KONTAK SAYA

Email Twitter Facebook

TELUSURI

GALERI FOTO

Kategori Arsip Daftar Isi

MULAI DARI SINI

Pelayanan Portfolio Pembayaran

Kamis, 26 Januari 2012

MUSTIKA BUNGA KARANG


     Keheningan subuh itu terobek oleh teriakan dan bentakan dari beberapa orang berseragam prajurit yang dengan kasar nengumpulkan seluruh penduduk sebuah kampung dikaki bukit, sedang puluhan prajurit yang lain membentuk pormasi pagar betis dengan perlengkapan persenjataan yang lengkap, seorang dengan tampang sangar sambil menghunus pedang besar dari warangkanya tampak  melangkah dihadapan para penduduk yang bersimpuh ditanah rerumputan.

“dengar kalian semua, siapapun yang ketahuan melindungi keluarga prabu maespati, terutama putrinya..akan mendapat hukum pancung dari prabu tamtama gama, sebaliknya jika kalian tahu dimana tempat persenbunyian putri maespati hadiah seribu keping emas akan kalian dapatkan..”
kepala prajurit ini lantas lentingkan badannya diudara yang dalam sekejap telah duduk dipunggung kuda detik berikutnya bersama puluhan prajurit tinggalkan kampung dikaki bukit itu dengan meninggalkan debu mengepul diudara.
“tetua..apa yang harus kita lakukan..”
“kita Cuma bisa berdoa, agar angkara ini cepat berakhir..kebijakan baru dari sebuah peralihan kekuasaan tak bisa kita hindari..kasihan keluarga prabu maespati harus cerai berai oleh orang yang dulunya dianggap sebagai sosok pahlawan..”
“tetua betul, dulu kita selalu menganggap orang itu sosok yang kelak akan membawa perubahan yang lebih baik dan kesejahteraan menyeluruh..tapi pangkat jabatan dan kedudukan yang dianugrahkan sang prabu maespati telah membutakan nalar sehatnya.. “
“sudahlah..benih angkara yang dia tabur sekarang, kelak akan dituainya ..marilah mulai sekarang kita berdoa demi keselamatan sang prabu maespati sekeluarga..”
Pemuda ini Cuma anggukkan kepalanya, sedang orang tua kepala kampung dengan segera mengajak puluhan penduduk yang masih berkerumun keatas sebuah bukit.

ooooOoooo

 SATU TAHUN SEBELUMNYA……..
     Mentari sepenggalah,  desiran angin utara menyibak rambut panjang sebahu satu sosok lelaki gagah berkumis tipis tampak menyarungkan pedang yang sebelumnya telah dibersihkan dari noda darah yang menempel di bilah pedang.
“panglima rendra kila, berapa orang prajurit kita yang tersisa..”
“maap gusti prabu, dua ribu prajurit yang tersisa..”
“baiklah mari kita kembali ke istana, tapi ingat kemenangan kita ini kali jangan membuat pasukan menjadi lengah..siapa tahu raja huttara  masih penasaran dengan kita..”
“hamba gusti prabu..”
Sesaat ketika sangkala berbunyi nyaring iring-iringan pasukan yang menang perang ini tampak melaju dengan tenang meninggalkan arena pertempuran dengan menyisakan kepulan asap serta anyirnya bau darah, sedang diatas sana puluhan burung nazar terbang berputar mengintai bangkai-bangkai yang tampak bergelimpangan tak tentu arah.
“gusti prabu, perjalanan kita kembali ke istana masih tersisa tiga hari lagi..bagaimana kalau pasukan kita istirahatkan dulu..”
“ahh..kau benar panglima..sepekan bertempur dengan pasukan huttara membuat sebagian prajurit kelelahan..”
“didepan sana setelah melewati lamping bukit ini ada padang ilalang dan dekat dengan sungai..cocok untuk mendirikan tenda..”
“laksanakan panglima rendra kila..”
Tak menunggu lama puluhan tenda telah siap.
“panglima tiga hari kedepan mungkin permaisuriku  akan melahirkan..aku sudah tidak sabar menanti calon pewaris tahta kerajaan maespati..”
“benar gusti prabu..semoga gusti kameswari baik-baik saja..”

     Selimut malam perlahan menaungi bukit padang ilalang tempat dimana pasukan prabu maespati melepas lelah, api unggun telah dinyalakan puluhan prajurit tampak berjaga sebagian telah terlelap kealam mimpi.
Diangkasa yang kelam mendadak terdengar desingan suara yang bergemuruh, detik berikutnya ribuan anak panah berapi menerjang tenda-tenda serta pasukan yang tengah menikmati istirahatnya, sontak ketenangan malam itu terobek dengan jeritan dan erang kesakitan dari prajurit-prajurit yang belum siap bertempur, suasana pun menjadi kacau balau, prabu maespati yang akan terlelap menjadi terkejut dan dengan sigap meraih pedang serta keluar dari tendanya yang terbakar oleh puluhan anak panah berapi.
“panglima rendra kila..siagakan pasukan, kita diseraang..”
“hamba gusti prabu..”
Panglima rendra kila dengan sigap langsung memimpin anak buahnya membentuk pormasi pertahanan dengan tameng dan tombak  ditangkisnya setiap anak panah yang menghujam bak air bah kearahnya.
“prajurit kau bantu dan lindungi gusti prabu..yang lain siapkan puluhan gedebok pisang …”
“siap panglima..”
Hujan anak panah berapi berlangsung  beberapa menit namun dampak yang ditimbulkan sangat merugikan kekuatan pasukan maespati, ditambah lagi begitu hujan anak panah berapi berhenti dari berbagai penjuru bermunculan sosok-sosok yang dengan ganas langsung menyerang pasukan prabu maespati.
“pasukan huttara..kurang ajar, mereka licik menyerang kita disaat istirahat..prabu huttara telah melanggar kode etik peperangan…panglima bentuk pormasi istana kosong…”

Pormasi istana kosong adalah strategi dimana pasukan membiarkan pasukan lawan merangsak maju kedepan sedang pasukan yang lain berpura-pura mundur kesamping lawan dan ketika seluruh pasukan lawan berada ditengah dengan serentak diserang, namu untuk ini kali strategi itu bisa dibaca dan dimentahkan lawan, dengan membiarkan pasukan maespati mundur kesamping dan dengan serentak pula pasukan uttara menggempur langsung kepusat pertahanan yakni diujung pertahanan sedang dengan ganas pasukan uttara menghujani anak panah kesamping kanan dan kirinya..
“celaka strategi kita gagal..”  keluh panglima rendra kila.
Disaat seperti itu, entah dari mana datangnya satu sosok bayangan dengan sigap melesat diantara pasukan maespati dan uttara dan dengan pedang berkilat ditangannya membabat ganas pasukan huttara.
Sosok yang ternyata pemuda gagah berjaket bulu binatang ini dengan ganas babatkan pedangnya kearah pasukan huttara, yang setiap kelebatan pedang duapuluh orang prajurit uttara bergelimpangan roboh  bermandikan darah.
“munduuurrr…pasukan huttara…mundurrr…!!”
Terdengar teriakan membahana dikejauhan, serentak sisa pasukan huttara yang lolos dari sabetan pedang dahsyat itu dengan cepat lari tunggang langgang meninggalkan kalangan pertempuran.
“tidak usah dikejarr..” teriak lantang panglima rendra kila
“siapakah kisanak ini..kenapa membantu pasukan kami..”
 ujar prabu maespati sambil menyarungkan bilah pedang kewarangkanya.
“maap gusti prabu..bila hamba lancang..hamba hanya seorang pengembara yang tidak suka akan kelicikan…”
“siapa namamu tuan pendekar…”
“nama hamba  govala , gusti prabu..”
“sebagai tanda  jasa mu..aku angkat kau menjadi pengawal pribadiku..bagaimana govala..”
“anugrah ini akan hamba junjung tinggi, gusti prabu..”

ooooOoooo


     Puncak bukit karang yang biasanya sunyi senyap, pada dini hari yang dingin itu lapat-lapat terdengar tangisan orok yang menyayat hati, sosok lelaki dengan jubah kelabu dengan penuh kasih tampak berusaha membuat diam orok yang ada dalam dekapannya.
“gusti putri..tangisan  mu ini..seakan mengisyaratkan tanda-tanda ..hamba mohon berhentilah menangis..”
Orok merah yang terbalut kain tebal itu seakan mengerti  atau mungkin karena lelah menangis, akhirnya terbuai kembali dalam dekapan hangat yang menggendongnya.
“kasihan sekali kau putri..seharusnya tempatmu di istana yang hangat..bukan ditempat ini..baginda raja terlalu percaya dengan orang itu..hingga dengan mudah kita semua dapat disingkirkannya..”
Telinga tajam orang yang menggendong orok ini sesaat mendengar suara yang mencurigakan, dengan segera sosok lelaki ini lentingkan badannya keatas wuwungan  gubuk  sambil mendekap sang orok, dari atas gubuk dia bisa melihat satu sosok lain dengan hati-hati menghampiri pintu gubuk.
Orang yang menghampiri pintu gubuk ini mendadak kaget lalu lesatkan tubuhnya kebelakang tiga langkah sambil menghunus senjatanya, tapi begitu tahu siapa yang dihadapannya orang ini lantas rangkapkan kedua tangannya didada.
“panglima..maapkan hamba datang mendadak ..”
“tak usah basa-basi..ada apa kau kemari prajurit..”
“kondisi istana semakin memanas, prabu tamtama gama atau govala mengerahkan seluruh pasukan  melacak keberadaan tuan putri maespati..”
“kau tidak usah khawatir tempat ini aman, kembalilah ke istana pantau keberadaan permaisuri yang jadi tawanan dan lacak dimana keberadaan gusti prabu maespati..”
“baik panglima, hamba pamit..”
Lelaki berjubah kelabu ini hanya menganggukan kepalanya sedangkan sosok ini kembali lesatkan badannya menuruni bukit karang.

Kedaton lembah indus

     Prabu Tamtama gama, tampak gusar diatas singgasananya sedang dibawahnya duduk terpekur tundukan wajah patih Angkor kham.
“melacak keberadaan putri maespati saja kau tidak becus, pedangku ini akan  memenggalmu seperti aku memenggal tuan mu dulu prabu huttara..”
“ampunkan hamba, gusti prabu..beri kesempatan sekali lagi..hamba akan porak-porandakan seluruh Hindustan ini bila perlu sampai kewilayah selatan jauh..”
“heem..baiklah, mengingat jasamu membantuku menggulingkan kekuasaan prabu uttara dan maespati ini..aku beri kesempatan satu kali lagi, jika gagal..kau tahu sendiri ..pedangku ini yang akan bicara..”
“terimakasih…gusti prabuu..”
“tidak usah banyak cing-cong..pergi kau dari hadapan ku..”
Dengan tergesa patih Angkor kham rapatkan kedua tangannya didada dan dengan sigap tinggalkan balai singgasana.
“prajurit bawa kemari permaisuri maespati…”
“baik..gusti prabu…”
Tak lama dari balik tirai dinding singgasana satu sosok dengan mengenakan kain sari yang lusuh tampak melangkah dengan tangan dan kaki dirantai.
“silahkan duduk permaisuri..bagaimana kabarmu hari ini..”
Wanita yang sebenarnya anggun ini tampak terlihat kumal dan lusuh hanya diam membisu sambil menatap tajam sosok yang ada di atas singgasana.
“kenapa kau diam saja permaisuri..”
“penghianat..kau tak layak duduk disinggasana itu..”
“hahahah…tidak ada penghianat disini..yang ada adalah orang cerdik..tidak bodoh seperti suamimu..”
“penghianat macam kamu, akan mendapat balasan yang setimpal..kau telah menghianati kami, kau pun sebenarnya bersekutu dengan raja huttara yang telah kau bunuh juga dengan licik..manusia macam apa kau ini…ular berkepala dua..”
“tutup mulut mu permaisuri..jangan kau kira aku tidak tega membunuhmu..sekarang katakana dimana keberadaan putri maespati..”
“penghianat..kelak putri ku akan membalaas semua ini..”
“pengawal..bawa wanita ini ke penjara bawah tanah..biar dia membusuk bersama cacing tanah..”

Dengan segera prajurit ini menyeret wanita yang ternyata permaisuri kerajaan maspati keruang bawah tanah, begitu sampai diruang bawah tanah prajurit pengawal ini tampak longokkan kepalanya kearah atas begitu dirasa aman dengan berbisik mengatakan sesuatu pada permaisuri.
“maap gusti, hamba Cuma menjalankan tugas..”
“tidak apa prajurit, apa kau sudah bertemu dengan panglima rendra kila..”
“sudah gusti..gusti putri dalam kondisi baik…maap gusti hamba tidak bisa lama-lama, hamba akan menyirap kabar dimana keberadaan gusti prabu maespati..”
“trimakasih prajurit..”
Prajurit jaga ini Cuma mengangguk, dengan segera tinggalkan ruang bawah tanah.

ooooOoooo

     Sementara kita tinggalkan sejenak nagri hindustan dengan berbagai permasalahannya yang kompleks.
jawadwipa

pada episode: tragedy patrem saka domas dikisahkan dengan mengendarai sebuah sampan dyah pitaloka dan sungging prabangkara dengan tenang melaju meninggalkan muara sungai sugaluh, muda mudi ini tidak menyadari diburitan perahu satu sosok bayangan hitam tampak bergayut di belakang perahu. begitu sampan ini merapat dipelabuhan kali mas sosok yang semula berada dibelakang perahu kini raib entah kemana.
"kakang sungging sebenarnya kita mau kemana.."
"tuan putri..."
"kakang..!!."
"oh ya..maap..nyimas pitaloka, tidak penting kita akan kemana..bukankah dengan siapa kita pergi itu yang terpenting.."
putri padjajaran ini cuma tersenyum simpul, begitu sepasang mata muda-mudi ini saling menatap,getar rona berbunga membuncah dihati sepasang sejoli ini.
"kakang bilang, masih punya biung.."
"benar, perdikan welangun dikaki gunung arjuna.disanalah tempat biung ku.."
"bagaimana kalau kita kesana kakang.."
"benar juga nyimas..sudah lama aku tidak menyambangi biung ku.."
dengan bergandeng tangan, kedua muda-mudi ini lantas ayunkan langkahnya menuju arah timur laut, tapi belum seratus langkah mereka berjalan serangkum angin teramat keras menerjang keduanya, dengan sigap dyah pitaloka cabut pedang giok hijaunya sedang sungging prabangkara kepalkan kedua tangannya seberkas cahaya membentuk puluhan kuas kecil berputar ditelapak tangan kanannya..

ooooOoooo

Salam Bhumi Deres ili

segera menyusul: Bayang-Bayang Kutukan








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lisensi

Lisensi Creative Commons
BHUMI DERES MILI by BHUMI DERES MILI is licensed under a Creative Commons Atribusi 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di KANG KUSYOTO, KYT.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http//:www.bhumideresmili.blogspot.com.

Total Tayangan Halaman

About

Pages

Download

Powered By Blogger

Search Box

Popular Posts

Followers