Setelah dhuta dari majapahit
yang menyerahkan surat permintaan maap atas tragedy bubat dan abu kremasi prabu
linggabuana serta putri dyah pitaloka berlalu dari balerung kraton padjajaran,
dari balik singgasana muncul satu sosok pemuda gagah dengan mahkota emas
bertengger dikepalanya, dialah niskala wastu kencana yang mempunyai nama kecil
rd. anggalarang yang telah ditabalkan sebagai putra mahkota yang kelak
menggantikan ayah handanya prabu linggabuana, menjadi prabu di kedaton padjajaran.
“angger anggalarang, paman mengerti akan keputusan mu untuk menantang
duel dengan mahapatih gadjah mada tidak bias ditawar lagi, namun seperti tradisi
yang telah turun-temurun sebelum memegang tampuk kekuasaan dipadjajaran, dirimu
harus melukukan lelaku pengembaraan selama satu tahun,tradisi inipun pernah
dilakukan oleh kakek buyut, eyang serta ramandamu dimasa mudanya..”
Anggalarang Cuma diam tepekur dihadapan pamannya, dirinya menyadari
betul akan tradisi yang telah berlaku dikerajaannya.
“saya siap, paman mangkubumi..dan selama saya dalam lelaku pengembaraan
saya percayakan penuh kedaton padjajaran pada paman mangkubumi bunisora
suradipati..”
“satu lagi angger anggalarang, mahapatih gadjah mada menyerahkan
kerisnya pada dirimu entah apa maksudnya Cuma dirimu yang bisa menjabarkannya
sendiri..”
Ujar mangkubumi bunisora suradipati sambil mengangsurkan sebilah keris
yang langsung diterima oleh anggalarang
“dengan keris itu, mahapatih
gadjah mada mengikrarkan sumpah palapanya..”
“baiklah paman mangkubumi,
saya pamit untuk bersiap-siap melakukan lelaku pengembaraan..”
Mangkubumi bunisora
suradipati Cuma mengangguk pelan, sesaat dia menarik napas panjang dan berat
diperhatikannya sesaat punggung anggalarang yang telah raib dibalik tembok
balerung adik dari sang prabu linggabuana ini terus termenung ditempatnya.
Mangkubumi bunisora teringat
kembali, sehari setelah mendengar kabar ksatria-ksatria padjajaran sang prabu
linggabuana dan putri dyah pitaloka gugur dibubat dibantai pasukan elit
bhayangkara majapahit, hampir saja dirinya menyiapkan segenap pasukan
padjajaran untuk menyerang ke majapahit, namun setelah membaca surat langsung
permohonan maap dari sang prabu muda hajam wuruk, lelaki yang masih tampak
kekar diusianya yang mulai sepuh ini kendur amarahnya.
“saya selaku prabu anom
majapahit, meminta maap atas tragedy yang terjadi di palagan bubat yang telah
menewaskan ksatria-ksatria padjajaran, itu semua menjadi tanggung jawab saya,
apapun tuntutan dari pihak padjajaran akan saya terima dengan lapang dada, saya
berjanji majapahit tidak akan mengusik padjajaran, karena padjajaran adalah
negeri merdeka dan saya harap demikian pula dengan padjajaran…”
Karena isi surat itulah,
mangkubumi bunisora suradipati luluh amarahnya, dia menyadari kalaupun
melakukan peperangan dengan pihak majapahit tentunya sudah dapat dipastikan
hasilnya, dan yang menanggung serta menjadi korban sudah barang tentu kawula
alit yang tak berdosa.
Mangkubumi bunisora
suradipati menyadari betul hal itu, tapi entah dengan anggalarang….
“paman mangkubumi saya sudah
siap…”
Mangkubumi bunisora
tersentak dari lamunannya, dihadapannya kini berdiri satu sosok anggalarang
yang telah melepaskan semua atribut kebangsawanannya, dengan celana hitam dan baju
putih sederhana serta satu buntalan butut dipunggung sebelah kiri, dipastikan
tak seorangpun dapat mengenali sosok ini sebagai calon raja padjajaran.
“pergilah dengan kepala
tegak kedepan angger..restu paman dan
seluruh kawula padjajaran menyertai setiap langkahmu..”
Anggalarang Cuma mengangguk
pelan, dengan sekali hentakan kakinya ketanah sosoknya kini telah berada di
luar pintu gerbang istana dan saat berikutnya raib dengan meninggalkan angin
bersiur menggoyangkan pepohonan perdu dihalaman istana.
ooooOoooo
Seratus hari setelah sanjaya digembleng
oleh pertapa sapta raga di sebuah goa jurang tanpa dasar semenanjung Himalaya,
kanuragan pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini semakin meningkat,
ringan tubuhnya hampir sempurna, separuh kedigjayaan dari sang pertapa hampir
dikuasainya.
Pagi itu sanjaya tampak
bersila disebuah batu datar, tubuh pemuda ini tampak bergetar hebat dari bawah
tubuhnya perlahan terpancar tujuh sinar membentuk pelangi, detik berikutnya
sosoknya dengan cepat dapat berubah sesuai yang dikehendakinya.
“hahahaha…aji sapta daya mu,
hampir sempurna sanjaya..dengan ajian itu dipastikan jurus kuntum kilat melecut raga tingkat tiga yang dimiliki manggala bisa
kau tandingi..”
Sosok sanjaya yang tengah
berubah menjadi seekor harimau kumbang ini tampak seringaikan taringnya detik
berikutnya dirinya telah berubah ujud menjadi pertapa sapta raga, yang membuat
sang pertapa ini tercengang ditempatnya.
“luar biasa..pemuda ini,
orang biasa membutuhkan ratusan tahun untuk bisa menguasai separuh inti ajian
sapta daya, sedang yang telah memiliki dasar ilmu kanuragan memerlukan sepuluh
tahun, tapi pemuda ini hanya membutuhkan seratus hari saja..ahhh..kenapa
sekarang diriku menjadi khawatir…”
Membatin pertapa sapta raga,
yang tiba-tiba saja perasaan was-was menguasai relung sanubarinya..
“guru..bagaimana
perkembangan ilmu saya..”
Pertapa sapta raga tersentak
dari lamunannya, dihadapannya kini tampak berdiri sanjaya dengan menyerupai
sosok dirinya.
“kenbali ke ujud dirimu
sanjaya..” teriak pertapa sapta raga tergagap
Dengan cepat sanjaya rangkapkan
kedua tangannya kedada, disusul perubahan asli dirinya dengan segera
“ketahuilah sanjaya, aji sapta daya walaupun hebat, tentu masih
ada yang lebih hebat lagi..pergunakan ilmu itu dengan bijak, ilmu apapun bila
digunakan dengan amarah dan angkara akan menjadi keras menghancurkan orang lain
dan diri sendiri, tapi sebaliknya jika ilmu digunakan dengan penuh kasih dan
cinta, ilmu akan lembut dan menyadarkan sang pemilik serta musuh mu..apa kau
mengerti sanjaya…”
Sanjaya Cuma mengangguk
pelan sambil merangkapkan kedua tangannya didepan dada
“guru boleh saya
berpendapat…”
“silahkan sanjaya…”
“guru menurut saya, satu
ilmu tidaklah berarti tanpa adanya pembuktian..”
“apa maksudmu sanjaya..”
“maksud saya adalah….”
“GRRRRRRAAAAAKKKKK…!!!”
Pertapa sapta raga
tersentak, orang tua ini merasakan seluruh tubuhnya mendadak dingin, detik
berikutnya yang dirasa adalah kesakitan yang amat sangat….
Betapa tidak, sanjaya yang
tiba-tiba berubah menjadi macan kumbang dengan kecepatan yang sulit diikuti
pandangan mata telah menyerang dan mencabik-cabik dirinya..
“san..sanja..sanjaya..apa..yang
kau..kau..lakukannn..”
Sentak pertapa sapta raga
terbata-bata, tubuh pertapa ini terlihat sangat mengenaskan dengan puluhan luka
robek disekujur tubuhnya..
“pertapa tolol..matipun
dalam keadaan tolol…”
“murid..murid
murtad..kenapa..kenapa..wiku dharma persada, bisa mengambil mu menjadi
muridnya..”
“aku tidak mau ada yang
menandingi ilmuku..aku calon raja diraja dunia persilatan tanah jawadwipa,dan
bila perlu tanah Hindustan ini..hahaha..”
Terbahak sanjaya yang kini
telah berubah menjadi dirinya sendiri, dan dengan kejam kembali menusukan
pedang sangga buana yang kemarin dicurinya di dada pertapa sapta raga..
“terkutuk..kau
sanjaya..hidupmu akan sengsara seumur-umur, dan kaupun akan tewas dengan pedang
sanggga buana dan ajian-ajian yang kau miliki…hhhhh..”
Seiring hembusan sang bayu
dan gelegar halilintar berturut –turut, pertapa sapta raga menghembuskan
napasnya yang terakhir….
Dengan tanpa perasaan
dicabutnya pedang sangga buana dari dada pertapa sapta raga, lalu sekali
tending tubuh pertapa ini terlihat terlempar keluar goa dengan jurang menganga
siap menyambut tubuhnya.
“hahahaha..persetan dengan
kutukan mu pertapa bodoh..yang jelas akulah sekarang pendekar tanpa
tanding…hahahaha…”
Sementara diluar goa jurang
tanpa dasar semenanjung Himalaya, hujan badai turun dengan ganasnya, sambaran
kilat dan gelegar halilintar sambung menyambug, alam seakan murka dengan
tingkah polah mahluk yang ada disekitarnya.
ooooOoooo
Sampan kecil itu meluncur dengan deras
membelah sungai sugaluh kearah matahari tenggelam, dua orang muda-mudi tampak
duduk berhadapan, sang pemuda sesekali mengayuh sampan dengan dayung agar
sampan itu melaju dengan baik, sedang sang gadis sesekali mengayuhkan sampan
dengan tangannya..
“gusti putri hamba tidak
mengerti, bukankah gusti telah tewas dialun-alun bubat..”
Dara ayu ini Cuma tersenyum
simpul, dibetulkannya patrem yang terselip dirambutnya yang bergelung
“kakang sungging, kadang apa
yang kita lihat..belum tentu sesuai dengan kebenarannya..”
“yah..gusti benar..Cuma
hamba masih penasaran, ketika gusti tewas wajah gusti berubah menjadi perempuan
setengah baya..”
“pengorbanan mbok. mban
dalem, sangat besar..tapi itu mungkin sudah takdir sang maha kuasa..kita
mahluknya Cuma menunggu kersa..dan kehendaknya..”
“kita sekarang mau kemana
gusti putri..”
“kakang sungging, jangan
panggil aku gusti putri lagi..karena dyah pitaloka yang seorang putri itu telah tewas..kini aku
menjadi rakyat jelata seperti dirimu..”
“tapi apa alasannya gusti
putri…”
“kakang sungging..kadang
kita melakukan sesuatu tanpa perlu adanya alasan..sudah lama aku terkungkung
didalam kedaton padjajaran, aku bosan dengan kehidupan disana..aku ingin
bebas..merdeka..menentukan kehendak dan menjadi diri sendiri..terserah kakang
mau membawa diriku kemana..”
Dua orang muda-mudi yang
ternyata sungging prabangkara dan putri kedaton padjajaran dyah pitaloka,
sesaat diam dalam angan masing-masing, sementara lembayung senja perlahan
melingkupi alam sekitarnya, desiran angin dan kicau ungags menorehkan suasana
alam nan abstrak, tanpa keduanya sadari dari dibawah sampan yang tengah
ditumpanginya..satu sosok hitam terlihat bergayut diburitan sampan mengikuti
laju sampan yang terus meluncur membelah sungai sugaluh..
Selesai
Salam Bhumi deres mili
penulis
Segera menyusul: ANGKARAMURKA MERAJALELA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar