Mentari tampak malu-malu memancarkan bias
sinarnya diantara rimbunnya dedaunan beringin kurung yang terdapat di salah
kompleks bangunan istana Kerajaan lembah Indus. Kabut tipis dari lereng
pegunungan Himalaya terlihat melayang pelan diantara kokohnya benteng istana.
Dua orang penjaga pintu gerbang terlihat merapatkan kerah mantel tebal yang
dipakainya. Kepulan asap sisa api unggun semalam masih teronggok menyisakan
debu hitam. Mendadak kedua penjaga pintu gerbang ini silangkan kedua tombak
yang di pegangnya manakala satu sosok bercaping bambu dengan tongkat berujung
sapu lidi bermaksud melintasi pintu gerbang.
“Berhenti kisanak. Siapakah kisanak ini dan ada
tujuan apa kemari..” sentak penjaga pintu gerbang itu sambil masih menyilangkan
tombak satu sama lain menghalangi langkah sosok bercaping bambu ini.
“Saya Sada Lanang. Bermaksud menemui Ratu
kalian..”
“Ada keperluan apa kisanak. Kalau kisanak
bermaksud melamar pekerjaan menjadi prajurit lebih baik kembalilah satu tahun
lagi..” kata penjaga pintu gerbang ini lantang.
“Benar kisanak. Tahun depan biasanya selalu ada
perekrutan tenaga prajurit seperti dirimu..” menambahkan teman penjaga pintu
gerbang ini sambil tetap waspada. Mengawasi sosok bercaping bambu di depannya.
“Maap. Tuan prajurit. Saya kemari bukan untuk
itu..” kata sosok yang ternyata Sanjaya atau sekarang lebih di kenal dengan
Sada Lanang.
“Lalu untuk apa kisanak..”
“Sudah saya katakana tadi. Saya bermaksud menemui
Ratu kalian..”
“Gusti Ratu Maespati sedang sibuk. Lebih baik
kisanak kembali nanti saja..” sentak prajurit ini dengan nada tinggi.
“Kalau begitu pertemukan saya dengan Panglima
Rendra Kila..”
“Maksud kisanak Mahapatih Rendra Kila..”
“Oh..jadi Panglima sudah naik jabatan rupanya..”
ujar Sada Lanang pelan.
“Tentu..setelah berhasil menumpas pemberontak dan
penghianat raja Tamtama Gama yang lalim itu..ehh..kisanak ini siapa
sebenarnya..harap buka caping bambu itu..”
Perlahan Sada Lanang buka caping bambu yang
menutupi wajahnya. Kedua prajurit kerajaan lembah Indus ini tersentak kaget
manakala melihat tanda parut melintang di pipi kiri Sada Lanang yang tidak
asing lagi di mata kawula kerajaan lembah Indus. Ketika masih menjadi raja
dengan gelar prabu Tamtama gama.
“Kau..bukankah kau..penghianat itu..” sentak
prajurit ini kaget.
“Tenang tuan prajurit. Saya kemari dengan maksud
baik..” sela Sada Lanang.
Tapi kedua prajurit ini keburu menyerang Sada
Lanang. Tombak yang di pegangnya tampak berdesing menusuk dada sebelah kiri
dari Sada Lanang. Pemuda berparut melintang di pipi kirinya ini dengan replek
menghindar sebisanya. Namun tendangan salah satu prajurit lembah Indus berhasil
mengenai perut sebelah kiri Sada lanang. Sanjaya atau Sada Lanang terjungkal di
rerumputan.
“Hah..mana kemampuan mu penghianat. Cabut pedang
yang selalu kau bangga-banggakan itu..” bentak prajurit ini lantas tusukkan
tombak yang di pegangnya ke dada sebelah kiri Sada Lanang.
“Tahan prajurit..” sebuah bentakan lantang.
Menghentikan laju tombak sesenti dari dada Sada Lanang. Mengetahui siapa yang
datang kedua prajurit ini rangkapkan kedua tangannya di depan dada
masing-masing.
“Tuan Mahapatih Rendra Kila..” ujar kedua
prajurit ini berbarengan sambil masih rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Apa yang terjadi prajurit..”
“Maap tuan Patih. Penghianat kerajaan kembali
lagi..” ujar kedua prajurit itu tergagap.
“Penghianat Kerajaan..” ujar lelaki paruh baya
ini penuh tanda Tanya. Lalu dengan segera pandangi satu sosok yang kini telah
berdiri kembali bertopang pada tongkat kayu berujung sapu lidi. Mata mahapatih
Rendra Kila terbelalak kaget.
“Kau..benar..ini kau..penghianat kerajaan..”
sentak patih Rendra Kila bergetar.
“Maap Mahapatih..saya datang kemari bermaksud
meminta ampun dan maap dari gusti putri Maespati dan seluruh kawula kerajaan
lembah Indus ini..” ujar Sada Lanang lirih.
“Huh..gampang sekali kau meminta maap. Setelah
apa yang kau lakukan pada kami. Prajurit tangkap penghianat ini. Jebloskan ke
penjara bawah tanah..” ujar Patih Rendra Kila lantang. Tanpa menunggu perintah
dua kali. Kedua prajurit keraton lembah Indus ini gelandang sosok Sada Lanang
menuju penjara bawah tanah.
ooooOoooo
Perempuan bermahkota yang sedang memangku bocah
perempuan kecil berusia satu tahun ini tampak tertegun. Manakala mahapatih
Rendra Kila selesai bercerita ihwal penangkapan Sada Lanang. Yang kini
meringkuk di penjara bawah tanah kedaton lembah Indus.
“Paman patih. Apa paman yakin penghianat itu
berani datang ke sini..” ujar wanita anggun ini pelan.
“Benar gusti permaisuri. Tidak salah lagi yang
saya tangkap tadi pagi adalah pemberontak itu..”
“Baiklah. Bawa kemari. Saya ingin memastikan..”
“baik gusti permaisuri..” ujar patih Rendra kila
sambil memerintahkan beberapa prajurit lembah Indus membawa Sada lanang ke
hadapan permaisuri yang menjabat sebagai ratu sementara menunggu sang pewaris
kerajaan lembah Indus putri maespati yang masih berusia satu tahun dewasa.
Tak berapa lama. Beberapa prajurit lembah Indus
tampak menggiring Sada Lanang dengan tangan terikat kebelakang di hadapan
permaisuri.
“Prajurit buka ikatannya..” perintah permaisuri.
Salah seorang prajurit lantas membuka ikatan di
tangan Sada Lanang. Sambil tetap menodongkan tombak yang di pegangnya.
“Tamtama Gama..benar itu kau adanya..berani
sekali kau kembali kemari..” ujar permaisuri menahan amarahnya.
“Maap gusti permaisuri. Hamba datang kemari mohon
ampunan dan maap atas semua perbuatan hamba. Hukuman apapun akan hamba terima
demi mendapat ampunan dan maap dari keluarga kerajaan lembah Indus..”
“Tantama Gama. Kejahatan mu setinggi langit
sedalam lautan. Semestinya hukuman mati adalah pembalasan yang setimpal. Namun
saya mengagumi tekadmu untuk insyaf dan bertobat serta memperbaiki diri.
Sekarang pergilah dari kerajaan lembah Indus ini. Saya mewakili seluruh kawula
kedaton lembah Indus mengampuni seluruh kesalahan mu..” ujar permaisuri arif.
“Tuan Permaisuri. Izinkan hamba mengabdi di
kerajaan lembah Indus. Sebagai dharma bakti hamba dan sebagai penebus semua
kesalahan yang pernah hamba lakukan..”
‘Tidak ada yang harus kau lakukan di kerajaan ini
Tantama Gama. Sekarang pergilah..”
“Baiklah tuan permaisuri. Sebelum hamba pergi
sudilah kiranya tongkat berujung sapu lidi di kembalikan pada hamba..”
“Begitu pentingkah benda itu. Tantama Gama..”
“Benar tuan permaisuri. Benda itulah yang telah
banyak memberikan pelajarah hidup bagi hamba..’
Permaisuri kerajaan lembah Indus ini hanya diam.
Tak lama diperintahkannya salah satu prajurit mengembalikan tongkat berujung
sapu lidi pada Sanjaya atau Sada Lanang.
Diiringi tatapan permaisuri yang tengah
menggendong putri Maespati, patih Rendra Kila dan seluruh kawula kerajaan
lembah Indus. Sanjaya atau Sada Lanang tinggalkan pintu gerbang kerajaan lembah
Indus.
“Maap. Gusti permaisuri membiarkan penghianat dan
pemberontak itu bebas begitu saja..” ujar patih Rendra Kila keheranan.
“Patih. Setiap orang berhak mendapatkan
kesempatan ke dua. Saya melihat tekad dan kesungguhan yang terpancar dari
matanya..” ujar permaisuri pelan.
ooooOoooo
Langkah Sanjaya atau Sada Lanang terhenti pada
sebuah bibir jurang yang sangat dalam. Sejauh mata memandang hanya hamparan
awan tebal yang bergayut menaungi pertengahan jurang. Inilah jurang tanpa dasar
semenanjung Himalaya dimana dahulu sanjaya membunuh Siraj. Seorang pemuda yang
bersekutu dengan iblis dengan pedang sangga buana.
Perlahan pemuda dengan parut melintang di pipi
kirinya ini tancapkan pangkal tongkat berujung sapu lidi di tebing jurang. Tak
menunggu lama sosok pemuda ini terlihat meluncur meniti tebing dengan tongkat
berujung sapu lidinya. Gumpalan kabut tebal yang menaungi pertengahan jurang
menyambut luncuran tubuhnya. Begitu dirasakan daya luncurnya bertambah cepat.
Sada lanang segera cabut pangkal tongkat berujung sapu lidi lalu putar dengan
cepat. Tak lama sosoknya telah menjejakan kaki di dasar jurang tanpa dasar
semenanjung Himalaya.
Begitu sampai di dasar jurang tanpa dasar
semenanjung Himalaya. Mata Sada lanang samar-samar membentur satu onggok
kerangka manusia yang sudah lapuk. Inilah kerangka Siraj yang telah di bunuhnya
setahun yang lalu.
“Siraj. Walau kau tinggal kerangka. Saya yakin
arwahmu masih bersemayam di jurang ini. Saya datang kemari untuk minta maap
dari mu. Rajes..” ujar Sada Lanang lantas digalilah sebuah lubang menggunakan
pangkal tongkat berujung sapu lidi. Setelah itu jasad Rajes yang kini hanya
tulang-belulang di kuburkannya dengan layak.
Kabut tebal mendadak menyelimuti seantero jurang.
Dari dalam kabut menyeruak satu sosok yang bersinar tersenyum kearah Sada
lanang. Sosok astral roh dari Siraj.
“Terimakasih tuan Sanjaya. Kini arwah saya telah
tenang..”
“Siraj maapkan semua kesalahan yang telah saya
lakukan pada diri mu..”
“Tidak mengapa tuan sanjaya. Ada satu hal yang
ingin saya katakana pada tuan..”
“Apa itu Siraj..”
“Anak-anak terlantar yang menjadi tanggung jawab
saya. Masih memerlukan perhatian. Temuilah mereka di goa tempat tinggal saya.
Tolong urus mereka sampai mereka mandiri. Setelah itu tuan Sanjaya harap
menyambangi kuburan Mpu. Palwa sang pembuat pedang Sanggabuana yang telah tuan
bunuh dengan pedang buatannya sendiri..’
“Baiklah Siraj. Semua pesanmu akan saya
laksanakan..”
“Terimakasih tuan Sanjaya..” ujar sosok roh dari Siraj.
Perlahan sosoknya memudar dari pandangan Sanjaya atau Sada Lanang. Lalu hilang
di tiup angin yang berhembus dari atas jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya.
ooooOoooo
Fajar sidik semburat di ufuk timur. Semilir angin
dingin dari lereng sebelah barat pegunungan Sanggabuana terasa mencucuk
persendian. Halimun tipis tampak melayang pelan diantara rimbunnya dedaunan
pohon jati yang banyak tumbuh berseliweran di kawasan yang sepanjang tahun
senantiasa berselimut kabut. Dari balik lamping bukit sebelah tenggara beberapa
sosok bayangan merah terlihat melesat bak anak panah meniti bebatuan terjal di
sisi lamping bukit. Siapapun mereka sudah dapat di pastikan bahwa mereka itu
bukan orang kebanyakan. Terlihat dari gerakan yang di tibulkan nyaris tak
meninggalkan jejak sedikitpun. Langkah-langkah mereka terlihat ringan bagai
kapas di saat menjejak bebatuan runcing nan licin disekitarnya. Hampir
sepeminuman teh. Sosok-sosok bayangan merah itu telah sampai di sebuah
pedataran rumpun bunga abadi/edelwais yang sedang mekar. Sepuluh tombak dari
pedataran rumpun bunga abadi. Sebuah semenanjung terlihat menjulang dari tepi
kawah yang senantiasa bergolak mengepulkan asap berbau belerang. Di tepi kawah
yang senantiasa bergolak kesepuluh
bayangan merah ini hentikan langkahnya.
“Geni telu. Apa kau yakin pedang dahsyat itu
berada di dasar kawah gunung sanggabuana ini..”
Ujar sosok lelaki tinggi besar berjubah merah
dengan muka berwarna senada.
“Tidak salah lagi kakang Geni siji. Menurut kabar
yang tersiar dari mulut ke mulut. Setahun belakangan ini rimba hijau persilatan
digegerkan dengan kabar adanya benda pusaka berupa pedang yang tertanam di
kepunden kawah gunung Sanggabuana ini dan siapapun yang dapat mengambil bilah
pedang itu maka rimba hijau persilatan dapat di kuasainya..” menjawab sosok
jangkung dengan jubah dan penampilan mirip dengan lawan bicaranya ini.
“Tapi. Bagaimana kita bisa mengambil bilah pedang
itu dari dalam kawah..” ujar satu sosok merah bertubuh tambun sambil kibas-kibaskan badannya dengan sebuah
kipas berbentuk bulan sabit.
“Kakang Geni Loro. Itulah yang sedang kita
rencanakan” ujar sosok merah bertubuh jangkung.
“Dengar semuanya. Menurut sumber yang bisa di
percaya. Kawah Sanggabuana ini akan mengering dengan sendirinya pada waktu
bulan purnama penuh. Nah di saat itulah kita bisa mengambil pedang itu dari
dalam kawah..” ujar sosok tinggi besar berjubah merah lantang.
“Masalahnya. Kapan bulan purnama penuh itu
muncul..” menambahkan sosok tambun dengan kipas bulan sabit. Sambil terus mengipasi
tubuhnya yang selalu berkeringat.
“Malam ini. Kalau tidak salah hitung bulan
purnama penuh akan muncul di angkasa..” ujar orang yang di panggil Geni siji.
“Masih lama kalau begitu. Bagaimana sambil kita
menunggu kita semua mencari kedai tuak di kaki gunung ini..” ujar sosok tambun
dengan kipas bulan sabit datar.
“Ah..kau ini. Selalu tuak saja yang ada di dalam
otak mu itu adik Geni Telu tapi usulmu boleh juga..” ujar geni loro sambil
mesem-mesem melirik kearah sosok berjubah merah yang di panggil Geni Siji.
Geni Siji tampak plototkan matanya pada Geni Telu dan Geni Loro. Tapi lantas
senyumnya mengembang di susul gelak tawa ke tiganya.
ooooOoooo
Anggalarang yang sedang menghabiskan masa lelaku pengembaraannya selama satu
tahun tampak duduk sambil menimati makanan yang ada di hadapanya. Pemuda gagah
yang juga tengah melacak keberadaan mahapatih Gajah Mada yang dikabarkan
menghilang dari kedaton Wilwatikta itu sesekali perhatikan orang-orang yang
lalu lalang keluar masuk kedai makanan tersebut.
“Menurut Mangkurat. Patih Wilwatikta itu kadang berada di Madakaripuri”
membatin Anggalarang yang beberapa hari yang lalu menemui kakaknya Dyah
Pitaloka di perdikan Welangun.
Pemuda gagah berbaju putih bercelana hitam dengan buntalan butut di
pundaknya ini raba gagang keris milik
Gajah Mada yang terselip di balik pinggang kiri baju putihnya.
“Kelak jika aku bertemu dengan Patih Wilwatikta. Keris ini akan aku
kembalikan dan kujang emas akan menjadi lawan mu..” gumam Anggalarang pelan.
Mendadak kedai yang semula ramai dengan para pengunjung menjadi senyap.
Bilamana dari arah tenggara sepuluh orang berjubah merah dengan sekujur tubuh
di cat warna senada. Masuk ke dalam kedai dan dengan kasar mengusir para
pengunjung kedai yang tanpa pikir panjang lari tunggang langgang meninggalkan
makanan yang belum selesai mereka santap. Salah seorang berjubah merah tampak
menghampiri meja dimana Anggalarang sedang makan.
“Anak gembel. Cepat menyingkir dari sini. Kedai ini kami sewa..” ujar sosok
jangkung berjubah merah lantang.
Anggalarang hanya tersenyum. Lalu lanjutkan aktifitasnya yang tertunda,
makan. Hal mana membuat sosok jangkung berjubah merah ini menjadi gusar.
“Anak gembel. Apa kau budgeg atau
bagaimana. Cepat tinggalkan kedai ini sekarang juga..” nada sosok jangkung
berjubah merah ini lantang.
“Kakang Geni Loro. Biar aku bereskan gembel jelek ini..” ujar sosok tambun
berjubah merah dengan kipas berbentuk bulan sabit di tangan kanannya.
“Adik Geni Telu..cepat bereskan gembel ini..” ujar sosok jangkung berjubah
merah gusar.
Tak menunggu lama orang yang di panggil Geni Telu ini kibaskan kipas
berbentuk bulan sabit kearah Anggalarang.
Deru angin terdengar bergemuruh manakala kibasan kipas yang di pegang Geni
Telu melabrak sosok Anggalarang. Namun hanya
dengan kibaskan buntalan bututnya kesamping. Angin tenaga inti dari kibasan
kipas berbentuk bulan sabit itu musnah.
“Gembel jelek ini punya kemampuan juga. Anak-anak bereskan gembel jalanan
ini..” teriak Geni Telu di susul tujuh orang berjubah merah dengan senjata
golok besar langsung menyerang Anggalarang. Pertarungan yang tidak seimbang pun
pecah.
Seratus jurus berlalu. Pertarungan antara Anggalarang dengan tujuh orang
berjubah merah semakin sengit. Memasuki jurus berikutnya. Geni Telu dengan
licik lemparkan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus. Anggalarang tangkis
senjata rahasia itu dengan kujang emas yang kini berada dalam genggaman tangan
kanannya.
“Jarum halus..apakah orang-orang ini..” membatin Anggalarang sambil
bertarung.
Dipinggir gelangang tiga orang berjubah merah tampak kaget. Manakala
Anggalarang mengeluarkan senjata kujang emasnya. Salah seorang dari ketiga nya
tampak membisikan sesuatu.
“Cepat bereskan dia. Gunakan jarring sutra..” teriak orang tinggi besar
berjubah merah.
Tujuh orang berjubah merah lantas melesat tiga tombak ke belakang. Begitu
serangan di mulai. Dari masing-masing tangan ke tujuh lawannya keluar jarring
berwarna putih kearah Anggalarang.
“Reeeeeettttttt…..Duaaaaaarrrrrrr..!!”
Ketujuh penyerang ini tampak terpana. Begitu jarring-jaring berwarna putih
ini mendadak meledak di udara sebelum mencapai tubuh Anggalarang. Kini di
tengah gelanggang pertarungan satu sosok seorang lelaki berkumis tipis dengan
rambut di gelung di atas kepala sudah berada di tegah gelanggang pertarungan.
“Anak-anak..mundurrrr..” terdengar teriakan dari orang yang di panggil Geni
Siji.
Tak menunggu lama ke tujuh orang berjubah merah dengan tiga orang dengan
pakaian senada lemparkan bola-bola hitam ke tanah yang kemudian meledak
mengeluarkan asap pekat berwarna hitam. Begitu kabut asap hitam sirna. Ke tujuh orang berjubah merah dengan ketiga
orang sebagai pemimpinnya telah raib dari tempat itu.
“Terimakasih kisanak atas bantuannya..” ujar Anggalarang sambil rangkapkan
kedua tangannya di dada.
“Tidak mengapa sobat muda. Tolong menolong antar sesama pengembara adalah
hal yang lumrah..kalau boleh tahu kenapa sobat muda bisa terlibat pertarungan
dengan para pajineman atau pembunuh bayaran itu..” ujar lelaki gagah berkumis
tipis dengan rambut di gelung di atas kepalanya ini pelan.
“Nama saya Anggalarang. Maap kisanak mengenal mereka..” ujar Anggalarang
penasaran.
“Mereka pajineman kalangan atas. Hanya orang-orang istimewa saja yang
menjadi sasarannya..tunggu dulu..Anggalarang..bukankah itu nama kecil dari
Niskala Wastu kencana. Putra prabu Linggabuana dari Padjajaran..apakah..”
“Benar kisanak itulah saya..” ujar Anggalarang pelan.
“Apakah yang terselip di pinggang kiri di balik pakian itu bilah mustika
Naga Sasra..” ujar lelaki gagah berkumis tipis itu. Suaranya terdengar
bergetar.
“Maap saya kurang paham seluk beluk keris. Bilah mustika ini kepunyaan patih Gajah
Mada..” ujar Anggalarang datar.
“Baiklah sobat muda. Saya pamit melanjutkan perjalanan. Semoga kelak kita
bertemu lagi..” ujar lelaki gagah berkumis tipis dengan rambut di gelung diatas
kepalanya. Yang dalam hitungan detik sosoknya telah jauh terlihat di lamping
bukit sebelah timur.
“Ah..aku lupa menanyakan namanya tapi pemuda itu mengetahui nama keris
pusaka milik Mahapatih Wilwatikta itu, ada baiknya saya mengikuti kemana dia
pergi. Siapa tahu keberadaan Gajah Mada ada hubungannya dengan pemuda tadi..”
gumam Anggalarang yang kini sosoknya terlihat jauh di lamping bukit sebelah
timur.
ooooOoooo
Madakaripuri meremang dalam kabut dini hari. Suara air terjun terdengar
bergemuruh manakala menerpa bebatuan gunung di bawahnya. Kabut tipis terlihat
melayang diantara tanaman perdu yang tampak bergayut diantara ranting pohon. Di
beranda rumah panggung di atas sebuah bukit dua orang tampak duduk bersila.
Seorang pemuda gagah berkumis tipis terlihat duduk di hadapan satu sosok tinggi
besar bertelanjang dada dengan rambut bergelung di atas kepalanya.
“Maap gusti prabu Datuk Sri Maharaja Diraja. Bukannya hamba menolak tawaran
dari gusti. Tapi hamba masih mempunyai tanggung jawab di Majapahit ini..” ujar
lelaki tinggi besar dengan rambut di gelung diatas kepalanya ini pelan.
“Paman Mada, apa yang paman harapkan lagi dari Majapahit. Hayam Wuruk
sebagai prabu seharusnya lebih bijaksana. Tragedi bubat tidak sepenuhnya salah
paman. Inikah balasan dari dharma bhakti paman selama membela Majapahit.
Memberi tanah madakaripuri saya rasa itu hanya alasan dari Hayam Wuruk saja..”
kata lelaki berkumis tipis ini tandas.
Sosok tinggi besar dengan rambut digelung keatas yang tak lain dari patih
Wilwatikta, Gajah Mada tampak menarik napas dalam.
“Sudahlah paman Mada, lebih baik paman ikut dengan saya ke Minangkabau.
Pusat pemerintahan Darmasraya sudah saya pindah ke kaki gunung merapi di tepi
batang bengkawas. Kehormatan paman sebagai Mahapatih akan paman dapatkan di
sana..”
Kata lelaki gagah berkumis tipis dengan rambut digelung diatas kepalanya ini
berusaha meyakinkan lawan bicaranya. Siapakah lelaki gagah berkumis tipis yang
tengah berbincang dengan Mahapatih Gajah Mada ini…?
Sosok lelaki gagah ini bernama Aditiyawarman. Sejarah mencatat. Aditiyawarman
masih berhubungan darah dengan raja pertama Majapahit (Rd. Wijaya, Kertarajasa
Jayawardhana) sedang Raja Jayanegara anak dari Rd. Wijaya dengan Dara Petak
adalah pamannya. Ketika Jayanegara mangkat dia tidak berputra. Menurut adat.
Aditiyawarmanlah yang seharusnya menggantikian Raja.
Dalam keadaan genting pada tahun 1331, Aditiyawarman bersama Gajah Mada
dapat memadamkan pemberontakan Sadeng hingga Aditiyawarman mendapat pangkat
istimewa sebagai werda- mentri. Sementara Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334,
sudah menjadi seorang pemuda taruna, sehingga bagi Aditiyawarman tidak ada
kesempatan lagi untuk menjunjung mahkota Majapahit sebagai ahli waris terdekat.
Hingga akhirnya pada tahun 1343 Aditiyawarman pergi meninggalkan majapahit.
Pulang ke Minangkabau dengan memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya ke kaki
gunung merapi di tepi batang bengkawas.
Aditiyawarman ditabalkan menjadi raja Minangkabau dengan gelar Datuk Sri
Maharaja Diraja yang bersahabat dengan Majapahit dengan mengembangkan
kekuasaannya ke seluruh Sumatra dan Semenanjung Melayu di seberang selat
malaka.
Mendengar akan nasib sahabat seperjuangannya yang seakan menjadi kambing
hitam dan orang yang paling bertanggung jawab akan tragedy bubat hingga
terkucilkan dari pusat pemerintahan Maka Aditiyawarman bermaksud menarik Gajah
Mada bergabung dengan kerajaan Minangkabau.
“Maap paduka, hamba terlahir di tanah ini. Seyogyanya membela dan gugur di
tanah kelahiran adalah cita-cita para ksatriya sebagai dharmabakti pada ibu
bumi pertiwi..” ujar Mahapatih Gajah Mada pelan.
“Baiklah kalau itu sudah keputusan dari paman Mada, tapi kelak jika paman
berubah pikiran tanah Minangkabau terbuka lebar buat paman..”
“Terimakasih paduka..” ujar Mahapatih Gajah Mada takzim.
“Dalam perjalanan menuju kemari. Saya bertemu dengan pemuda bernama
Anggalarang putra mendiang prabu Linggabuan. Anehnya bilah mustika Naga Sasra
kepunyaan paman Mada berada di tangan putra Padjajaran itu..”
“Maap gusti prabu. Hamba sengaja memberikan keris pusaka hamba pada
Anggalarang..”
“Maksud paman Mada..”
“Mungkin Paduka Datuk ingat peristiwa penaklukan Kerajaan Bali. Dengan
mahapatih kebo Iwa sebagai lawan terberat saat hamba di utus gusti Ratu Tri
Buana Tunga Dewi .Saat itu. Patih Kebo Iwa memberitahu kelemahannya pada
hamba…”
“Jadi maksud paman mada..”
“Benar Paduka. Dengan bilah mustika Naga Sasra milik hamba sendiri.
Anggalarang bisa bela pati pada hamba atas tragedy Bubat..” ujar Patih
Wilwatikta ini pelan.
“Tapi paman mada..”
“Maap Paduka..keputusan hamba sudah bulat. Dalam sisa umur hamba ini. Hamba
ingin menjadi orang yang bermanfaat..kesalahan terbesar hamba harus hamba
pertanggungjawabkan...”
“Paman Mada. Kesalahan terbesar apa yang sudah paman lakukan..”
“Dimasa jaya. Segala pangkat dan jabatan hamba borong pada diri hamba. Hamba
alpa mendidik generasi penerus. Hamba takut Majapahit haya besar di zaman hamba
saja..’
“Lalu rancana paman Mada selanjutnya apa..”
“Hamba akan menunggu Anggalarang di sini…” ujar Mahapatih Gajah Mada tegas.
“Baiklah paman Mada. Jika itu sudah menjadi keputusan paman.” ujar
Adityawarman pelan.
Raja Minangkabau ini rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Tak lama
sosoknya terlihat jauh menuruni perbukitan Madakaripuri.
ooooOoooo
Rawa Bolang tersaput kabut dini hari. Kawasan danau yang di kelilingi hutan
tebu di sebelah timur, hutan jati di
sebelah selatan serta hutan kayu putih di bagian barat tampak sunyi. Hembusan
angin terdengar bergemerisik manakala menerpa dedaunan. Mengguratkan gambaran
abstrak di atas permukaan telaga. Dari dalik rimbunnya tanaman tebu satu sosok
bayangan kuning kini telah berdiri tiga langkah di bibir rawa Bolang. Sosok
orang berjubah kuning ini sesat perhatikan riak gelombang di permukaan danau.
Lalu tepuk permukaan danau sebanyak tiga kali. Tak menunggu lama permukan danau
yang semula tenang perlahan bergelombang menciptakan pusaran air yang semakin
lama semakin cepat. Dan dari dalam pusaran air yang berputar dengan cepat itu
melesat satu sosok bayangan hitam dengan raut muka menyeramkan berambut
acak-akan serta memiliki dua caling di sela-sela bibirnya tampak berdiri tiga
langkah di hadapan orang berjubah kuning.
“Ada apa kakang Mpu. Danurwenda..” ujar sosok tinggi besar ini lantang.
“Adik Jantra Bolang. Ada hal yang musti saya sampaikan, tapi sebelumnya
tampakkan sosok yang enak di pandang..” kata orang berjubah kining pelan.
Sosok tinggi besar dengan rambut riap-riapan ini sesaat unjukkan seringainya
yang menyeramkan. Detik berikutnya sosok yang menyeramkan itu berubah menjadi
satu sosok lelaki tegap dengan rambut galing hitam bergelombang.
“Hal apa yang akan kakang Mpu. Danurwenda sampaikan..”
“Adik Jantra Bolang. Rimba hijau persilatan saat ini tengah digegerkan oleh
aura yang di timbulkan oleh bilah pedang sanggabuana yang di tanam sifu Zen di
kepunden kawah gunung Sanggabuana..” ujar Mpu. Danurwenda pelan.
“Kakang Mpu. Rupanya ramalan tentang munculnya ksatriya punjul ing apapak yang di katakana sifu Zen itu benar adanya..”
“Benar adik Jantra Bolang. Ksatriya yang kelak mampu mengambil bilah pedang
Sanggabuana dari kepunden gunung sanggabuana itu menurut kabar gaib adalah
seorang calon raja agung yang kelak menjadi Prabu di tatar Pasundan. Dan inilah
saatnya kita menjadi saksi peristiwa itu..”
“Lalu apa yang harus kita lakukan kakang Mpu..”
“Malam ini purnama akan penuh di angkasa. Kawah sanggabuana mengering dengan
sendirinya. Beberapa orang dengan maksud tertentu kini dipastikan sudah berada
di sekitar kawah gunung sanggabuana. Mudah-mudahan ksatriya pilihan itu pun
sudah berada di sana..”
“Baiklah kakang Mpu. Danurwenda saya paham..”
“Mumpung masih pagi ada baiknya kita berangkat ke sana adik Jantra Bolang..”
Lelaki gagah dengan rambut galling bergelombang ini hanya anggukkan
kepalanya. Tak lama sosok keduanya terlihat jauh menuju kearah barat daya.
Dimana sebuah gunung meremang dalam kabut dini hari.
ooooOoooo
Mentari sepenggalah. Dari balik gundukan bebatuan gunung sebesar kerbau
sosok-sosok bayangan terlihat mendekam. Dua puluh tombak di depannya menganga
lebar sebuah tanjung yang menjorok ke sebuah kepunden kawah yang senantiasa
menggelegak mengepulkan asap berbau belerang yang sangat menyesakkan
pernapasan. Salah seorang dari sosok-sosok yang berlindung di balik batu itu
terlihat mengeluarkan sesuatu dari balik jubah merah yang di kenakannya. Sebuah
kipas berbentuk bulan sabit terlihat di genggaman tangannya.
“Kakang Geni Siji sampai kapan kita menunggu seperti ini..” ujar sosok
tambun berjubah merah sambil mulai mengipasi badannya yang terus menerus
mengucurkan keringat.
“Geni Telu. Tidak usah banyak bertanya dan berfikir. Kau perhatikan saja
siapa-siapa yang akan datang ke tempat ini..” ujar sosok tinggi besar berjubah
merah dengan cambang bawuk meranggas di wajahnya.
“Kakang Geni Siji. Apa kakang yakin Anggalarang akan datang ke tempat ini..”
berkata sosok jangkung berjubah senada dengan ke dua temannya.
“Geni Loro. Pembesar yang menyewa kita itu orang dalam kedaton. Dia tahu
semuanya tetang Anggalarang dan apa yang akan dia lakukan terhadap pemuda itu..”
“Tapi kakang Geni Siji. Rimba hijau persilatan pun sudah mendengar tentang
kabar itu. Tidak menutup kemungkinan beberapa dari mereka sudah berada di
sekitar kepunden gunung sanggabuana ini dengan tujuan yang sama..”
“Itulah tugas kita untuk membereskan mereka..” gumam orang yang di panggil Geni
Siji sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.
“Kakang Geni Siji lihat..” ujar sosok tambun berjubah merah yang terus
mengipasi tubuhnya dengan kipas berbentuk bulan sabit.
Geni Siji dan Geni Loro serentak arahkan pandangannya kearah yang di tunjuk Geni
Telu. Dari arah selatan lereng terjal sanggabuana. Beberapa bayangan hitam
tampak melesat dengan cepat menuju ke kepunden gunung sanggabuana. Dari cara
mereka berlari degan ringan diantara perbukitan terjal. Sudah dapat di pastikan
beberapa bayangan hitam ini bukan orang kebanyakan. Terpaut seratus tombak dari
kepunden gunung sanggabuana beberapa bayangan hitam ini dengan serentak
menyebar dan hilang dari pantauan tiga orang berjubah merah yang masih mendekam
di balik gundukan batu.
“Kurang ajar. Siapa mereka sebenarnya. Gerakannya sangat cepat sulit di
ikuti pandangan mata biasa..” gumam Geni Siji gusar.
“Kakang Geni Siji. Mereka pasti dari rimba hijau persilatan yang mempunyai
tujuan sama dengan kita..” ujar Geni Loro berbisik.
“Kalian berdua wasdapalah. Beritahu anak-anak agar tidak melakukan gerakan
yang mencurigakan..” ujar geni siji sambil pelankan suaranya.
Tidak berapa lama. Dari arah yang lain beberapa bayangan terlihat berlarian
meniti terjalnya lereng-lereng sanggabuana. Dan begitu terpaut tigaratus tombak
dari kepunden kawah sanggabuana. Bayangan-bayangan itu sontak menyebar kearah berlawanan.
“Hem..rupanya orang-orang itu tengah menerapkan strategi istana kosong..”
desis Geni siji.
“Maksud kakang Geni Siji..” menimpali Geni Loro.
“Mereka sengaja menyebar sambil mengawasi siapa-siapa yang akan mendekati
kawah. Begitu ada yang datang. Orang-orang itu akan menyerang dengan tiba-tiba
dan tanpa ampun..”
“Kakang Geni Siji Mengenal mereka..”
“Kalau tidak salah kira. Pemimpin mereka bernama Ketapang Reges dari partai
Galunggung..”
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang kakang Geni Siji..” ujar geni
telu.
“Strategi mereka akan kita manfatkan..” gumam Geni Siji sambil tersenyum
penuh arti.
“Maksud kakang Geni Siji..”
“Kita tetap bersiaga di tempat ini. Begitu pedang sanggabuana berhasil
didapatkan oleh salah satu dari orang-orang itu. Dengan serentak kita habisi
mereka..”
“Tapi bagaimana kalau Anggalarang yang berhasil mendapatkan pedang itu..”
“Justru itu yang kita harapkan. Anggalarang sudah beberapa kali tidak
menggunakan pusaka milik Gajah Mada. Maka dengan mudah kita bereskan..”
Percakapan diantara ke tiga orang berjubah merah ini mendadak sontak
berhenti. Terpaut lima ratus tombak dari bibir kepunden gunung sanggabuana.
Lima orang bertelanjang dada dengan hanya mengenakan celana pangsi berwarna
kuning dengan tombak panjang di tangan kanannya terlihat mendekati bibir kawah
sanggabuana. Begitu terpaut tiga ratus tombak dari bibir kepunden sanggabuana.
Sepuluh bayangan hitam telah mengurung kelimanya. Begitu kelima orang dengan
tombak panjang di tangan kanannya ini pasang kuda-kuda pertahanan. Dari arah
yang tak terduga melesat sepuluh bayangan hitam yang lain dan tanpa ampun
menyerang kelima orang ini dengan cepat yang dalam hitungan detik ke lima orang
dengan tombak panjang itu berkaparan dengan nyawa lepas dari badannya. Begitu
kelima orang itu di pastikan tewas. Sosok-sosok bayangan hitam itu kembali
menyebar kesegala arah dan raib dari pandangan.
“Edan..coba bayangkan kalau kita berada di situ sekarang..” gumam Geni Telu
bergetar.
“Cepat, tepat dan akurat..hampir tak ada gerakan yang tak berarti..”
menambahkan Geni Loro.
“Kalian sudah lihat sendiri keganasan mereka bukan..” ujar Geni Siji datar.
Kita tinggalkan sejenak kepunden atau kawah gunung sanggabuana. Di satu
tempat. Seminggu sebelum beberapa pendekar dari rimba hijau persilatan mendatangi
kepunden atau kawah gunung sanggabuana. Satu sosok bercaping bambu dengan tongkat
berujung sapu lidi terlihat menjejakkan kakinya di salah satu perbukitan.
Dimana sejauh mata memandang yang tampak hanya bebatuan pualam berwarna biru.
Sosok yang tak lain dari Sanjaya atau Sada lanang yang tengah menjalankan
ritual atau lelaku dharma bakti penawar kutuk. Kini jejak langkah pemuda dengan
parut melintang di pipi kanannya ini sampai di sebuah perbukitan yang mana dulu
pemuda ini menyamar sebagai Mangkurat salah satu telik sandi yudha Majapahit.
Dimana akhirnya Sanjaya membawa lari bilah pedang tersebut dengan membunuh
terlebih dahulu Mpu. Palwa sang pembuat pedang yang kini pedang tersebut tengah
menjadi rebutan para pendekar rimba hijau persilatan.
Sanjaya atau Sada Lanang perhatikan situasai sekelilingnya. Suasananya masih
sama seperti dahulu. Sebuah pondok kayu yang hampir roboh termakan usia
terlihat di hadapannya. Disamping pondok tampak dua batang bumbung bambu besar
sebagai alat pompa alami. Disamping pompa alami terlihat sebuah bak persegi
panjang dari kayu pohon randu pugur yang telah mengering airnya. Serta sebuah
lempengan baja sebagai penempa batang logam. Sudut mata Sada Lanang membentur
sebilah warangka pedang dari ponon siwalan tertancap di tanah berbentuk pundan
berundak. Ketika diteliti dibawah warangka pedang itu tergeletak sebuah periuk
kecil berisi abu. Dengan takzim Sada Lanang berlutut di hadapan warangka pedang
dengan periuk berisi abu tersebut. Kedua telapak tangannya di rapatkan di atas
keningnya.
“Mpu. Palwa. Walau dirimu telah menjadi serpihan abu. Saya yakin roh mu
masih berada di sekiat tempat ini. Saya datang bermaksud meminta maap atas
segala tindakan yang pernah saya lakukan pada Mpu. Sebagai penebus dosa izinkan
saya merawat dan menjaga tempat ini..”
Setelah memanjatkan doa. Sada Lanang tancapkan tiga batang hio sebagai
penghormatan pada Mpu. Palwa. Bau hio sontak semerbak menebarkan wewangian
diantero bukit pualam biru. Sada Lanang kemudian mulai membersihkan tempat
tersebut. Dengan menggunakan tongkat berujung sapu lidi disapunya dedaunan
kering yang bertebaran menutupi gundukan tanah berbentuk pundan berundak dimana
abu kremasi dari Mpu. Palwa tersimpan.
Hampir seminggu Sada Lanag berada di tempat tersebut. Pada hari ke tujuh.
Ketika Sada Lanang selesai membersihkan dedaunan yang menutupi halaman pondok
dari sang Mpu. Gumpalan kabut tebal tiba-tiba menyelimuti seantero kawasan
bukit pualam biru. Dari dalam kabut yang tebal itu menyeruak sinar putih yang
sangat menyilaukan. Sampai Sada Lananag memicingkan kedua matanya tidak kuat
menatap cahaya yang berpendar keluar dari gumpalan kabut. Dari dalam kabut
samar-samar terlihat satu sosok orang tua berselempang kain kuning dengan wajah
kelimis bersinar keperakan. Inilah sosok astral Mpu. Palwa.
“Anak muda. Darma bhakti mu saya terima. Kesalahan dirimu telah saya
maapkan. Sekarang dengarkan permintaan dari ku..” ujar sosok astral Mpu. Palwa
pelan.
‘Silahkan Mpu..” ujar Sada Lanang takzim. Sambil masih merangkapkan kedua
telapak tangannya di depan dada.
“Pedang sanggabuana yang aku buat kini berlumuran darah orang-orang yang tak
berdosa. Nyawa-nyawa berjatuhan sia-sia. Aku minta tolong kepada mu. Pergilah
ke kepunden kawah gunung sanggabuana. Ambil bilah mustika itu lalu pergilah ke
Padjajaran. Berikan bilah mustika sanggabuana pada Anggalarang dan mengabdilah
padanya. Kelak Anggalarang yang akan menurunkan trah Padjajaran silih berganti
dan wangi dan juga dapat menawarkan kutuk yang tengah menimpa dirimu..”
Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Perlahan sosok astral Mpu. Palwa
memudar dari pandangan Sada Lanang. Lalu hilang seiring hembusan sang bayu dari
lereng perbukitan batu pualam biru.
“Baiklah Mpu. Palwa. Saya akan menjalankan semua amanat mu..” ujar Sada
Lanang pelan.
Setelah dirasakan segala sesuatunya cukup. Sanjaya atau Sada Lanang perlahan
langkahkan kakinya meningalkan puncak bukit pualam biru. Tujuannya kini jelas
sudah kepunden atau kawah gunung sanggabuana.
ooooOoooo
Lembayung senja semburat di ufuk barat. Hembusan sang bayu terdengar
gemerisik manakala menerpa dedaunan pohon siwalan yang bayak tumbuh di lereng
bukit Madakaripuri. Gemuruh air terjun terdengar membahana manakala menimpa
bebatuan yang berada di bawahnya. Sosok pemuda gagah baju putih bercelana hitam
dengan buntalan butut di pundak sebelah kiri terlihat berdiri mematung di
hadapan air terjun.
“Inikah Madakaripuri yang di katakana Mangkurat. Lalu di sebelah mana tempat
kediaman dari Gajah Mada..” membatin sosok gagah ini dalam hati.
Pemuda gagah yang tak lain dari Anggalarang ini masih tampak berdiri
mematung memperhatikan derasnya guyuran air terjun yang berada di hadapannya.
“Pemuda dengan rambut di gelung di atas kepala itu menghilang di sekitar
sini. Tapi anehnya tak ada jalan lain..” gumam Anggalarang pelan.
Mendadak telinga tajam Anggalarang mendengar sesuatu yang mencurigakan
berasal dari derasnya air terjun. Dengan sekali jejakan kaki ke tanah tubuh
pemuda gagah ini tampak melayang dengan ringan keudara. Lalu dengan enteng
tanpa menimbulkan suara sosoknya kini telah berada di selah satu cabang pohon
siwalan berdaun lebat di samping air terjun. Mata Anggalarang terbelalak lebar.
Manakala dari derasnya guyuran air terjun melesat satu sosok yang dengan ringan
jejakan kakinya di tepi sungai berbatu di hadapan air terjun yang semakin
bergemuruh. Lalu sosok lelaki dengan rambut digelung diatas kepalanya ini
kelebatkan badannya kearah barat yang dalam waktu singkat bayanganya raib di
balik lamping bukit Madakaripuri sebelah selatan.
“Hemm..jadi itu jalan rahasia menuju Madakaripuri. Apakah Gajah mada ada di
balik air terjun ini..” membatin Anggalarang. Dirabanya bilah mustika yang
terselip di balik baju sebelah kanannya dengan pelan.
“Sebentar lagi kyai akan saya kembalikan pada pemiliknya..” gumam
Anggalarang bergetar.
Tak menunggu lama. Anggalarang terlihat melesat kearah derasnya air terjun.
Sosok pemuda gagah ini terlihat menembus guyuran air terjun yang terus
bergemuruh. Begitu melewati guyuran air terjun dalam keremangan suasana. Mata Anggalarang melihat seberkas cahaya di
ujung lorong. Dengan sebat pemuda gagah ini lesatkan badannya mengikuti arah
cahaya. Semakin dekat ke sumber cahaya lorong yang di laluinya semakin melebar.
Begitu keluar dari dalam lorong. Anggalarang merasa takjup dengan pemandangan yang
terhampar di hadapannya. Pemuda gagah ini kembali merasakan dirinya menembus
guyuran air terjun. Begitu melewati Air terjun di hadapannya terhampar sungai
jernih dengan bebatuan. Setelah melewati anak sungai kini dihadapan putra
mahkota Padjajaran itu tampak sebuah puri terbuat dari kayu jati pilihan dengan
pintu tertutup rapat.
Anggalarang masih berdiri mematung di hadapan pintu yang terbuat dari kayu
jati berukir itu. Ketika bermaksud mengetuk pintu. Suara berat penuh wibawa
mempersilahkan Anggalarang masuk.
“Silahkan duduk Raden..” ujar sosok tinggi besar dengan rambut di gelung di
atas kepalanya pelan.
“Terimakasih..” ujar Anggalarang sambil tak lepas menatap sosok di
hadapannya dengan tajam.
“Apakah tuan yang bernama Gajah Mada..” ujar Anggalarang sambil menahan
gemuruh di dadanya.
“Benar Raden. Hamba Gajah Mada..” ujar sosok tinggi besar ini tenang.
Dari balik baju putihnya Anggalarang keluarkan sebilah keris berpamor biru
yang langsung diangsurkan di hadapan Gajah Mada.
“Saya kembalikan keris milik tuan. Dan sudilah kiranya tuan Gajah Mada duel
dengan saya..” ujar Anggalarang datar.
“Maap Raden. Bukannya hamba menolak. Tapi alangkah baiknya raden istirahat
barang sejenak. Besok jika tenaga raden sudah pulih hamba terima tantangan dari
Raden..” ujar sosok tinggi besar ini sambil menerima bilah keris berpamor biru
dari tangan Anggalarang.
“Baiklah paman. Terimakasih atas tawarannya..” ujar Anggalarang pelan.
Orang tinggi besar dengan rambut di gelung diatas kepalanya ini haya
tersenyum. Kemudian diajaknya Anggalarang memasuki sebuah bilik sederhana.
Setelah mengantar Anggalarang beristirahat. Sosok tinggi besar ini kembali ke tempatnya
semula.
Hampir semalaman Anggalarang tidak bisa memicingkan kedua kelopak matanya.
Sebelum berhadapan langsung dengan mahapatih Gajah Mada. Gejolak jiwanya terus
bergemuruh. Dendam kesumat selalu membayangi setiap langkahnya. Nafsu membunuh
orang yang bernama Gajah Mada meletup-letup. Namun kini setelah bertemu
langsung dengan orang yang di bencinya ini. Persaan pemuda gagah ini terasa
melunak. Anggalarang hampir tidak bisa berkata kata dengan nada keras. Seakan
orang di hadapannya itu adalah ayahandanya sendiri. Bhatin pemuda gagah ini
menjadi bimbang. Tapi begitu ingat semua yang di kasihinya tewas secara
mengenaskan darah muda pemuda gagah ini kembali mendidih. Merasa sumpek di
dalam bilik. Anggalarang melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Diluar langit
masih gelap. Kabut tipis melayang menerpa tubuhnya. Pemuda gagah ini terus
melangkahkan kakinya menyusuri lorong puri milik Gajah Mada. Begitu melewati
beranda puri. Langkah Anggalarang terhenti. Sosok tinggi besar dengan rambut di
gelung diatas kepala tampak duduk bersila sambil memandang derasnya guyuran air
terjun di hadapannya. Sosok ini tersenyum begitu Anggalarang berada di
hadapannya.
“Raden belum tidur..” ujar sosok ini pelan.
“Apa yang sedang paman lakukan..” ujar Anggalarang tanpa menjawab pertanyaan
orang.
“Berbicara dengan alam..” ujar sosok tinggi besar ini pelan.
“Maksud paman..” ujar Anggalarang yang kini duduk bersila di samping Gajah
Mada.
“Raden. Apa yang di ciptakan sang maha kuasa baik mahluk hidup ataupun benda
mati. Pada hakikatnya semuanya memiliki roh dan nyawa. Contohnya air terjun itu
walau hanya benda mati pada dasarnya punya roh dan jiwa dan kita bisa berdialog
dengan nya..”
“Paman. Ada hal yang ingin saya tanyakan..” ujar anggalarang datar.
“Silahkan Raden..”
“Kenapa paman tega membunuh semua keluarga saya..” ujar Anggalarang
bergetar.
Mahapatih Wilwatikta ini tercenung sesaat. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum
menjawab pertanyaan dari Anggalarang.
“Raden. Kadang apa yang kita lakukan tidak selamanya memerlukan sebuah alasan..”
“Tapi saya memerlukan alasan itu paman..” ujar Anggalarang pelan.
“Raden ujar-ujar mengatakan. Kekuatan besar memerlukan tanggung jawab yang besar
juga..Sumpah Palapa yang hamba lakukan menuntut tanggung jawab hamba sebagai seorang
ksatriya dengan jalan pedang..”
“Baiklah paman. Saya mengerti hal itu. Tapi dharma bakti sebagai seorang ksatrya
adalah wajib hukumnya. Dan sabda pandita ratu sebagai calon prabu adalah mutlak..jadi
maapkan saya paman..”
“Saya memahami hal itu Raden. Sekarang hampir pagi. Istirahatlah barang sejenak.
Hamba jamin keselamatan raden..”
“Terimakasih paman. Besok pagi saya tunggu di atas air terjun..” ujar Anggalarang
pelan. Gajah Mada hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya.
ooooOoooo
Salam Bhumi Deres Mili
Selanjutnya : SIRNA HILANG KERTANING BUMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar