dunia ini adalah misteri di balik
misteri..”
“Maksud sifu Zen..”
“Kelak kau akan mengetahuinya sendiri. Sada
Lanang..”
“Maap sifu Zen. Tahukah dimana keberadaan ke dua
guru saya itu..”
“Kedua guru mu itu sekarang tengah melakukan
lelaku atau ritual Dharma Bakti untuk memebus semua ke alpaan nya. Dan kau pun
seharusnya melakukan hal yang sama untuk menawar kutuk yang tengah kau jalani
Sada Lanang..”
“Dharma Bakti..” gumam Sada Lanang.
“Benar.
Dharma Bakti penawar kutuk…” sela sosok astral dari sifu Zen.
“Apa yang harus saya lakukan. Agar kutuk yang
menimpa ini segera tawar..” gumam Sada Lanang.
“Kau telah melangkah terlalu jauh dari rumah mu
Sada Lanang. Kembalilah ke awal langkah..”
“Saya masih belum mengerti. Apa yang sifu Zen
maksud..”
“Kau tentu masih ingat dengan pemuda gagah yang
bernama Anggalarang..”
“Masih sifu. Siapakah pemuda itu sebenarnya. Yang
hanya dengan tongkat berujung sapu lidi yang di tinggalkannya ini. Mampu
memusnahkan seluruh tenaga inti serta kanuragan yang saya miliki..” kata Sada
Lanang. Sambil usap tongkat berujung sapu lidi di tangan kirinya.
“Ketahuilah Sada Lanang. Pemuda itu adalah calon
Prabu yang akan menurunkan trah Raja-Raja agung di tatar pasundan.Silih
berganti dan Wangi. Dan dialah kelak yang mampu menemukan serta mengangkat senjata
mustika bilah pedang Sangga Buana yang aku tanam di dalam kawah kepunden gunung
sangga buana..”
“Lalu hubungannya dengan saya apa sifu..”
“Setelah kau kembali ke awal langkah. Dengan menjalankan
ritual Dharma Bakti penawar kutuk. Berangkatlah ke Padjajaran mengabdilah kepada
Angggalarang atau Niskala Wastu Kencana. Mudah-mudahan kutuk yang menimpa dirimu
akan sirna…” Seiring dengan ucapan terakhirnya sosok astral dari sifu Zen perlahan
memudar lalu sirna seiring dengan hembusan angin yang masuk dari relung goa dari
sebelah atas.
Sepeninggal sosok astral sifu Zen. Sada Lanang masih
termenung di tempatnya.
“Kembali ke awal langkah. Dharma bakti penawar kutuk..ahhh
apa maksudnya. Benar-benar misteri di balik misteri..”. membatin Sada Lanang. Yang
tiba-tiba senyum simpul menyeruak dari bibirnya yang kering.
ooooOoooo
Selanjutnya:
KUNTUM TERATAI
DI TENGAH BELUKAR
silahkan meninggalkan jejak para sobat...ditunggu komentarnyaaa yaaa...
BalasHapus