Sungging Prabangkara sapukan pandangannya dari
atas bukit. Tiga hari yang lalu Manggala yang kini mengangkat dirinya menjadi
ketua partai arit iblis menemui dan meminta Sungging Prabangkara beserta
keluarga meninggalkan perguruan silat sekaligus sanggar melukis bagi anak-anak
di sekitar perdikan welangun untuk mengakui kedaulatan partai arit iblis. Tentu
saja Sungging Prabangkara tidak menggubris permintaan Manggala.
“Tiga hari di muka. Kau harus putuskan jika tidak
keselamatan keluargamu ada di tangan partai arit iblis..” ancam Manggala.
“Sekarang pun keputusan itu tetap sama kisanak
Manggala..” ujar Sungging Prabangkara tenang.
“Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Jangan
salahkan partai arit iblis jika perdikan ini rata dengan tanah. Sentak Manggala
gusar.
“Kisanak ini urusan antara saya dan partai arit
iblis. Jadi saya harap jangan bawa-bawa keluarga saya dan perdikan welangun
ini..”
“Sekarang menjadi urusan dirimu, keluarga dan
perdikan ini. Kecuali kau serahkan perdikan ini dengan suka rela dan
meninggalkannya. Aku jamin dirimu dan keluarga mu akan selamat..”
“Kisanak Manggala. Apa yang kau harapkan dari
perdikan ini..”
“Itu urusan ku. Ingat tiga hari di muka kami
menunggu jawaban mu..” ujar Manggala lantas tinggalkan Sungging Prabangkara
yang masih tertegun.
Sungging Prabangkara yang masih terpesat pada
alam lamunannya tersentak kaget manakala dirasakannya desiran angin dingin
melintas di samping kanannya di susul sekelebatan bayangan yang kini telah
berdiri tiga langkah di hadapan pemuda gagah ini.
“Andika Mangkurat. Ada angin apa menyambangi
perdikan kami..”
Sosok pemuda dengan rambut di gelung diatas
kepalanya ini cuma tersenyum.
“Kisanak Sungging. Tidak disangka sang maha welas
asih mempertemukan kita lagi. Dan siapa yang menyangka Putri agung Padjajaran
yang di kabarkan bela pati di palagan bubat kini menjadi pendamping hidup mu..”
ujar Mangkurat yang membuat Sungging Prabangkara tertegun.
“Andika Mangkurat mengetahui tentang hal itu..”
ujar Sungging Prabangkara masih dalam rasa keheranannya.
“Kisanak Sungging tidak usah heran. Dalam
pengembaraan aku menyirap kabar raibnya senjata mustika bilah pedang
sanggabuana yang berada di tangan Sanjaya. Satu waktu aku ditemui oleh sosok
astral Mpu. Palwa sang pembuat bilah pedang dahsyat itu. Dari beliaulah semua tabir gelap teka-teki
semua yang terjadi terungkap. Termasuk keberadaan Sanjaya. Saudara kembar mu.
Kisanak Sungging..”
“Saudara kembar saya. Andika Mangkurat..” ujar
Sungging Prabangkara antusias.
“Benar. Dari sosok astral Mpu. Palwa kisah
perjalanan saudara kembarmu terungkap..”
Tanpa di minta dua kali. Mangkurat mengisahkan
sebuah cerita kelam tentang Sanjaya yang kini telah menanggung kutuk dan dunia
persilatan mengenal nya dengan sebutan Sada Lanang.
“Jadi saudara kembar saya itu sekarang tengah
menjalankan lelaku Dharmabakti Penawar kutuk..” ujar Sungging Prabangkara
pelan.
“Begitulah yang diceritakan sosok astral Mpu.
Palwa pada ku. Kisanak Sungging..” ujar Mangkurat yang mendadak terkejut begitu
menengok ke samping kiri satu sosok anggun telah berada diantara dirinya dan
Sungging Prabangkara.
“Tuan Putri Dyah Pitaloka..” ujar Mangkurat
sambil merapatkan kesepuluh jari tangannya di depan keningnya.
“Tuan Mangkurat. Tidak usah menyembah begitu.
Saya sekarang hanya rakyat jelata..” ujar sosok anggun yang tak lain dari Dyah
Pitaloka. Putri Padjajaran.
“Bagi hamba. Tuan putri bagai kuntum teratai di
tengah belukar..” ujar Mangkurat takjim.
“Sudahlah tuan Mangkurat. Lupakan semua
peradaban. Cukup panggil Pitaloka saja..”
“Baiklah gusti putri..ada sesuatu yang musti saya
sampaikan..”
“Apa itu tuan Mangkurat..”
“Tentang Mahapatih Gajah Mada yang menyerahkan
bilah keris mustikanya pada Raden Niskala Wastu Kencana..”
“Gajah Mada menyerahkan kerisnya pada Anggalarang
adik saya. Apa maksud patih wilwatikta itu..” ujar Pitaloka penasaran.
“Hamba sendiri kurang paham. Tapi hemat saya
secara tidak langsung gusti patih Gajah Mada membuka peluang dan bertanggung
jawab jika raden Niskala mau menuntut balas atas peristiwa di palagan bubat..”
“Angalarang harus mengurungkan niatnya. Menantang
duel dengan Gajah Mada. Kawula Padjajaran memerlukan dirinya..” ujar Dyah
Pitaloka Khawatir.
“Nyimas. Pitaloka apa yang kau khawatirkan..”
sela Sungging Prabangkara manakala dilihatnya raut wajah istrinya menegang.
“Kakang Sungging. Gajah Mada bukan lawan
Anggalarang. Bagaimana dengan trah penerus Padjajaran jika Anggalarang tewas
sia-sia di tangan Gajah Mada..”
“Lalu apa yang akan nyimas lakukan..” ujar
Sungging prabangkara sambil mengusap wajahnya.
“Tuan Mangkurat. Boleh saya minta tolong..” ujar
Dyah pitaloka pelan.
“Silahkan. Pertolongan apa yang gusti putri
perlukan..”
“Sekarang ini mungkin Anggalarang tengah
menghabiskan sisa pengembaraannya selama satu tahun sebagai prasyarat menjadi
prabu di padjajaran. Saya mohon sudilah kiranya tuan Mangkurat mencari
Anggalarang dan menyuruhnya datang ke perdikan welangun ini. Sebab kami tidak
mungkin mencarinya perdikan welangun membutuhkan kami..”
“Baiklah gusti putri. Tapi kalau boleh hamba tahu
apa yang tengah terjadi di perdikan welangun..”
“Kami sedang dapat musibah. Sekar wangi anak kami
di culik orang-orang partai arit iblis..” sela Pitaloka masgul.
“Arit iblis..hem.. hamba tahu siapa
pemimpinnya..” ujar Mangkurat geram.
“bagaimana kalau hamba sekalian mencari
keberadaan Sekar wangi..” pungkas Mangkurat.
“Terimakasih andhika Mangkurat. Tapi biarlah
urusan itu menjadi tanggung jawab kami..” kata Sungging Prabangkara bergetar.
“Baiklah kalau begitu saya pamit. Mudah-mudahan
urusan kalian cepat selesai..” ujar Mangkurat. Lalu tak menunggu lama sosoknya
telah berada puluhan mil di kaki bukit sebelah tenggara.
“Kakang sungging. Mari kita melacak keberadaan
Sekar..”
“Mari nyimas..”
Keduanya lantas jejakan kaki ke tanah yang dalam
sekejap sosok keduanya telah raib di balik lebatnya pepohonan.
ooooOoooo
Debur ombak terdengar bergemuruh memecah pantai
Eretan. Menghempaskan apa saja yang berada di atasnya. Dari arah utara garis
cakrawala puluhan titik hitam tampak terombang ambing di sapu gelombang lautan.
Begitu mendekati bibir pantai barulah di ketahui puluhan titik-titik hitam itu
ternyata perahu-perahu sejenis vinisi. Tak lama puluhan prahu vinisi itu
merapat di pantai Eretan yang landai itu. Dari dalam perahu berloncatan
beberapa orang berbaju zirah. Tampaknya para pendatang itu adalah
pasukan-pasukan yang terlatih. Tampak dari cara mereka berloncatan dengan
ringan dan menjejak tanah berpasir tanpa bersuara. Seorang pemuda gagah berselempang
dodot sutra berwarna coklat dengan luka lebar berbentuk cakaran di punggungnya
terlihat menghampiri seseorang dengan akar bahar melingkar di ke dua lengannya.
“Kanda Gegar Wahana. Apakah baik-baik saja..”
ujar pemuda dengan luka cakaran di punggungnya ini pelan.
“Aku baik-baik saja dinda Platik Waja. Bagaimana
dengan pasukan kita..”
“Badai semalam telah memporak-porandakan armada
kita kanda. Hanya puluhan perahu saja yang selamat sisanya tertelan gelombang
samudra hindia yang ganas itu..”
“Syeh Idlopi harus bertanggung jawab akan semua
ini..”
“Kanda Geger Wahana. Apakah kita telah sampai di
Jawadwipa..”
“Aku tidak yakin dinda. Tapi menilik dari kondisi
pantai yang landai ini dipastikan kita semua telah terdampar di pulau
Jawadwipa..”
“Lalu langkah kita selanjutnya apa kanda ..”
“Seperti tujuan awal. Kita cari sampai dapat Syeh
Idlopi dan putrinya Zahra..”
“Lalu bagaimana dengan pemuda berparut di pipi
kirinya itu kanda..”
“Maksudmu Sada Lanang..”
“Benar kanda..”
“Kita tidak ada urusan dengan pemuda berparut
itu..”
Pemuda gagah dengan dodot sutra berwarna coklat
keemasan itu hanya menganggukkan kepalanya. Puluhan orang berbaju perang dengan
persenjataan lengkap ini tak lain dari pasukan perang dari tanah seberang
pegunungan Rinjani kepulauan Lombok di bawah komando dua raja kakak beradik
Prabu Gegar Wahana dan Prabu Platik Waja yang beberapa waktu lalu dalam
pengejaran seorang Syeh dari tanah Gujarat yang di sinyalir berada di tanah
Jawadwipa.
Pasukan gabungan di bawah komando dua Prabu itu
perlahan tinggalkan bibir pantai Eretan menuju kearah selatan. Kedua prabu ini
seharusnya bergerak kearah timur. Karena tujuan dari syeh idlopi adalah
Caruban. Sebuah daerah yang kelak akan menjadi kesultanan termasyur di zamannya
Kesultanan Cirebon.
Belum beberapa langkah pasukan yang di pimpin dua
prabu ini bergerak meninggalkan bibir pantai Eretan. Mendadak suasana alam yang
semula terang benerang perlahan meredup. Hembusan angin pantai terdengar
bergemuruh disusul munculnya gumpalan kabut tebal menutupi jarak pandang.
Begitu kabut perlahan memudar. Samar-samar dihadapan pasukan gabungan ini
tampak pasukan lain dengan dandanan yang aneh. Pasukan yang baru datang
bersamaan gumpalan kabut ini memakai pakaian perang yang seakan menyatu dengan
kulit mereka dan bersenjatakan perisai serta tombak panjang berujung runcing
lengkap dengan pengaitnya. Salah seorang dari mereka maju tiga langkah di
hadapan prabu Geger Wahana dan prabu Platika Waja.
“Ratu kami ingin bertemu dengan kalian. Harap
ikuti langkah kami..” ujar sosok ini datar.
“Maap siapa kalian ini..” menimpali prabu Platik
Waja.
“ Kami prajurit kerajaan Sumur Tiris..”
“Kerajaan Sumur Tiris. Dimanakah letak kerajaan
kalian itu..” ujar prabu Geger Wahana pelan.
“Kalian semua telah berada di depan pintu gerbang
kerajaan kami..” ujar sosok ini bergetar.
Prabu Gegar Wahana dan prabu platik Waja tertegun
mendengar jawaban sosok ini. Tak menunggu lama semua prajurit gabungan dari
pegunungan Rinjani kepulauan Lombok ini di buat tercengang. Dihadapan mereka
yang semula bibir pantai dengan hamparan pasir putih. Kini tampak sebuah pintu
gerbang kokoh terlihat tegak memancarkan sinar keperakan. Kabut tipis terlihat
melayang perlahan di sekitarnya.
“Silahkan masuk..Ratu kami telah menunggu kalian
semua..” ujar sosok prajurit berbusana aneh ini pelan.
Seperti terkena kekuatan hipnotis. Prabu Gegar
Wahana dan prabu Platik Waja beserta seluruh prajurit gabungannya melangkah
mengikuti puluhan prajurit yang mengaku dari kerajaan Sumur Tiris ini memasuki
pintu gerbang kokoh yang memancarkan sinar keperakan itu. Begitu semua orang
telah memasuki pintu gerbang. Secara perlahan pintu gerbang kokoh yang
memancarkan sinar keperakan itu memudar dari pandangan lalu lenyap berganti
dengan suasana tepi pantai yang landai dengan pasir berwarna putih.
ooooOoooo
Prabu Gegar Wahana dan Prabu Platik Waja
tertegun. Degup jantung kedua prabu dari kepulauan Lombok ini berdebar kencang.
Desiran aneh merambah simpul-simpul saraf mereka. Dihadapan keduanya duduk
dengan anggun di sebuah singgasana terbuat dari gading bertatahkan mutiara
serta gemerlap intan permata satu sosok wanita dengan kecantikan yang luar
biasa dengan mahkota kerang mutiara serta busana kebesaran layaknya seorang
Ratu dari Khayangan. Perlahan sosok wanita cantik ini berjalan menghampiri ke
dua prabu yang masih tercengang mengagumi kecantikannya.
“Selamat datang di kerajaan Sumur
Tiris..Kedatangan kalian telah lama saya tunggu selama dua ratus tahun yang
lalu..” ujar wanita anggun ini pelan.
“Apakah anda Ratu di kerajaan ini..” sela Prabu Platik Waja tergagap.
“Benar. Saya nyai Rara Denok. Penguasa kerajaan
Sumur Tiris ini..”
“Maap Ratu…Apa kami tidak salah dengar. Ratu
barusan mengatakan telah menunggu kami selama dua ratus tahun yang
lalu…jangankan kami. Mungkin ayah dan ibu kami pun belum tentu terlahir pada
masa itu..” ujar Prabu Gegar Wahana dengan nada keheranan.
Wanita anggun ini cuma tersenyum di kulum
menanggapi pertanyaan prabu Gegar wahana.
“Baginda..Tiada yang tidak mungkin di mayapada
ini. Sudahlah tidak usah merisakan tentang semua pernyataan saya tadi. Yang
jelas baginda berdua kami undang untuk sebuah penawaran..”
“Penawaran..maksud Ratu..” ujar Prabu Platik
Waja.
“Saya tahu tujuan paduka berdua datang ke tanah
Jawadwipa ini. Bukankah paduka berdua sedang dalam pengejaran seorang
buronan..”
“Benar Ratu. Kami sedang dalam pengejaran buronan.
Seorang Syeh dari nagri Gujarat..” sela prabu Gegar Wahana.
“Itu mudah. Pasukan kami akan membantu paduka
berdua mencari buronan itu. Tapi dengan satu syarat..”
“Apa syaratnya Ratu..” ujar kedua prabu ini
berbarengan.
“Bergabunglah dengan Kerajaan Sumur Tiris dan
paduka berdua bersedia menjadi suami-suami saya..bagaimana. Paduka berdua setuju..”
Prabu Gegar Wahana dan prabu Platik Waja
tertegun. Namun pandangan tajam Ratu Rara Denok ini kembali membuat kedua Prabu
ini seperti terkena kekuatan hipnotis yang amat dahsyat hingga keduanya entah
sadar atau tidak menyanggupi persyaratan aneh tersebut.
Kedua Prabu dari kerajaan pegunungan Rinjani
kepulauan Lombok ini tidak pernah mengetahui bahwa sebenarnya mereka semua
telah terpesat ke sebuah alam astral. Dimana Kerajaan Sumur Tiris ini
sebenarnya adalah Kerajaan Siluman.
Sungguh tragis nasib dari kedua Prabu dari
kerajaan pegunungan Rinjani kepulauan Lombok ini. Kesepakatan dengan siluman adalah
persekutuan. Konsekuensinya adalah jiwa-jiwa mereka yang tertahan dan
terkatung-katung sampai hari penghabisan tiba.
ooooOoooo
Anggalarang hentikan laju kuda tunggangannya
begitupun dengan Mangkurat. Pemuda telik sandi yudha Majapahit ini lantas menghampiri
Anggalarang.
“Ada apa raden..”
“Andika Mangkurat tidak merasakan sesuatu..”
Mangkurat sesaat hela napasnya dalam-dalam.
Dongakan kepalanya ke atas lalu endus
udara sekitar perlahan. Kening pemuda ini tampak berkerut.
“Sebuah tenaga inti yang dahsyat saling
bertumbukan. Raden..”
“Andika mangkurat. Baiknya kita tinggalkan dahulu
kuda-kuda di sini..mari kita melacak energi tenaga inti yang sangat dahsyat
ini..”
“Mari Raden..”
Keduanya lantas turun dari kuda masing-masing.
Setelah mengikat tali pengekang kuda di sebuah pohon. Anggalarang dan mangkurat
jejakkan kaki ke tanah yang dalam sekejap sosok keduanya tampak melayang
menembus rimbunnya pepohonan hutan.
Gadis
kecil berusia enam tahun ini miringkan badannya kesamping kiri. Lesatan rantai
maut lewat satu senti dari keningnya lalu menghantam sebongkah batu padas
hingga hancur luluh menjadi debu.
“Sangaran cepat tangkap kembali bocah itu.
Perjalanan kita masih jauh..”
“Sedang aku upayakan manggala. Tapi gadis cilik
ini tangguh juga..”
“Huh..melawan satu bocah saja kerepotan..Warok
sampar Kombayoni cepat bantu Sangaran..”
Tanpa di komando dua kali. Warok dari hutan roban
ini lesatkan badannya keatas. Bersalto beberapa kali diudara lalu kembangkan
telapak tangan kanannya berusaha mencengkeram kerah baju gadis cilik ini.
Menyadari ada seseorang yang berusaha menangkap
dirinya dari udara. Gadis kecil pemberani ini gulingkan badannya sejajar dengan
tanah. Begitu dirasakan sambaran angin keras dari atas. Dengan sigap lentingkan
badannya ke udara mendahului tubuh Warok Sampar kombayoni. Begitu tubuhnya
setengah tombak diatas sang warok. Bocah perempuan ini dengan cepat hujamkan
tumitnya tepat mengenai tengkuk lawannya.
“buukk..!!”
Tubuh Warok Sampar Kombayoni terjerembab di tanah
dengan keras. Tapi dengan sigap bangun kembali sambil menghunus senjata
andalannya tombak pendek berujung trisula. Lalu kembali menyerang gadis cilik
yang kembali berhadapan dengan rantai maut milik Sangaran.
“Urusan ini akan kapiran. Bila gadis kecil ini
tidak segera di lumpuhkan..” memikir sampai di situ. Manggala si arit iblis
siapkan pukulan jarak jauh mengandung tenaga inti jurus kuntum kilat melecut
raga.
“Blaaaaammmm…!!”
Dentuman keras terdengar memekakan telinga.
Manakala sebuah pohon tumbang terkena sambaran jurus dahsyat ini. Namun gadis
kecil ini telah raib dari pandangan ke tiganya. Yang tampak kini seorang pemuda
gagah berbaju putih bercelana hitam dengan buntalan butut di punggungnya.
Sedang tiga tombak di arah kanannya seorang pemuda tegap dengan rambut di
gelung diatas terlihat mendukung bocah perempuan yang tampak pingsan itu.
“Memalukan..menghadapi bocah kecil saja sampai
mengeluarkan jurus mematikan..” gumam orang yang baru datang ini tegas.
Mengetahui siapa yang datang. Warok Sampar
Kombayoni tampak membisikan sesuatu di telinga Manggala.
“Manggala. Lebih baik kita tinggalkan tempat
ini..” bisik Warok sampar Kombayoni.
“Kalian lagi. Biasanya kalian ber empat. Mana
Tunggara si pisau terbang itu..” sentak orang tegap dengan rambut di gelung ke
atas ini lantang.
“Telik sandi yudha Majapahit. Dulu kau boleh
bangga dapat mempecundangi kami. Tapi kali ini jangan harap bisa lolos dari
kami..”
“Raden. Tolong jaga sobat kecil kita ini. Partai
arit iblis hari ini akan aku binasakan..” sela orang yang rambutnya di gelung
ke atas itu sambil menyerahkan gadi kecil yang pingsan pada pemuda gagah
berbaju putih.
“Aku lawan mu telik sandi..” sentak Warok Sampar
Kombayoni yang langsung tusukkan tongkat berujung trisula di lambari jurus
tenaga inti.
Pertarungan antara Warok Sampar Kombayoni dan
pemuda yang rambutnya di gelung keatas ini kembali pecah. Sedang dua orang
temanya yakni Sangaran dan Manggala yang hendak turun gelanggang hendak
mengeroyok tertegun. Dihadapan keduanya telah berdiri seorang perempuan dengan
pedang giok hijau terhunus dan disamping perempuan anggun ini terlihat satu
sosok pemuda gagah yang tengah kembangkan kedua telapak tangannya. Bayangan
puluhan kuas kecil terlihat berputar diantara kedua telapak tangan pemuda gagah
tersebut.
“Manggala aku lawan mu..” sentak pemuda gagah ini
lantang.
“Sungging prabangkara..pengecut. berapa kau bayar
orang-orang itu untuk membantu mu..’
“Mereka para sahabat ku..jangan banyak
dalih..hari ini semua kejahatan mu akan hancur..”
“hahaha..jumawa. buktikan ucapan mu..” sentak
Manggala lantang.
Manggala kebut pergelangan tangan kanannya yang
di sambung logam berujung arit berwarna merah ke depan. Sinar merah berbuntal
semburat melaju kearah Sungging Prabangkara. Inilah jurus kuntum kilat melecut
raga yang dahsyat itu. Rupanya Manggala menginginkan pertempuran cepat. Tapi
kali ini yang di hadapinya adalah Sungging Prabangkara. Seorang tokoh muda
berilmu tinggi. Sementara itu sosok perempuan anggun yang tak lain dari Dyah
Pitaloka. Dengan menggunakan bilah mustika pedang giok hijau dengan tenang
hadapi setiap serangan yang di lancarkan Sangaran. Rantai maut sangaran yang
menyerangnya bagai air bah dapat di tangkisnya dengan mudah oleh bilah mustika
pedang giok hijau milik putri padjajaran ini.
Di pinggir arena pertarungan tingkat tinggi.
Dibawah rindangnya pokok pohon randu alas. Pemuda gagah baju putih bercelana
hitam dengan buntalan butut di bahu yang tak lain dari Anggalarang tengah
berupaya menyadarkan gadis kecil enam tahun yang terkena sambaran jurus kuntum
kilat melecut raga level tiga milik Manggala. Setelah menotok beberapa titik
simpul saraf dan menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh gadis cilik ini.
Perlahan erangan halus terdengar dari bibir gadis kecil ini. Matanya yang
bening perlahan terbuka begitu mendapati dirinya bersama orang yang tak
dikenalnya. Gadis kecil ini kembali pasang kuda-kuda penyerangan.
“Tahan serangan mu cah ayu..saya sahabat mu..”
ucap Anggalarang sambil tersenyum.
“Siapa paman ini..apakah teman-teman dari
orang-orang jahat itu..” sentak gadis kecil itu sewot.
“Siapa namamu cah ayu..” ujar Anggalarang lembut.
“Saya Sekar wangi..”
“Cah ayu kenal dengan wanita yang sedang
bertarung dengan menggunakan pedang hijau itu..”
“Dia biung saya..paman..”
“Ah..ternyata benar dugaan paman..cah ayu adalah
keponakan paman..”
“Maksud paman..”
“Biungmu itu adalah kakak paman cah ayu..”
“Berarti paman ini adalah..paman Anggalarang..”
“Cah ayu tahu dari mana nama paman..”
“Biung Pitaloka selalu menceritakan tentang
paman..”
“oh..begitu rupanya..”
“Paman tidak membantu biung dan roma saya
menghadapi orang-orang jahat itu..”
“Paman yakin biung dan romo mu mampu mengalahkan
orang jahat yang telah menculik mu cah ayu..jadi kita menonton saja ya...”
Gadis kecil itu hanya tersenyum. Sementara
pertempuran masih terus berlangsung dengan sengit.
Sangaran putar rantai maut dengan cepat. Saking
cepatnya yang tampak kini hanya bayang-bayang hitam berbentuk perisai. Hebatnya
dari dalam putaran rantai berbentuk perisai itu melesat lusinan bayangan rantai
mengarah titik-titik mematikan dari lawannya.
Pedang mustika giok hijau milik Dyah Pitaloka
sampai bergetar hebat. Manakala memapasi gempuran bayangan rantai yang terlihat
berdesing mengincar sasarannya. Telapak tangan putri Padjajaran ini serasa
kesemutan di buatnya.
“Reeeeetttttt….Craaaakkk..!!”
Sebuah bayangan rantai maut sempat menyerempet
lengan kiri dari Dyah Pitaloka. Walau hanya sebuah bayangan. Hebatnya dapat
menggores kulit sampai melepuh. Wanita anggun ini terpekik kesakitan. Genggaman
tangan kanannya pada gagang pedang sedikit longgar. Kesempatan itu tidak di
sia-siakan oleh Sangaran. Arah putaran rantai maut berubah menjadi lesatan yang
dalam beberapa kejap rantai itu telah melibat pertengahan badan pedang. Dan
dengan sekali hentakan pedang mustika giok hijau lepas dari genggaman Dyah
Pitaloka. Namun wanita perkasa ini mana mau membiarkan pedang mustika
kesayangannya di rebut lawannya. Maka dengan kecepatan tinggi tubuh putri
Padjajaran ini ikuti tarikan rantai maut sangaran pada pedangnya begitu sampai
di atas kepala Sangaran dengan cepat hujamkan tumitnya tepat mengenai ubun-ubun
dari Sangaran.
“Bruuuakkk..!!”
Tubuh Sangaran ambruk di tanah dengan keras.
Pandangan matanya berkunang-kunang. Sebelum menyadari apa yang telah terjadi.
Sangaran merasakan rantai maut yang di pegangnya terlepas dan dengan cepat
melibat tubuhnya sendiri sampai tidak dapat bergerak. Sebuah sentuhan kecil
berhawa dingin di pangkal leher membuatnya kaku tidak dapat bergerak ataupun
bersuara. Hanya kedua bola matanya saja yang masih bisa melirik ke kanan dan ke
kiri.
Apa yang di alami oleh Sangaran. Terjadi juga
pada Warok Sampar Kombayoni. Tubuh Warok dari hutan roban ini terlihat berdiri
kaku. Tongkat pendek berujung trisula masih tergenggam di tangan kanannya.
Sementara di sisi lain. Manggala si arit iblis
kondisinya tidak sebaik dari ke dua temannya. Ketua partai arit iblis ini
tampak terjungkal di tanah berumput dengan puluhan kuas kecil menancap di
hampir seluruh tubuhnya. Namun tak tampak setetes darah pun yang keluar dari
luka akibat tusukan puluhan kuas kecil itu. Tubuh Manggala terlihat kaku ambruk
di tanah. Entah pingsan atau sudah menemui ajalnya.
“Biuuuunggg…!!”
Gadis kecil enam tahun ini terlihat berlari
memeluk ibunya. Dyah Pitaloka hanya tersenyum simpul menyambut rangkulan putri
kecilnya itu.
“Nyimas Pitaloka..bagaimana dengan luka mu..”
kata Sungging Prabangkara sambil memperhatika luka lebam di tangan kiri
istrinya itu.
“Tidak apa-apa kakang Sungging. Hanya luka bakar
ringan saja..” ujar wanita anggun ini pelan. Sosoknya lantas menghampiri seorang
pemuda gagah berbaju putih bercelana hitam dengan buntalan butut di
punggungnya. Yang tak lain dari Anggalarang adiknya.
“Rayi Anggalarang..” ujar Dyah Pitaloka bergetar menahan haru yang
tiba-tiba menyergap relung hatinya.
“Kakang mbok Pitaloka..gumam pemuda ini
terbata-bata. Dirasakannya kedua kelopak matanya memanas. Walau sudah di tahan
sebisanya namun butiran bening luruh juga dari sudut mata Anggalarang. Kedua
kakak beradik ini berangkulan. Isak tangis Dyah Pitaloka pecah sudah.
“Maap Raden dan gusti putri Pitaloka. Hamba
mengganggu suasana yang mengharukan ini. Tugas hamba menangkap komplotan partai
arit iblis telah selesai. Hamba akan membawa para perusuh ini ke Majapahit..”
ujar Mangkurat sambil menyusun ke dua telapak tangannya di depan dada.
“Baiklah andika Mangkurat. Kami sekeluarga sangat
berterimakasih dengan semua bantuan andika pada kami..” ujar Sungging
prabangkara sambil menggendong Sekar Wangi putri kecilnya.
“Tidak mengapa. Kisanak sungging..tapi bagaimana
saya dapat membawa tiga orang buronan ini ke Majapahit saya khawatir di tengah
jalan mereka berbuat ulah..” ujar Mangkurat khawatir.
“Tidak usah risau andika Mangkurat. Mereka tidak
akan bisa berbuat apa-apa lagi. Seluruh kanuragan serta tenaga inti yang mereka
miliki telah musnah. Kini mereka menjadi orang biasa saja..” ujar Anggalarang
pelan.
“Bagaimana bisa Raden..” kata Mangkurat heran.
“Selagi mereka bertarung. Saya telah memusnahkan
kanuragan dan tenaga inti yang mereka miliki dengan ini..” ujar anggalarang
sambil memperlihatkan sesuatu pada Mangkurat.
“Sebatang lidi..” ujar Mangkurat tercengang.
“Sebatang lidi ini adalah lidi jantan atau sada
lanang andika mangkurat. Nah bawa mereka ke Majapahit. Mereka bertiga akan
menurut pada andika bagai kerbau di cocok hidungnya..”
“Baiklah Raden..terimakasih atas semuanya..” ujar
Mangkurat yang selanjutnya menggiring ketiga buronan kerajaan ini menuju
Majapahit.
ooooOoooo
Perdikan welangun tampak hening dalam dekapan
sang malam. Semilir angin dari lereng Arjuna terasa dingin mencucuk persendian.
Kabut tipis mulai turun menyelimuti alam sekitarnya. Suara serangga dan
binatang hutan berkumandang menyenandungkan sabda alam. Memuji kebesaran sang
penciptanya. Disebuah bilik rotan. Anggalarang dan Dyah pitaloka tampak
berbincang. Sedang Sekar Wangi sudah terlelap dalam dekapan hangat boponya.
Sungging prabangkara.
“Rayi Anggalarang. Beberapa bulan di muka genap
satu tahun pengembaraan mu. Lebih baik kembali ke Padjajaran. Seluruh kawula
alit membutuhkan dirimu..” ujar Dyah pitaloka pelan.
“Tapi kakang mbok. Tekad saya sudah bulat. Untuk
memulihkan kewibawaan Padjajaran. Duel dengan Gajah Mada merupakan
jawabannya..”
“Rayi Anggalarang. Kadang apa yang rayi lihat
adakalanya tidak seperti kenyataannya..”
“Maksud kakang mbok Pitaloka..”
“Rayi tentu mengenal benda ini..” ujar Dyah
pitaloka sambil memperlihatkan sesuatu pada Anggalarang.
“Tentu kakang mbok. Bukankah itu patrem saka
domas..”
“Benar. Rayi tentu sudah mendengar kisah patrem
saka domas ini..”
“Paman Mangkubumi Bunisora Suradipati sudah menceritakan
semuanya..”
“Apa yang rayi Anggalarang lihat sekarang ini..”
“Kakang mbok Pitaloka dan mban Dalem masih
hidup..” ujar Anggalarang pelan.
“Nah..tidak menutup kemungkinan ramanda Prabu
Linggabuana, Ibunda, dan seluruh prajurit balapati Padjajaran yang tewas di
palagan bubat. Kondisinya sama dengan kakang mbok mu ini..”
“Tapi bila itu terjadi. Mengapa mereka tidak
kembali ke Padjajaran. Begitupun dengan kakang mbok Pitaloka..” gumam
Anggalarang.
“Anggalarang. Setiap orang punya tujuan hidup
masing-masing. Dan tidak semua tindakan memerlukan sebuah alasan..”
“Saya paham akan falsapah itu kakang mbok. Namun
sebagai seorang kesatriya janji adalah hutang. Wajib hukumnya untuk di bayar.
Sebagai calon Prabu. Sabda Pandita Ratu adalah mutlak..”
“Baiklah Rayi Anggalarang. Kalau jalan pedang itu
yang rayi kehendaki. Kakang mbok tidak bermaksud menghalangi jalan ksatriya mu.
Tapi hanya satu pesan kakang mbok mu ini..kawula alit Padjajaran membutuhkan
Dharma Bakti mu..”
“Saya mengerti kakang mbok. Malam ini juga saya
berangkat ke Majapahit sampaikan salam saya pada suamimu Sungging Prabangkara
dan keponakan saya sekar Wangi..”
Dyah pitaloka hanya bisa menganggukan kepalanya.
Putri Padjajaran ini hanya bisa pasrah dan berdoa pada sang maha kuasa atas
keselamatan Anggalarang adiknya. Begitu sosok pemuda gagah ini lenyap di balik
pintu. Sebuah tangan yang kokoh tampak memegang bahu Dyah Pitaloka.
“Kakang Sungging Prabangkara…” ujar wanita anggun
ini pelan.
“Sudahlah nyimas. Kita doakan saja agar tujuan
dari adikmu itu tercapai..”
“Tapi kakang. Anggalarang bukan lawan Mahapatih
Wilwatikta itu..”
“Nyimas. Bukan kekuatan ataupun kedigjayaan yang
akan menentukan kalah atau menangnya sebuah pertarungan. Hanya keinginan serta
tekad yang kuatlah kunci dari segalanya..”
Dyah Pitaloka pandang dengan mesra pemuda gagah
yang kini sudah menjadi belahan jiwanya ini. Perlahan wanita anggun ini
rebahkan kepalanya pada pundak kekar Sungging Prabangkara yang langsung
mengelus rambut panjang dari putri Padjajaran itu.
ooooOoooo
Salam Bhumi Deres Mili
Selanjutnya...
MEMBURU JEJAK MAHAPATIH WILWATIKTA
wah ceria yang lumayan serem
BalasHapus