KONTAK SAYA

Email Twitter Facebook

TELUSURI

GALERI FOTO

Kategori Arsip Daftar Isi

MULAI DARI SINI

Pelayanan Portfolio Pembayaran

Selasa, 11 Desember 2012

MEMBURU JEJEK MAHAPATIH WILWATIKTA

Mentari tampak malu-malu memancarkan bias sinarnya diantara rimbunnya dedaunan beringin kurung yang terdapat di salah kompleks bangunan istana Kerajaan lembah Indus. Kabut tipis dari lereng pegunungan Himalaya terlihat melayang pelan diantara kokohnya benteng istana. Dua orang penjaga pintu gerbang terlihat merapatkan kerah mantel tebal yang dipakainya. Kepulan asap sisa api unggun semalam masih teronggok menyisakan debu hitam. Mendadak kedua penjaga pintu gerbang ini silangkan kedua tombak yang di pegangnya manakala satu sosok bercaping bambu dengan tongkat berujung sapu lidi bermaksud melintasi pintu gerbang.
“Berhenti kisanak. Siapakah kisanak ini dan ada tujuan apa kemari..” sentak penjaga pintu gerbang itu sambil masih menyilangkan tombak satu sama lain menghalangi langkah sosok bercaping bambu ini.

“Saya Sada Lanang. Bermaksud menemui Ratu kalian..”
“Ada keperluan apa kisanak. Kalau kisanak bermaksud melamar pekerjaan menjadi prajurit lebih baik kembalilah satu tahun lagi..” kata penjaga pintu gerbang ini lantang.
“Benar kisanak. Tahun depan biasanya selalu ada perekrutan tenaga prajurit seperti dirimu..” menambahkan teman penjaga pintu gerbang ini sambil tetap waspada. Mengawasi sosok bercaping bambu di depannya.
“Maap. Tuan prajurit. Saya kemari bukan untuk itu..” kata sosok yang ternyata Sanjaya atau sekarang lebih di kenal dengan Sada Lanang.
“Lalu untuk apa kisanak..”
“Sudah saya katakana tadi. Saya bermaksud menemui Ratu kalian..”
“Gusti Ratu Maespati sedang sibuk. Lebih baik kisanak kembali nanti saja..” sentak prajurit ini dengan nada tinggi.
“Kalau begitu pertemukan saya dengan Panglima Rendra Kila..”
“Maksud kisanak Mahapatih Rendra Kila..”
“Oh..jadi Panglima sudah naik jabatan rupanya..” ujar Sada Lanang pelan.
“Tentu..setelah berhasil menumpas pemberontak dan penghianat raja Tamtama Gama yang lalim itu..ehh..kisanak ini siapa sebenarnya..harap buka caping bambu itu..”
Perlahan Sada Lanang buka caping bambu yang menutupi wajahnya. Kedua prajurit kerajaan lembah Indus ini tersentak kaget manakala melihat tanda parut melintang di pipi kiri Sada Lanang yang tidak asing lagi di mata kawula kerajaan lembah Indus. Ketika masih menjadi raja dengan gelar prabu Tamtama gama.
“Kau..bukankah kau..penghianat itu..” sentak prajurit ini kaget.
“Tenang tuan prajurit. Saya kemari dengan maksud baik..” sela Sada Lanang.
Tapi kedua prajurit ini keburu menyerang Sada Lanang. Tombak yang di pegangnya tampak berdesing menusuk dada sebelah kiri dari Sada Lanang. Pemuda berparut melintang di pipi kirinya ini dengan replek menghindar sebisanya. Namun tendangan salah satu prajurit lembah Indus berhasil mengenai perut sebelah kiri Sada lanang.  Sanjaya atau Sada Lanang terjungkal di rerumputan.
“Hah..mana kemampuan mu penghianat. Cabut pedang yang selalu kau bangga-banggakan itu..” bentak prajurit ini lantas tusukkan tombak yang di pegangnya ke dada sebelah kiri Sada Lanang.
“Tahan prajurit..” sebuah bentakan lantang. Menghentikan laju tombak sesenti dari dada Sada Lanang. Mengetahui siapa yang datang kedua prajurit ini rangkapkan kedua tangannya di depan dada masing-masing.
“Tuan Mahapatih Rendra Kila..” ujar kedua prajurit ini berbarengan sambil masih rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Apa yang terjadi prajurit..”
“Maap tuan Patih. Penghianat kerajaan kembali lagi..” ujar kedua prajurit itu tergagap.
“Penghianat Kerajaan..” ujar lelaki paruh baya ini penuh tanda Tanya. Lalu dengan segera pandangi satu sosok yang kini telah berdiri kembali bertopang pada tongkat kayu berujung sapu lidi. Mata mahapatih Rendra Kila terbelalak kaget.
“Kau..benar..ini kau..penghianat kerajaan..” sentak patih Rendra Kila bergetar.
“Maap Mahapatih..saya datang kemari bermaksud meminta ampun dan maap dari gusti putri Maespati dan seluruh kawula kerajaan lembah Indus ini..” ujar Sada Lanang lirih.
“Huh..gampang sekali kau meminta maap. Setelah apa yang kau lakukan pada kami. Prajurit tangkap penghianat ini. Jebloskan ke penjara bawah tanah..” ujar Patih Rendra Kila lantang. Tanpa menunggu perintah dua kali. Kedua prajurit keraton lembah Indus ini gelandang sosok Sada Lanang menuju penjara bawah tanah. 

ooooOoooo

Perempuan bermahkota yang sedang memangku bocah perempuan kecil berusia satu tahun ini tampak tertegun. Manakala mahapatih Rendra Kila selesai bercerita ihwal penangkapan Sada Lanang. Yang kini meringkuk di penjara bawah tanah kedaton lembah Indus.
“Paman patih. Apa paman yakin penghianat itu berani datang ke sini..” ujar wanita anggun ini pelan.
“Benar gusti permaisuri. Tidak salah lagi yang saya tangkap tadi pagi adalah pemberontak itu..”
“Baiklah. Bawa kemari. Saya ingin memastikan..”
“baik gusti permaisuri..” ujar patih Rendra kila sambil memerintahkan beberapa prajurit lembah Indus membawa Sada lanang ke hadapan permaisuri yang menjabat sebagai ratu sementara menunggu sang pewaris kerajaan lembah Indus putri maespati yang masih berusia satu tahun dewasa.
Tak berapa lama. Beberapa prajurit lembah Indus tampak menggiring Sada Lanang dengan tangan terikat kebelakang di hadapan permaisuri.
“Prajurit buka ikatannya..” perintah permaisuri.
Salah seorang prajurit lantas membuka ikatan di tangan Sada Lanang. Sambil tetap menodongkan tombak yang di pegangnya.
“Tamtama Gama..benar itu kau adanya..berani sekali kau kembali kemari..” ujar permaisuri menahan amarahnya.
“Maap gusti permaisuri. Hamba datang kemari mohon ampunan dan maap atas semua perbuatan hamba. Hukuman apapun akan hamba terima demi mendapat ampunan dan maap dari keluarga kerajaan lembah Indus..”
“Tantama Gama. Kejahatan mu setinggi langit sedalam lautan. Semestinya hukuman mati adalah pembalasan yang setimpal. Namun saya mengagumi tekadmu untuk insyaf dan bertobat serta memperbaiki diri. Sekarang pergilah dari kerajaan lembah Indus ini. Saya mewakili seluruh kawula kedaton lembah Indus mengampuni seluruh kesalahan mu..” ujar permaisuri arif.
“Tuan Permaisuri. Izinkan hamba mengabdi di kerajaan lembah Indus. Sebagai dharma bakti hamba dan sebagai penebus semua kesalahan yang pernah hamba lakukan..”
‘Tidak ada yang harus kau lakukan di kerajaan ini Tantama Gama. Sekarang pergilah..”
“Baiklah tuan permaisuri. Sebelum hamba pergi sudilah kiranya tongkat berujung sapu lidi di kembalikan pada hamba..”
“Begitu pentingkah benda itu. Tantama Gama..”
“Benar tuan permaisuri. Benda itulah yang telah banyak memberikan pelajarah hidup bagi hamba..’
Permaisuri kerajaan lembah Indus ini hanya diam. Tak lama diperintahkannya salah satu prajurit mengembalikan tongkat berujung sapu lidi pada Sanjaya atau Sada Lanang.
Diiringi tatapan permaisuri yang tengah menggendong putri Maespati, patih Rendra Kila dan seluruh kawula kerajaan lembah Indus. Sanjaya atau Sada Lanang tinggalkan pintu gerbang kerajaan lembah Indus.
“Maap. Gusti permaisuri membiarkan penghianat dan pemberontak itu bebas begitu saja..” ujar patih Rendra Kila keheranan.
“Patih. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan ke dua. Saya melihat tekad dan kesungguhan yang terpancar dari matanya..” ujar permaisuri pelan.

ooooOoooo

Langkah Sanjaya atau Sada Lanang terhenti pada sebuah bibir jurang yang sangat dalam. Sejauh mata memandang hanya hamparan awan tebal yang bergayut menaungi pertengahan jurang. Inilah jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya dimana dahulu sanjaya membunuh Siraj. Seorang pemuda yang bersekutu dengan iblis dengan pedang sangga buana.
Perlahan pemuda dengan parut melintang di pipi kirinya ini tancapkan pangkal tongkat berujung sapu lidi di tebing jurang. Tak menunggu lama sosok pemuda ini terlihat meluncur meniti tebing dengan tongkat berujung sapu lidinya. Gumpalan kabut tebal yang menaungi pertengahan jurang menyambut luncuran tubuhnya. Begitu dirasakan daya luncurnya bertambah cepat. Sada lanang segera cabut pangkal tongkat berujung sapu lidi lalu putar dengan cepat. Tak lama sosoknya telah menjejakan kaki di dasar jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya.
Begitu sampai di dasar jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya. Mata Sada lanang samar-samar membentur satu onggok kerangka manusia yang sudah lapuk. Inilah kerangka Siraj yang telah di bunuhnya setahun yang lalu.
“Siraj. Walau kau tinggal kerangka. Saya yakin arwahmu masih bersemayam di jurang ini. Saya datang kemari untuk minta maap dari mu. Rajes..” ujar Sada Lanang lantas digalilah sebuah lubang menggunakan pangkal tongkat berujung sapu lidi. Setelah itu jasad Rajes yang kini hanya tulang-belulang di kuburkannya dengan layak.
Kabut tebal mendadak menyelimuti seantero jurang. Dari dalam kabut menyeruak satu sosok yang bersinar tersenyum kearah Sada lanang. Sosok astral roh dari Siraj.
“Terimakasih tuan Sanjaya. Kini arwah saya telah tenang..”
“Siraj maapkan semua kesalahan yang telah saya lakukan pada diri mu..”
“Tidak mengapa tuan sanjaya. Ada satu hal yang ingin saya katakana pada tuan..”
“Apa itu Siraj..”
“Anak-anak terlantar yang menjadi tanggung jawab saya. Masih memerlukan perhatian. Temuilah mereka di goa tempat tinggal saya. Tolong urus mereka sampai mereka mandiri. Setelah itu tuan Sanjaya harap menyambangi kuburan Mpu. Palwa sang pembuat pedang Sanggabuana yang telah tuan bunuh dengan pedang buatannya sendiri..’
“Baiklah Siraj. Semua pesanmu akan saya laksanakan..”
“Terimakasih tuan Sanjaya..” ujar sosok roh dari Siraj. Perlahan sosoknya memudar dari pandangan Sanjaya atau Sada Lanang. Lalu hilang di tiup angin yang berhembus dari atas jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya.

ooooOoooo

Fajar sidik semburat di ufuk timur. Semilir angin dingin dari lereng sebelah barat pegunungan Sanggabuana terasa mencucuk persendian. Halimun tipis tampak melayang pelan diantara rimbunnya dedaunan pohon jati yang banyak tumbuh berseliweran di kawasan yang sepanjang tahun senantiasa berselimut kabut. Dari balik lamping bukit sebelah tenggara beberapa sosok bayangan merah terlihat melesat bak anak panah meniti bebatuan terjal di sisi lamping bukit. Siapapun mereka sudah dapat di pastikan bahwa mereka itu bukan orang kebanyakan. Terlihat dari gerakan yang di tibulkan nyaris tak meninggalkan jejak sedikitpun. Langkah-langkah mereka terlihat ringan bagai kapas di saat menjejak bebatuan runcing nan licin disekitarnya. Hampir sepeminuman teh. Sosok-sosok bayangan merah itu telah sampai di sebuah pedataran rumpun bunga abadi/edelwais yang sedang mekar. Sepuluh tombak dari pedataran rumpun bunga abadi. Sebuah semenanjung terlihat menjulang dari tepi kawah yang senantiasa bergolak mengepulkan asap berbau belerang. Di tepi kawah yang senantiasa bergolak  kesepuluh bayangan merah ini hentikan langkahnya.
“Geni telu. Apa kau yakin pedang dahsyat itu berada di dasar kawah gunung sanggabuana ini..”
Ujar sosok lelaki tinggi besar berjubah merah dengan muka berwarna senada.
“Tidak salah lagi kakang Geni siji. Menurut kabar yang tersiar dari mulut ke mulut. Setahun belakangan ini rimba hijau persilatan digegerkan dengan kabar adanya benda pusaka berupa pedang yang tertanam di kepunden kawah gunung Sanggabuana ini dan siapapun yang dapat mengambil bilah pedang itu maka rimba hijau persilatan dapat di kuasainya..” menjawab sosok jangkung dengan jubah dan penampilan mirip dengan lawan bicaranya ini.
“Tapi. Bagaimana kita bisa mengambil bilah pedang itu dari dalam kawah..” ujar satu sosok merah bertubuh tambun  sambil kibas-kibaskan badannya dengan sebuah kipas berbentuk bulan sabit.
“Kakang Geni Loro. Itulah yang sedang kita rencanakan” ujar sosok merah bertubuh jangkung.
“Dengar semuanya. Menurut sumber yang bisa di percaya. Kawah Sanggabuana ini akan mengering dengan sendirinya pada waktu bulan purnama penuh. Nah di saat itulah kita bisa mengambil pedang itu dari dalam kawah..” ujar sosok tinggi besar berjubah merah lantang.
“Masalahnya. Kapan bulan purnama penuh itu muncul..” menambahkan sosok tambun dengan kipas bulan sabit. Sambil terus mengipasi tubuhnya yang selalu berkeringat.
“Malam ini. Kalau tidak salah hitung bulan purnama penuh akan muncul di angkasa..” ujar orang yang di panggil Geni siji.
“Masih lama kalau begitu. Bagaimana sambil kita menunggu kita semua mencari kedai tuak di kaki gunung ini..” ujar sosok tambun dengan kipas bulan sabit datar.
“Ah..kau ini. Selalu tuak saja yang ada di dalam otak mu itu adik Geni Telu tapi usulmu boleh juga..” ujar geni loro sambil mesem-mesem melirik kearah sosok berjubah merah yang di panggil Geni Siji.
Geni Siji tampak plototkan matanya pada Geni Telu dan Geni Loro. Tapi lantas senyumnya mengembang di susul gelak tawa ke tiganya.

ooooOoooo

Anggalarang yang sedang menghabiskan masa lelaku pengembaraannya selama satu tahun tampak duduk sambil menimati makanan yang ada di hadapanya. Pemuda gagah yang juga tengah melacak keberadaan mahapatih Gajah Mada yang dikabarkan menghilang dari kedaton Wilwatikta itu sesekali perhatikan orang-orang yang lalu lalang keluar masuk kedai makanan tersebut.
“Menurut Mangkurat. Patih Wilwatikta itu kadang berada di Madakaripuri” membatin Anggalarang yang beberapa hari yang lalu menemui kakaknya Dyah Pitaloka di perdikan Welangun.
Pemuda gagah berbaju putih bercelana hitam dengan buntalan butut di pundaknya ini raba gagang  keris milik Gajah Mada yang terselip di balik pinggang kiri baju putihnya.
“Kelak jika aku bertemu dengan Patih Wilwatikta. Keris ini akan aku kembalikan dan kujang emas akan menjadi lawan mu..” gumam Anggalarang  pelan.
Mendadak kedai yang semula ramai dengan para pengunjung menjadi senyap. Bilamana dari arah tenggara sepuluh orang berjubah merah dengan sekujur tubuh di cat warna senada. Masuk ke dalam kedai dan dengan kasar mengusir para pengunjung kedai yang tanpa pikir panjang lari tunggang langgang meninggalkan makanan yang belum selesai mereka santap. Salah seorang berjubah merah tampak menghampiri meja dimana Anggalarang sedang makan.
“Anak gembel. Cepat menyingkir dari sini. Kedai ini kami sewa..” ujar sosok jangkung berjubah merah lantang.
Anggalarang hanya tersenyum. Lalu lanjutkan aktifitasnya yang tertunda, makan. Hal mana membuat sosok jangkung berjubah merah ini menjadi gusar.
“Anak gembel. Apa kau budgeg  atau bagaimana. Cepat tinggalkan kedai ini sekarang juga..” nada sosok jangkung berjubah merah ini lantang.
“Kakang Geni Loro. Biar aku bereskan gembel jelek ini..” ujar sosok tambun berjubah merah dengan kipas berbentuk bulan sabit di tangan kanannya.
“Adik Geni Telu..cepat bereskan gembel ini..” ujar sosok jangkung berjubah merah gusar.
Tak menunggu lama orang yang di panggil Geni Telu ini kibaskan kipas berbentuk bulan sabit kearah Anggalarang.
Deru angin terdengar bergemuruh manakala kibasan kipas yang di pegang Geni Telu melabrak sosok Anggalarang.  Namun hanya dengan kibaskan buntalan bututnya kesamping. Angin tenaga inti dari kibasan kipas berbentuk bulan sabit itu musnah.
“Gembel jelek ini punya kemampuan juga. Anak-anak bereskan gembel jalanan ini..” teriak Geni Telu di susul tujuh orang berjubah merah dengan senjata golok besar langsung menyerang Anggalarang. Pertarungan yang tidak seimbang pun pecah.
Seratus jurus berlalu. Pertarungan antara Anggalarang dengan tujuh orang berjubah merah semakin sengit. Memasuki jurus berikutnya. Geni Telu dengan licik lemparkan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus. Anggalarang tangkis senjata rahasia itu dengan kujang emas yang kini berada dalam genggaman tangan kanannya.
“Jarum halus..apakah orang-orang ini..” membatin Anggalarang sambil bertarung.
Dipinggir gelangang tiga orang berjubah merah tampak kaget. Manakala Anggalarang mengeluarkan senjata kujang emasnya. Salah seorang dari ketiga nya tampak membisikan sesuatu.
“Cepat bereskan dia. Gunakan jarring sutra..” teriak orang tinggi besar berjubah merah.
Tujuh orang berjubah merah lantas melesat tiga tombak ke belakang. Begitu serangan di mulai. Dari masing-masing tangan ke tujuh lawannya keluar jarring berwarna putih kearah  Anggalarang.
“Reeeeeettttttt…..Duaaaaaarrrrrrr..!!”
Ketujuh penyerang ini tampak terpana. Begitu jarring-jaring berwarna putih ini mendadak meledak di udara sebelum mencapai tubuh Anggalarang. Kini di tengah gelanggang pertarungan satu sosok seorang lelaki berkumis tipis dengan rambut di gelung di atas kepala sudah berada di tegah gelanggang pertarungan.
“Anak-anak..mundurrrr..” terdengar teriakan dari orang yang di panggil Geni Siji.
Tak menunggu lama ke tujuh orang berjubah merah dengan tiga orang dengan pakaian senada lemparkan bola-bola hitam ke tanah yang kemudian meledak mengeluarkan asap pekat berwarna hitam. Begitu kabut asap hitam sirna.  Ke tujuh orang berjubah merah dengan ketiga orang sebagai pemimpinnya telah raib dari tempat itu.
“Terimakasih kisanak atas bantuannya..” ujar Anggalarang sambil rangkapkan kedua tangannya di dada.
“Tidak mengapa sobat muda. Tolong menolong antar sesama pengembara adalah hal yang lumrah..kalau boleh tahu kenapa sobat muda bisa terlibat pertarungan dengan para pajineman atau pembunuh bayaran itu..” ujar lelaki gagah berkumis tipis dengan rambut di gelung di atas kepalanya ini pelan.
“Nama saya Anggalarang. Maap kisanak mengenal mereka..” ujar Anggalarang penasaran.
“Mereka pajineman kalangan atas. Hanya orang-orang istimewa saja yang menjadi sasarannya..tunggu dulu..Anggalarang..bukankah itu nama kecil dari Niskala Wastu kencana. Putra prabu Linggabuana dari Padjajaran..apakah..”
“Benar kisanak itulah saya..” ujar Anggalarang pelan.
“Apakah yang terselip di pinggang kiri di balik pakian itu bilah mustika Naga Sasra..” ujar lelaki gagah berkumis tipis itu. Suaranya terdengar bergetar.
“Maap saya kurang paham seluk beluk keris.  Bilah mustika ini kepunyaan patih Gajah Mada..” ujar Anggalarang datar.
“Baiklah sobat muda. Saya pamit melanjutkan perjalanan. Semoga kelak kita bertemu lagi..” ujar lelaki gagah berkumis tipis dengan rambut di gelung diatas kepalanya. Yang dalam hitungan detik sosoknya telah jauh terlihat di lamping bukit sebelah timur.
“Ah..aku lupa menanyakan namanya tapi pemuda itu mengetahui nama keris pusaka milik Mahapatih Wilwatikta itu, ada baiknya saya mengikuti kemana dia pergi. Siapa tahu keberadaan Gajah Mada ada hubungannya dengan pemuda tadi..” gumam Anggalarang yang kini sosoknya terlihat jauh di lamping bukit sebelah timur.

ooooOoooo

Madakaripuri meremang dalam kabut dini hari. Suara air terjun terdengar bergemuruh manakala menerpa bebatuan gunung di bawahnya. Kabut tipis terlihat melayang diantara tanaman perdu yang tampak bergayut diantara ranting pohon. Di beranda rumah panggung di atas sebuah bukit dua orang tampak duduk bersila. Seorang pemuda gagah berkumis tipis terlihat duduk di hadapan satu sosok tinggi besar bertelanjang dada dengan rambut bergelung di atas kepalanya.
“Maap gusti prabu Datuk Sri Maharaja Diraja. Bukannya hamba menolak tawaran dari gusti. Tapi hamba masih mempunyai tanggung jawab di Majapahit ini..” ujar lelaki tinggi besar dengan rambut di gelung diatas kepalanya ini pelan.
“Paman Mada, apa yang paman harapkan lagi dari Majapahit. Hayam Wuruk sebagai prabu seharusnya lebih bijaksana. Tragedi bubat tidak sepenuhnya salah paman. Inikah balasan dari dharma bhakti paman selama membela Majapahit. Memberi tanah madakaripuri saya rasa itu hanya alasan dari Hayam Wuruk saja..” kata lelaki berkumis tipis ini tandas.
Sosok tinggi besar dengan rambut digelung keatas yang tak lain dari patih Wilwatikta, Gajah Mada tampak menarik napas dalam.
“Sudahlah paman Mada, lebih baik paman ikut dengan saya ke Minangkabau. Pusat pemerintahan Darmasraya sudah saya pindah ke kaki gunung merapi di tepi batang bengkawas. Kehormatan paman sebagai Mahapatih akan paman dapatkan di sana..”
Kata lelaki gagah berkumis tipis dengan rambut digelung diatas kepalanya ini berusaha meyakinkan lawan bicaranya. Siapakah lelaki gagah berkumis tipis yang tengah berbincang dengan Mahapatih Gajah Mada ini…?
Sosok lelaki gagah ini bernama Aditiyawarman. Sejarah mencatat. Aditiyawarman masih berhubungan darah dengan raja pertama Majapahit (Rd. Wijaya, Kertarajasa Jayawardhana) sedang Raja Jayanegara anak dari Rd. Wijaya dengan Dara Petak adalah pamannya. Ketika Jayanegara mangkat dia tidak berputra. Menurut adat. Aditiyawarmanlah yang seharusnya menggantikian Raja.
Dalam keadaan genting pada tahun 1331, Aditiyawarman bersama Gajah Mada dapat memadamkan pemberontakan Sadeng hingga Aditiyawarman mendapat pangkat istimewa sebagai werda- mentri. Sementara Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334, sudah menjadi seorang pemuda taruna, sehingga bagi Aditiyawarman tidak ada kesempatan lagi untuk menjunjung mahkota Majapahit sebagai ahli waris terdekat. Hingga akhirnya pada tahun 1343 Aditiyawarman pergi meninggalkan majapahit. Pulang ke Minangkabau dengan memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya ke kaki gunung merapi di tepi batang bengkawas.
Aditiyawarman ditabalkan menjadi raja Minangkabau dengan gelar Datuk Sri Maharaja Diraja yang bersahabat dengan Majapahit dengan mengembangkan kekuasaannya ke seluruh Sumatra dan Semenanjung Melayu di seberang selat malaka.
Mendengar akan nasib sahabat seperjuangannya yang seakan menjadi kambing hitam dan orang yang paling bertanggung jawab akan tragedy bubat hingga terkucilkan dari pusat pemerintahan Maka Aditiyawarman bermaksud menarik Gajah Mada bergabung dengan kerajaan Minangkabau.
“Maap paduka, hamba terlahir di tanah ini. Seyogyanya membela dan gugur di tanah kelahiran adalah cita-cita para ksatriya sebagai dharmabakti pada ibu bumi pertiwi..” ujar Mahapatih Gajah Mada pelan.
“Baiklah kalau itu sudah keputusan dari paman Mada, tapi kelak jika paman berubah pikiran tanah Minangkabau terbuka lebar buat paman..”
“Terimakasih paduka..” ujar Mahapatih Gajah Mada takzim.
“Dalam perjalanan menuju kemari. Saya bertemu dengan pemuda bernama Anggalarang putra mendiang prabu Linggabuan. Anehnya bilah mustika Naga Sasra kepunyaan paman Mada berada di tangan putra Padjajaran itu..”
“Maap gusti prabu. Hamba sengaja memberikan keris pusaka hamba pada Anggalarang..”
“Maksud paman Mada..”
“Mungkin Paduka Datuk ingat peristiwa penaklukan Kerajaan Bali. Dengan mahapatih kebo Iwa sebagai lawan terberat saat hamba di utus gusti Ratu Tri Buana Tunga Dewi .Saat itu. Patih Kebo Iwa memberitahu kelemahannya pada hamba…”
“Jadi maksud paman mada..”
“Benar Paduka. Dengan bilah mustika Naga Sasra milik hamba sendiri. Anggalarang bisa bela pati pada hamba atas tragedy Bubat..” ujar Patih Wilwatikta ini pelan.
“Tapi paman mada..”
“Maap Paduka..keputusan hamba sudah bulat. Dalam sisa umur hamba ini. Hamba ingin menjadi orang yang bermanfaat..kesalahan terbesar hamba harus hamba pertanggungjawabkan...”
“Paman Mada. Kesalahan terbesar apa yang sudah paman lakukan..”
“Dimasa jaya. Segala pangkat dan jabatan hamba borong pada diri hamba. Hamba alpa mendidik generasi penerus. Hamba takut Majapahit haya besar di zaman hamba saja..’
“Lalu rancana paman Mada selanjutnya apa..”
“Hamba akan menunggu Anggalarang di sini…” ujar Mahapatih Gajah Mada tegas.
“Baiklah paman Mada. Jika itu sudah menjadi keputusan paman.” ujar Adityawarman pelan.
Raja Minangkabau ini rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Tak lama sosoknya terlihat jauh menuruni perbukitan Madakaripuri.

ooooOoooo

Rawa Bolang tersaput kabut dini hari. Kawasan danau yang di kelilingi hutan tebu di sebelah timur,  hutan jati di sebelah selatan serta hutan kayu putih di bagian barat tampak sunyi. Hembusan angin terdengar bergemerisik manakala menerpa dedaunan. Mengguratkan gambaran abstrak di atas permukaan telaga. Dari dalik rimbunnya tanaman tebu satu sosok bayangan kuning kini telah berdiri tiga langkah di bibir rawa Bolang. Sosok orang berjubah kuning ini sesat perhatikan riak gelombang di permukaan danau. Lalu tepuk permukaan danau sebanyak tiga kali. Tak menunggu lama permukan danau yang semula tenang perlahan bergelombang menciptakan pusaran air yang semakin lama semakin cepat. Dan dari dalam pusaran air yang berputar dengan cepat itu melesat satu sosok bayangan hitam dengan raut muka menyeramkan berambut acak-akan serta memiliki dua caling di sela-sela bibirnya tampak berdiri tiga langkah di hadapan orang berjubah kuning.
“Ada apa kakang Mpu. Danurwenda..” ujar sosok tinggi besar ini lantang.
“Adik Jantra Bolang. Ada hal yang musti saya sampaikan, tapi sebelumnya tampakkan sosok yang enak di pandang..” kata orang berjubah kining pelan.
Sosok tinggi besar dengan rambut riap-riapan ini sesaat unjukkan seringainya yang menyeramkan. Detik berikutnya sosok yang menyeramkan itu berubah menjadi satu sosok lelaki tegap dengan rambut galing hitam bergelombang.
“Hal apa yang akan kakang Mpu. Danurwenda sampaikan..”
“Adik Jantra Bolang. Rimba hijau persilatan saat ini tengah digegerkan oleh aura yang di timbulkan oleh bilah pedang sanggabuana yang di tanam sifu Zen di kepunden kawah gunung Sanggabuana..” ujar Mpu. Danurwenda pelan.
“Kakang Mpu. Rupanya ramalan tentang munculnya ksatriya punjul ing apapak yang di katakana sifu Zen itu benar adanya..”
“Benar adik Jantra Bolang. Ksatriya yang kelak mampu mengambil bilah pedang Sanggabuana dari kepunden gunung sanggabuana itu menurut kabar gaib adalah seorang calon raja agung yang kelak menjadi Prabu di tatar Pasundan. Dan inilah saatnya kita menjadi saksi peristiwa itu..”
“Lalu apa yang harus kita lakukan kakang Mpu..”
“Malam ini purnama akan penuh di angkasa. Kawah sanggabuana mengering dengan sendirinya. Beberapa orang dengan maksud tertentu kini dipastikan sudah berada di sekitar kawah gunung sanggabuana. Mudah-mudahan ksatriya pilihan itu pun sudah berada di sana..”
“Baiklah kakang Mpu. Danurwenda saya paham..”
“Mumpung masih pagi ada baiknya kita berangkat ke sana adik Jantra Bolang..”
Lelaki gagah dengan rambut galling bergelombang ini hanya anggukkan kepalanya. Tak lama sosok keduanya terlihat jauh menuju kearah barat daya. Dimana sebuah gunung meremang dalam kabut dini hari.

ooooOoooo

Mentari sepenggalah. Dari balik gundukan bebatuan gunung sebesar kerbau sosok-sosok bayangan terlihat mendekam. Dua puluh tombak di depannya menganga lebar sebuah tanjung yang menjorok ke sebuah kepunden kawah yang senantiasa menggelegak mengepulkan asap berbau belerang yang sangat menyesakkan pernapasan. Salah seorang dari sosok-sosok yang berlindung di balik batu itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari balik jubah merah yang di kenakannya. Sebuah kipas berbentuk bulan sabit terlihat di genggaman tangannya.
“Kakang Geni Siji sampai kapan kita menunggu seperti ini..” ujar sosok tambun berjubah merah sambil mulai mengipasi badannya yang terus menerus mengucurkan keringat.
“Geni Telu. Tidak usah banyak bertanya dan berfikir. Kau perhatikan saja siapa-siapa yang akan datang ke tempat ini..” ujar sosok tinggi besar berjubah merah dengan cambang bawuk meranggas di wajahnya.
“Kakang Geni Siji. Apa kakang yakin Anggalarang akan datang ke tempat ini..” berkata sosok jangkung berjubah senada dengan ke dua temannya.
“Geni Loro. Pembesar yang menyewa kita itu orang dalam kedaton. Dia tahu semuanya tetang Anggalarang dan apa yang akan dia lakukan terhadap pemuda itu..”
“Tapi kakang Geni Siji. Rimba hijau persilatan pun sudah mendengar tentang kabar itu. Tidak menutup kemungkinan beberapa dari mereka sudah berada di sekitar kepunden gunung sanggabuana ini dengan tujuan yang sama..”
“Itulah tugas kita untuk membereskan mereka..” gumam orang yang di panggil Geni Siji sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.
“Kakang Geni Siji lihat..” ujar sosok tambun berjubah merah yang terus mengipasi tubuhnya dengan kipas berbentuk bulan sabit.
Geni Siji dan Geni Loro serentak arahkan pandangannya kearah yang di tunjuk Geni Telu. Dari arah selatan lereng terjal sanggabuana. Beberapa bayangan hitam tampak melesat dengan cepat menuju ke kepunden gunung sanggabuana. Dari cara mereka berlari degan ringan diantara perbukitan terjal. Sudah dapat di pastikan beberapa bayangan hitam ini bukan orang kebanyakan. Terpaut seratus tombak dari kepunden gunung sanggabuana beberapa bayangan hitam ini dengan serentak menyebar dan hilang dari pantauan tiga orang berjubah merah yang masih mendekam di balik gundukan batu.
“Kurang ajar. Siapa mereka sebenarnya. Gerakannya sangat cepat sulit di ikuti pandangan mata biasa..” gumam Geni Siji gusar.
“Kakang Geni Siji. Mereka pasti dari rimba hijau persilatan yang mempunyai tujuan sama dengan kita..” ujar Geni Loro berbisik.
“Kalian berdua wasdapalah. Beritahu anak-anak agar tidak melakukan gerakan yang mencurigakan..” ujar geni siji sambil pelankan suaranya.
Tidak berapa lama. Dari arah yang lain beberapa bayangan terlihat berlarian meniti terjalnya lereng-lereng sanggabuana. Dan begitu terpaut tigaratus tombak dari kepunden kawah sanggabuana. Bayangan-bayangan itu sontak menyebar kearah berlawanan.
“Hem..rupanya orang-orang itu tengah menerapkan strategi istana kosong..” desis Geni siji.
“Maksud kakang Geni Siji..” menimpali Geni Loro.
“Mereka sengaja menyebar sambil mengawasi siapa-siapa yang akan mendekati kawah. Begitu ada yang datang. Orang-orang itu akan menyerang dengan tiba-tiba dan tanpa ampun..”
“Kakang Geni Siji Mengenal mereka..”
“Kalau tidak salah kira. Pemimpin mereka bernama Ketapang Reges dari partai Galunggung..”
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang kakang Geni Siji..” ujar geni telu.
“Strategi mereka akan kita manfatkan..” gumam Geni Siji sambil tersenyum penuh arti.
“Maksud kakang Geni Siji..”
“Kita tetap bersiaga di tempat ini. Begitu pedang sanggabuana berhasil didapatkan oleh salah satu dari orang-orang itu. Dengan serentak kita habisi mereka..”
“Tapi bagaimana kalau Anggalarang yang berhasil mendapatkan pedang itu..”
“Justru itu yang kita harapkan. Anggalarang sudah beberapa kali tidak menggunakan pusaka milik Gajah Mada. Maka dengan mudah kita bereskan..”
Percakapan diantara ke tiga orang berjubah merah ini mendadak sontak berhenti. Terpaut lima ratus tombak dari bibir kepunden gunung sanggabuana. Lima orang bertelanjang dada dengan hanya mengenakan celana pangsi berwarna kuning dengan tombak panjang di tangan kanannya terlihat mendekati bibir kawah sanggabuana. Begitu terpaut tiga ratus tombak dari bibir kepunden sanggabuana. Sepuluh bayangan hitam telah mengurung kelimanya. Begitu kelima orang dengan tombak panjang di tangan kanannya ini pasang kuda-kuda pertahanan. Dari arah yang tak terduga melesat sepuluh bayangan hitam yang lain dan tanpa ampun menyerang kelima orang ini dengan cepat yang dalam hitungan detik ke lima orang dengan tombak panjang itu berkaparan dengan nyawa lepas dari badannya. Begitu kelima orang itu di pastikan tewas. Sosok-sosok bayangan hitam itu kembali menyebar kesegala arah dan raib dari pandangan.
“Edan..coba bayangkan kalau kita berada di situ sekarang..” gumam Geni Telu bergetar.
“Cepat, tepat dan akurat..hampir tak ada gerakan yang tak berarti..” menambahkan Geni Loro.
“Kalian sudah lihat sendiri keganasan mereka bukan..” ujar Geni Siji datar.
Kita tinggalkan sejenak kepunden atau kawah gunung sanggabuana. Di satu tempat. Seminggu sebelum beberapa pendekar dari rimba hijau persilatan mendatangi kepunden atau kawah gunung sanggabuana.  Satu sosok bercaping bambu dengan tongkat berujung sapu lidi terlihat menjejakkan kakinya di salah satu perbukitan. Dimana sejauh mata memandang yang tampak hanya bebatuan pualam berwarna biru. Sosok yang tak lain dari Sanjaya atau Sada lanang yang tengah menjalankan ritual atau lelaku dharma bakti penawar kutuk. Kini jejak langkah pemuda dengan parut melintang di pipi kanannya ini sampai di sebuah perbukitan yang mana dulu pemuda ini menyamar sebagai Mangkurat salah satu telik sandi yudha Majapahit. Dimana akhirnya Sanjaya membawa lari bilah pedang tersebut dengan membunuh terlebih dahulu Mpu. Palwa sang pembuat pedang yang kini pedang tersebut tengah menjadi rebutan para pendekar rimba hijau persilatan.
Sanjaya atau Sada Lanang perhatikan situasai sekelilingnya. Suasananya masih sama seperti dahulu. Sebuah pondok kayu yang hampir roboh termakan usia terlihat di hadapannya. Disamping pondok tampak dua batang bumbung bambu besar sebagai alat pompa alami. Disamping pompa alami terlihat sebuah bak persegi panjang dari kayu pohon randu pugur yang telah mengering airnya. Serta sebuah lempengan baja sebagai penempa batang logam. Sudut mata Sada Lanang membentur sebilah warangka pedang dari ponon siwalan tertancap di tanah berbentuk pundan berundak. Ketika diteliti dibawah warangka pedang itu tergeletak sebuah periuk kecil berisi abu. Dengan takzim Sada Lanang berlutut di hadapan warangka pedang dengan periuk berisi abu tersebut. Kedua telapak tangannya di rapatkan di atas keningnya.
“Mpu. Palwa. Walau dirimu telah menjadi serpihan abu. Saya yakin roh mu masih berada di sekiat tempat ini. Saya datang bermaksud meminta maap atas segala tindakan yang pernah saya lakukan pada Mpu. Sebagai penebus dosa izinkan saya merawat dan menjaga tempat ini..”
Setelah memanjatkan doa. Sada Lanang tancapkan tiga batang hio sebagai penghormatan pada Mpu. Palwa. Bau hio sontak semerbak menebarkan wewangian diantero bukit pualam biru. Sada Lanang kemudian mulai membersihkan tempat tersebut. Dengan menggunakan tongkat berujung sapu lidi disapunya dedaunan kering yang bertebaran menutupi gundukan tanah berbentuk pundan berundak dimana abu kremasi dari Mpu. Palwa tersimpan.
Hampir seminggu Sada Lanag berada di tempat tersebut. Pada hari ke tujuh. Ketika Sada Lanang selesai membersihkan dedaunan yang menutupi halaman pondok dari sang Mpu. Gumpalan kabut tebal tiba-tiba menyelimuti seantero kawasan bukit pualam biru. Dari dalam kabut yang tebal itu menyeruak sinar putih yang sangat menyilaukan. Sampai Sada Lananag memicingkan kedua matanya tidak kuat menatap cahaya yang berpendar keluar dari gumpalan kabut. Dari dalam kabut samar-samar terlihat satu sosok orang tua berselempang kain kuning dengan wajah kelimis bersinar keperakan. Inilah sosok astral Mpu. Palwa.
“Anak muda. Darma bhakti mu saya terima. Kesalahan dirimu telah saya maapkan. Sekarang dengarkan permintaan dari ku..” ujar sosok astral Mpu. Palwa pelan.
‘Silahkan Mpu..” ujar Sada Lanang takzim. Sambil masih merangkapkan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Pedang sanggabuana yang aku buat kini berlumuran darah orang-orang yang tak berdosa. Nyawa-nyawa berjatuhan sia-sia. Aku minta tolong kepada mu. Pergilah ke kepunden kawah gunung sanggabuana. Ambil bilah mustika itu lalu pergilah ke Padjajaran. Berikan bilah mustika sanggabuana pada Anggalarang dan mengabdilah padanya. Kelak Anggalarang yang akan menurunkan trah Padjajaran silih berganti dan wangi dan juga dapat menawarkan kutuk yang tengah menimpa dirimu..”
Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Perlahan sosok astral Mpu. Palwa memudar dari pandangan Sada Lanang. Lalu hilang seiring hembusan sang bayu dari lereng perbukitan batu pualam biru.
“Baiklah Mpu. Palwa. Saya akan menjalankan semua amanat mu..” ujar Sada Lanang pelan.
Setelah dirasakan segala sesuatunya cukup. Sanjaya atau Sada Lanang perlahan langkahkan kakinya meningalkan puncak bukit pualam biru. Tujuannya kini jelas sudah kepunden atau kawah gunung sanggabuana.

ooooOoooo

Lembayung senja semburat di ufuk barat. Hembusan sang bayu terdengar gemerisik manakala menerpa dedaunan pohon siwalan yang bayak tumbuh di lereng bukit Madakaripuri. Gemuruh air terjun terdengar membahana manakala menimpa bebatuan yang berada di bawahnya. Sosok pemuda gagah baju putih bercelana hitam dengan buntalan butut di pundak sebelah kiri terlihat berdiri mematung di hadapan air terjun.
“Inikah Madakaripuri yang di katakana Mangkurat. Lalu di sebelah mana tempat kediaman dari Gajah Mada..” membatin sosok gagah ini dalam hati.
Pemuda gagah yang tak lain dari Anggalarang ini masih tampak berdiri mematung memperhatikan derasnya guyuran air terjun yang berada di hadapannya.
“Pemuda dengan rambut di gelung di atas kepala itu menghilang di sekitar sini. Tapi anehnya tak ada jalan lain..” gumam Anggalarang pelan.
Mendadak telinga tajam Anggalarang mendengar sesuatu yang mencurigakan berasal dari derasnya air terjun. Dengan sekali jejakan kaki ke tanah tubuh pemuda gagah ini tampak melayang dengan ringan keudara. Lalu dengan enteng tanpa menimbulkan suara sosoknya kini telah berada di selah satu cabang pohon siwalan berdaun lebat di samping air terjun. Mata Anggalarang terbelalak lebar. Manakala dari derasnya guyuran air terjun melesat satu sosok yang dengan ringan jejakan kakinya di tepi sungai berbatu di hadapan air terjun yang semakin bergemuruh. Lalu sosok lelaki dengan rambut digelung diatas kepalanya ini kelebatkan badannya kearah barat yang dalam waktu singkat bayanganya raib di balik lamping bukit Madakaripuri sebelah selatan.
“Hemm..jadi itu jalan rahasia menuju Madakaripuri. Apakah Gajah mada ada di balik air terjun ini..” membatin Anggalarang. Dirabanya bilah mustika yang terselip di balik baju sebelah kanannya dengan pelan.
“Sebentar lagi kyai akan saya kembalikan pada pemiliknya..” gumam Anggalarang bergetar.
Tak menunggu lama. Anggalarang terlihat melesat kearah derasnya air terjun. Sosok pemuda gagah ini terlihat menembus guyuran air terjun yang terus bergemuruh. Begitu melewati guyuran air terjun dalam keremangan suasana.  Mata Anggalarang melihat seberkas cahaya di ujung lorong. Dengan sebat pemuda gagah ini lesatkan badannya mengikuti arah cahaya. Semakin dekat ke sumber cahaya lorong yang di laluinya semakin melebar. Begitu keluar dari dalam lorong. Anggalarang merasa takjup dengan pemandangan yang terhampar di hadapannya. Pemuda gagah ini kembali merasakan dirinya menembus guyuran air terjun. Begitu melewati Air terjun di hadapannya terhampar sungai jernih dengan bebatuan. Setelah melewati anak sungai kini dihadapan putra mahkota Padjajaran itu tampak sebuah puri terbuat dari kayu jati pilihan dengan pintu tertutup rapat.
Anggalarang masih berdiri mematung di hadapan pintu yang terbuat dari kayu jati berukir itu. Ketika bermaksud mengetuk pintu. Suara berat penuh wibawa mempersilahkan Anggalarang masuk.
“Silahkan duduk Raden..” ujar sosok tinggi besar dengan rambut di gelung di atas kepalanya pelan.
“Terimakasih..” ujar Anggalarang sambil tak lepas menatap sosok di hadapannya dengan tajam.
“Apakah tuan yang bernama Gajah Mada..” ujar Anggalarang sambil menahan gemuruh di dadanya.
“Benar Raden. Hamba Gajah Mada..” ujar sosok tinggi besar ini tenang.
Dari balik baju putihnya Anggalarang keluarkan sebilah keris berpamor biru yang langsung diangsurkan di hadapan Gajah Mada.
“Saya kembalikan keris milik tuan. Dan sudilah kiranya tuan Gajah Mada duel dengan saya..” ujar Anggalarang datar.
“Maap Raden. Bukannya hamba menolak. Tapi alangkah baiknya raden istirahat barang sejenak. Besok jika tenaga raden sudah pulih hamba terima tantangan dari Raden..” ujar sosok tinggi besar ini sambil menerima bilah keris berpamor biru dari tangan Anggalarang.
“Baiklah paman. Terimakasih atas tawarannya..” ujar Anggalarang pelan.
Orang tinggi besar dengan rambut di gelung diatas kepalanya ini haya tersenyum. Kemudian diajaknya Anggalarang memasuki sebuah bilik sederhana. Setelah mengantar Anggalarang beristirahat.  Sosok tinggi besar ini kembali ke tempatnya semula.
Hampir semalaman Anggalarang tidak bisa memicingkan kedua kelopak matanya. Sebelum berhadapan langsung dengan mahapatih Gajah Mada. Gejolak jiwanya terus bergemuruh. Dendam kesumat selalu membayangi setiap langkahnya. Nafsu membunuh orang yang bernama Gajah Mada meletup-letup. Namun kini setelah bertemu langsung dengan orang yang di bencinya ini. Persaan pemuda gagah ini terasa melunak. Anggalarang hampir tidak bisa berkata kata dengan nada keras. Seakan orang di hadapannya itu adalah ayahandanya sendiri. Bhatin pemuda gagah ini menjadi bimbang. Tapi begitu ingat semua yang di kasihinya tewas secara mengenaskan darah muda pemuda gagah ini kembali mendidih. Merasa sumpek di dalam bilik. Anggalarang melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Diluar langit masih gelap. Kabut tipis melayang menerpa tubuhnya. Pemuda gagah ini terus melangkahkan kakinya menyusuri lorong puri milik Gajah Mada. Begitu melewati beranda puri. Langkah Anggalarang terhenti. Sosok tinggi besar dengan rambut di gelung diatas kepala tampak duduk bersila sambil memandang derasnya guyuran air terjun di hadapannya. Sosok ini tersenyum begitu Anggalarang berada di hadapannya.
“Raden belum tidur..” ujar sosok ini pelan.
“Apa yang sedang paman lakukan..” ujar Anggalarang tanpa menjawab pertanyaan orang.
“Berbicara dengan alam..” ujar sosok tinggi besar ini pelan.
“Maksud paman..” ujar Anggalarang yang kini duduk bersila di samping Gajah Mada.
“Raden. Apa yang di ciptakan sang maha kuasa baik mahluk hidup ataupun benda mati. Pada hakikatnya semuanya memiliki roh dan nyawa. Contohnya air terjun itu walau hanya benda mati pada dasarnya punya roh dan jiwa dan kita bisa berdialog dengan nya..”
“Paman. Ada hal yang ingin saya tanyakan..” ujar anggalarang datar.
“Silahkan Raden..”
“Kenapa paman tega membunuh semua keluarga saya..” ujar Anggalarang bergetar.
Mahapatih Wilwatikta ini tercenung sesaat. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan dari Anggalarang.
“Raden. Kadang apa yang kita lakukan tidak selamanya memerlukan sebuah alasan..”
“Tapi saya memerlukan alasan itu paman..” ujar Anggalarang pelan.
“Raden ujar-ujar mengatakan. Kekuatan besar memerlukan tanggung jawab yang besar juga..Sumpah Palapa yang hamba lakukan menuntut tanggung jawab hamba sebagai seorang ksatriya dengan jalan pedang..”
“Baiklah paman. Saya mengerti hal itu. Tapi dharma bakti sebagai seorang ksatrya adalah wajib hukumnya. Dan sabda pandita ratu sebagai calon prabu adalah mutlak..jadi maapkan saya paman..”
“Saya memahami hal itu Raden. Sekarang hampir pagi. Istirahatlah barang sejenak. Hamba jamin keselamatan raden..”
“Terimakasih paman. Besok pagi saya tunggu di atas air terjun..” ujar Anggalarang pelan. Gajah Mada hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya.
ooooOoooo

Salam Bhumi Deres Mili

Selanjutnya : SIRNA HILANG KERTANING BUMI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lisensi

Lisensi Creative Commons
BHUMI DERES MILI by BHUMI DERES MILI is licensed under a Creative Commons Atribusi 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di KANG KUSYOTO, KYT.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http//:www.bhumideresmili.blogspot.com.

Total Tayangan Halaman

About

Pages

Download

Powered By Blogger

Search Box

Popular Posts

Followers