Pasanggrahan yang terletak dipuncak bukit
tapal kuda itu temaram di saput lembayung senja hari, guratan air terlihat
turun dari sela-sela tebing di samping kanan pasanggrahan, undakan tangga batu
menghiasi tiap turunan tebing yang berakhir disebuah aliran sungai kecil berair
jernih, ditengah sungai diatas batu pipih satu sosok terlihat duduk bersila,
hembusan angin sesekali mengibarkan rambutnya yang di biarkan tergerai sebahu,
perlahan sosok yang sejak pagi terpekur dalam semedi buka perlahan kedua kelopak
matanya, sorot mata yang tajam, raut wajah nan tegas terlihat di sana.
Pandangan mata yang tajam
masih di milikinya, badan kekar nan tegap masih menjadi bagian dari
perawakannya, perlahan sekeping ingatannya terpesat ke masa beberapa purnama
sebelum dirinya berada di tempat yang sekarang menjadi bagian dari perjalanan
hidupnya.
“paman Mada, saya memberikan
anugrah tanah madakaripuri bukan bermaksud mengasingkan paman dari kedaton, ini
semata sebagai bentuk rasa hormat saya sebagai seorang prabu, semoga paman Mada
tidak salah paham..”
Selesai mengucapkan titahnya
sebagi seorang prabu agung di wilwatikta, prabu Hajam wuruk perlahan memberikan
gulungan rontal pada mahapatih Gadjah mada yang menerimanya dengan khidmat.
“dari madakaripuri, paman
masih bisa memberikan komando pada pasukan yang paman pimpin karena dari sana
paman bisa lebih leluasa mengamati gerakan-gerakan yang akan merongrong
kewibawaan majapahit..”
“hamba gusti prabu..hamba
siap menjalankan titah..”
Setelah menghaturkan sembah,
patih yang telah mengabdi pada tiga generasi wilwatikta ini perlahan beringsut
dari hadapan prabu Hajam wuruk.
Sesaat sosok lelaki tinggi
besar ini hembuskan napasnya dengan
berat, titah prabu Hajam wuruk beberapa waktu lalu masih terngiang jelas di
telinganya, masih terbayang dengan jelas pandangan masgul beberapa prajurit
bhayangkari di benaknya ketika melewati pintu gerbang.
Telinga tajam sosok tinggi
besar yang tak lain dari mahapatih Gadjah mada ini mendengar langkah kaki
beberapa orang meniti undakan batu di dinding tebing yang menuju kearah
dirinya, tak lama sepuluh orang berseragam prajurit majapahit telah berdiri
tiga langkah di hadapannya.
“ampun mahapatih..kami
menghadap..”
“ada titah apa dari gusti
prabu prajurit..” sela patih Gadjah mada pelan, namun bagi prajurit ini suara
itu bak gelegar halilintar
“hamba gusti patih..hamba
tadi dari madakaripuri , ternyata gusti patih ada di tapal kuda..”
“aku dari pagi berada di
sini, prajurit..kau belum menjawab pertanyaan ku..”
“maap kan hamba gusti
patih..ada sesuatu yang harus hamba sampaikan..”
“mengenai apa prajurit..”
“kemarin prabu Hajam wuruk
memerintahkan rakyan jala tunda dengan pasukan bhayangkarti menumpas grombolan
perusuh di sebelah barat hutan jati anom, kenapa beliau tidak memberitahu hal
ini pada gusti patih..”
Walau sesaat guratan
kekecewaan tergambar jelas di rona wajah patih Gadjahmada, namun dengan segera
di tepisnya perasaan itu dari benak patih Gadjah mada
“sudahlah prajurit..mungkin
gusti prabu memiliki pandangan lain dalam hal itu..” sela Gadjah mada pelan
“hamba mengerti gusti patih,
tapi sebagai prabu seharusnya beliau bijak dalam menyikapi suatu
masalah..karena hamba yakin tragedy bubat bukan sepenuhnya kesalahan gusti
patih..”
“prajurit tahu apa kamu soal
kebijakan…asal kau tahu kebijakan yang paling bijak hanya dimiliki oleh sang
maha pencipta..”
“lalu apa tindakan dan
rencana gusti patih selanjutnya…”
“tidak ada…”
“maksud gusti patih…”
“prajurit kau suka menonton
wayang beber…”
Prajurit majapahit ini
tertegun dengan pertanyaan mahapatih Gadjah mada, namun dianggukkannya juga
kepalanya
“hamba suka gusti patih..”
“pada hakikatnya kita semua
adalah wayang beber, benda mati sebelum
mati..apa sekarang kau mengerti prajurit..”
Walau bingung dengan kalimat
yang di ucapkan patih Gadjah mada, diangguk-anggukkannya juga kepala prajurit
ini beberapa kali
“nah prajurit kembalilah
kalian ke kedaton..”
Prajurit ini tidak berani
lagi bersuara, maka dengan tergesa ditinggalkannya tapal kuda dengan segera,
sedang patih Gadjah mada masih berdiri ditempatnya.
ooooOoooo
Dalam episode : Pergolakan Bhatin Sang Ksatria
dikisahkan bagaimana Anggalarang, calon prabu padjajaran yang sedang
lelaku lumampah ing bawana atau
pengembaraan selama satu tahun sebelum dirinya dilantik menggantikan
ayahhandanya prabu Linggabuana yang gugur di palagan bubat bertempur dengan
resi drupada di dasar jurang pualam biru yang akhirnya resi ini melarikan diri,
pemuda gagah dengan gembolan kain butut di bahu kirinya ini sampai pada suatu
hutan kecil sebelah tenggara dari kedaton jaya purantala, pemuda ini dengan
tenang terus melangkahkan kakinya namun pada langkahnya yang ke seratus
mendadak sontak tubuhnya terperangkap
dalam jarring yang entah sengaja atau tidak melibatnya sampai tidak bisa
bergerak, pemuda ini lantas salurkan tenaga inti di telapak tangannya dan
berusaha membetot jarring yang melibatnya, namun..semakin dicoba merobek
jarring semakin kuat jarring itu melibat tubuhnya tak lama dari rimbunan
belukar beberapa orang bercadar hitam telah mengurungnya dengan senjata
terhunus.
“siapa kalian..” sentak
Anggalarang
“siapa kami tidak lah
penting raden..yang jelas hari ini pengembaraan mu selesai dengan minggatnya
dirimu ke alam kelanggengan..”
Anggalarang tersentak,
beberapa orang itu ternyata menghendaki nyawanya dan yang lebih mengejutkan
orang-orang ini tahu siapa jati dirinya.
“kalau kalian kesatria, hayo
lepaskan aku..kita duel..”
Sentak Anggalarang sambil
berupaya melepaskan diri dari jarring yang melibatnya
“jarring ulat sutra itu
sangat ampuh raden, semakin raden berontak tubuh raden akan koyak secara
perlahan..”
“apa mau kalian..”
“bukankah sudah kami
katakana maksud kami raden..”
Anggalarang kembali mencoba
menjebol jarring yang melibat tubuhnya, namun semakin mengerahkan tenaga inti
justru seluruh tubuhnya seakan lemah tak berdaya.
“tenanglah raden, kami akan
melakukannya dengan cepat..”
Orang bercadar yang bertubuh
jangkung kurus ini sesaat sarungkan golok besar kedalam warangkanya, dari balik
lipatan baju dikeluarkannya sejenis jarum tipis kecil hampir tak terlihat oleh
mata biasa, lalu ditimangnya jarum itu di telapak tangannya.
“kami jamin kematian raden
akan wajar, jarum ini akan menembus jantung dengan cepat dan tanpa mengeluarkan
darah sedikitpun..”
“kurang ajar kalian..”
Orang bercadah hitam dengan
perawakan jangkung ini Cuma ganda tertawa, detik berikutnya diawali geraman
lantang dilemparkannya jarum halus tersebut kea rah dada kiri Anggalarang
“brrreeeesssss…..reeeeetttt…reeeeeettt..!!”
Jarum itu terhenti sesenti
di dada Anggalarang, bersamaan dengan munculnya sinar biru dari balik pinggang
baju putih Anggalarang yang langsung memapaki jarum maut dan sekaligus
mengkoyak jarring ulat sutra yang melibat pemuda ini.
Jarring ulat sutra itu
tampak jebol di beberapa bagian, dengan sigap Anggalarang raih sinar biru dalam
genggaman tangan kanannya dan sekali kiblat jarring ulat sutra terbakar dengan
sendirinya.
“celaka bagaimana
sekarang..”
Sentak salah seorang
bercadar hitam pada sosok kerempeng yang barusan melemparkan jarum maut kearah
Anggalarang
“kepalang
tanggung..seraaanggg….”
Sepuluh orang bercadar hitam
dengan senjata terhunus merangsak bersamaan kearah Anggalarang, pemuda calon
pewaris tahta padjajaran ini sabetkan sinar biru yang tak lain dari keris milik
mahapatih Gadjah mada pada orang-orang bercadar yang menyerang dirinya.
Pertarungan yang tak
seimbang pecah, sepuluh orang bercadar dengan golok besar di tangan dengan
ganas menyerangnya begitu sepuluh golok secara serempak menghujam kearah pemuda
ini…
“traaaaaakkkkhh…!!”
Alur sinar biru dari keris
di tangan Anggalarang memapasinya menimbulkan deru suara panjang dan nyaring
yang detik berikunya sepuluh golok terlihat patah menjadi dua bagian.
“munduuurrrr…!!”
Terdengar teriakan dari
orang jangkung kerempeng bercadar hitam, tanpa di komando dua kali dengan
sekali lentingan badan ke belakang, orang-orang bercadar hitam ini raib di
telan kabut hitam yang secara tiba-tiba melingkupi arena pertempuran, begitu
suasana kembali terang tampak Anggalarang masih berdiri sambil menggenggam
bilah keris berpamor biru di tangan kanannya.
“siapa mereka dan apa
maksudnya menghendaki nyawaku..”
Membhatin Anggalarang sambil
menyarungkan bilah keris kedalam warangkanya, di amatinnya sejenak keris milik
patih Gadjah mada yang ada di genggaman tangan kanannya.
“senjata mustika yang luar
biasa, entah apa maksud mahapatih itu memberikan kerisnya kepadaku, beberapa
kali bilah mustika ini menyelamatkan nyawaku…tapi tekadku sudah bulat, gugurnya
ramanda Lingga buana, kakang mbok Pitaloka dan para ksatria belapati Padjajaran
di palagan Bubat, hanya bisa di tebus dengan nyawa Mahapatih Wilwatikta itu..”
Gumam Anggalarang dalam
hati, diselipkanya kembali keris milik Mahapatih Gadjah mada itu di balik
pinggang kiri pakaian putihnya, ketika pemuda gagah ini hendak meneruskan
perjalanan lapat-lapat terdengar suara seruling yang semakin lama suaranya
semakin dekat kearah dirinya.
“aneh..suaranya jelas
menggema di tempat ini, namun sang peniup seruling tidak tampak tanda-tanda
keberadaannya di tempat ini..” membhatin
Anggalarang.
Gema seruling itu begitu
merdu mendayu, seakan berputar-putar di sekeliling Anggalarang, pemuda ini sapu
pandangannya kesesantro lembah yang
terhampar dibawahnya tapi tetap saja tidak tampak tanda-tanda keberadaan sang
peniup seruling.
“lebih bagus aku lanjutkan
perjalanan ke Madjapahit, mungkin peniup seruling ini hanya mau mempermainkan
ku saja..”
Memikir sampai di situ
Anggalarang jejakkan kakinya ketanah yang dalam satu kali lompatan sosoknya
kini terlihat jauh di ujung lembah yang memutih ditumbuhi rumpun bunga gelagah.
Bertepatan dengan melesatnya
Anggalarang, dari rumpun perdu bunga
abadi edelwis satu sosok berkerudung biru dengan seruling perak ditangannya
tampak memandang punggung Anggalarang yang kini telah jauh lalu hilang di telan
lebatnya rumpun bunga gelagah wangi.
“maapkan hamba raden, bukan
bermaksud mempermainkan..jika kelak waktunya tiba dimana lelaku lumampah ing bhawana dan genap satu
tahun pengembaraan raden berakhir..saya pasti akan mengatakkan hal yang
sebenarnya terjadi dengan Raden Ayu Dyah Pitaloka…”
Gumam sosok bercadar biru
ini yang dengan sekali hentakan kaki ke tanah sosoknya raib di rimbunnya
pepohonan hutan.
ooooOoooo
Prabu Gegar wahana pandang sosok yang ada
di hadapannya dengan bengis sebilah pedang tipis berkilat tampak dalam
genggaman tangan kanannya.
“dinda Platik waja..cabut
senjata Mandau punyamu..kau telah menyalahi aturan sayambara yang di tetapkan
Syeh Idlopi..”
Pemuda gagah bermahkota
dengan plat bahu dodot sutra berwarna coklat keemasan ini tampak perlahan cabut
Mandau dari punggung kirinya, lalu digenggamnya Mandau itu dengan erat di
tangan kanannya.
“kanda Gegar wahana, dalam
satu sayambara bukan hanya kekuatan otot yang di uji, tapi akal dan reka
pendaya menentukan separoh dari kemenangan..”
“dinda Platik waja..kau
tidak usah menggurui aku..makam ayahanda dan ibunda yang ada dihadapan kita
biarlah menjadi saksi, hari ini..persaudaraan kita harus di akhiri di ujung
senjata kita masing-masing..”
Ketegangan terasa
menggantung diudara, kedua saudara kandung yang seharusnya saling menyayangi
kini terlihat berhadapan dengan wajah kelam membesi, dilangit mendung ber arak
kearah barat sinar mentari redup tersaput gumpalan awan hitam, gerimis perlahan
menitik membasuh bumi seakan ikut merasakan miris menyaksikan dua orang yang
dulu saling sayang dan mengasihi akan menuntaskan urusan demi ambisi pribadi.
“ silahkan kakanda Gegar
wahana..” gumam platik waja bergetar
“dinda Platik waja..mulailah
terlebih dahulu..”
Walau kini kedua prabu yang
baru dilantik ini berseteru, namun rasa tidak mementingkan diri sendiri masih
melekat di keduanya, sayang..bila urusan sudah menyerempet kearah asmara
agaknya rasa persaudaraan jadi terkesampingkan.
Hujan mulai turun dengan
deras, areal pekuburan kerabat keraton seakan membeku dalam deru bara angkara
dari kedua Prabu ini, diawali kilatan diangkasa disusul gelegar halilintar
diangkasa keduanya secara bersamaan lentingkan badan kebelakang detik
berikutnya, secara bersamaan pula saling melesat ke depan dengan senjata
terhunus diarahkan kelawannya.
“trrraaaang..traaangg..traaaaaang..!!!”
Dentingan senjata tajam
terdengar beradu ditengah gemuruh hujan yang semakin lebat mengguyur areal
pemakaman kerabat kerajaan, puluhan jurus telah berlalu namun belum tampak
tanda-tanda siapa yang unggul dan siapa yang menjadi pecundang, ini wajar
karena baik jurus ilmu kanuragan dan kebathinan yang digelar dua orang prabu
ini adalah sama.
Sampai satu saat dari arah
lamping bukit sebelah areal pemakaman puluhan orang berseragam prajurit
terlihat mendekati areal pemakaman dimana kedua raja mereka sedang ber duel.
“gusti Prabu Gegar wahana
dan Gusti Prabu Platik waja..tolong
hentikan pertempuran ada hal penting yang harus hamba sampaikan..”
Teriak seorang prajurit
ditengah hujan yang terus mengguyur bumi
“prajurit jangan ikut
campur..ini masalah keluarga kerajaan..kembali kebarisan mu..”
Sentak Prabu Platik waja
yang kini dengan Mandau ditanganya terlihat bersiur diantara tubuh Prabu Gegar
wahana yang dengan pedang tipis ditangan menangkis tiap gempuran dan sambaran
Mandau milik Prabu platik waja.
“Gusti Prabu..Syeh Idlopi
dan putri Zahra serta pemuda asing itu sudah jauh meninggalkan kepulauan Lombok
ini..”
Teriakan terakhir prajurit
ini akhirnya mampu menghentikan jalannya pertempuran diantara kedua raja pulau
Lombok ini.
“apa kamu bilang barusan
benar prajurit..” sentak Prabu Platik waja
“benar Gusti Prabu..beberapa
anak buah hamba melihat mereka di pesisir sebelah selatan pegunungan Rinjani,
mereka menggunakan perahu kearah matahari terbit sepertinya tujuan mereka pulau
Jawadwipa..”
“kurang ajar..Syeh Idlopi
mengingkari perjanjian..” sentak Prabu Gegar wahana
“lalu apa yang akan Gusti
Prabu lakukan..”
“kakanda Gegar wahana..kita
telah di hianata oleh Syeh dari Gujarat itu..lebih baik kita sama-sama mengejarnya
dan meminta pertanggungan jawab pada Syeh Idlopi..”
“baiklah dinda Platik
waja..pasukan kita gabung menjadi satu …hari ini juga kita bertolak ke pulau
Jawadwipa..”
Tak lama dari arah teluk
sebelah selatan pegunungan rinjani ribuan perahu layar berjenis pinisi terlihat
bergerak perlahan kearah matahari terbit, tujuan pasukan gabungan ini sudah
jelas..Pulau Jawadwipa.
ooooOoooo
Salam Bhumi Deres Mili
Penulis
Selanjutnya: DHARMA BAKTI PENAWAR KUTUK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar