Mendung bergulung diatas kedaton majapahit, sehari setelah tragedy pembantaian kesatria-kesatria padjajaran dimana sang prabu pasundan lingga buana dan putrinya dyah pitaloka ikut tewas belapati demi nama baik padjajaran, siang itu prabu anom hajam wuruk tampak duduk termenung disingasananya, hati raja muda ini seakan tercabik ribuan sembilu, niatnya untuk mempersunting dyah pitaloka sebagai permaisuri pupus sudah, dihadapan prabu hajam wuruk duduk terpekur dengan kepala tertuju ke lantai sang mahapatih gadjah mada.
“paman mada, mengapa berakhir seperti ini, bagaimana tanggung jawabku pada kerabat kerajaan padjajaran..”
Sebelum menjawab, patih berusia lanjut ini tampak menarik napas panjang seakan ada batu sebesar gunung menghimpit dadanya.
“angger prabu, semua kejadian ini tanggung jawab hamba..hamba siap mendapat hukuman..”
“paman mada, bukan masalah siapa yang bersalah dan siapa yang bertanggung jawab, namun setidaknya paman sebagai mahapatih seharusnya tahu niat saya mempersunting putri padjajaran itu bukan sekedar pelengkap sahnya seorang prabu, namun untuk menyambung tali kekeluargaan antara dua kerajaan.bukankah pendiri majapahit terdahulu yakni dyah sanggrama wijaya berasal dari pasundan juga keturunan dari lembu tal yang berasal dari sunda.”
“hamba paham angger prabu, lalu apa yang harus hamba lakukan..”
“satu hal lagi paman mada, saya hargai sumpah palapa paman, namun saya harap jangan terlalu kaku dalam pelaksanaannya..”
“hamba angger prabu…”
Mahapatih gadjah mada hanya bisa rangkapkan kedua tangannya didepan kening, patih yang telah mengabdi selama tiga decade ini haya mampu mengarahkan pandanganya dilantai kedaton.
“sekarang dengar titah saya paman mada, kirim abu jenazah prabu linggabuana dan putri dyah pitaloka ke padjajaran, sampaikan permohonan maap saya pada rakyat padjajaran dan kerabat kedaton padjajaran, sampaikan pada niskala wastu kencana sebagai adik dari dyah pitaloka dan pamannnya mangkubumi bunisora suradipati..”
“sendika angger prabu, hari ini juga hamba akan mengutus telik sandi untuk berangkat ke padjajaran..”
Setelah merangkapkan kedua tagannya didepan kening, mahapatih gadjah mada langsung beringsut meninggalkan balai singgasana .
Langkah mahapatih gadjah mada ini terhenti ketika sesosok tubuh tampak berdiri sambil menundukan wajahnya ketanah rerumputan halaman istana.
“demung wira, kalau saja aku tidak mempertimbangkan jasamu, saat ini juga kepalamu menggelinding dialun-alun selatan..”
“ampunkan hamba mahapatih, semua ini salah hamba..hamba siap mendapat hukuman…”
“ssrrreeett..!!”
“dalam pemerintahan, tidak ada istilah anak buah atau bawahan yang salah, justru pemimpinlah yang harus bertanggung jawab, karena tidak becus mengurus anak buahnya, puluhan kali musuhku tewas diujung keris ini dengan sebuah alasan, namun tragedy bubat telah mengotori pamor keris ini membunuh tanpa alasan yang jelas..”
Mahapatih gadjah mada pandang lekat-lekat prajurit bawahannya yang tampak tertunduk diam, kalau menuruti amarahnya..ingin rasanya saat itu juga menikamkan bilah keris itu ke tubuh demung wira.
“dengar baik-baik demung wira, kau aku tugaskan untuk berangkat ke padjajaran, sampaikan surat dari prabu hajam wuruk pada mangkubumi bunisora, beserta abu jenazah ini, ingat apapun yang akan dilakukan mangkubumi terhadap dirimu kau harus menerimanya..bawalah kerisku ini dan serahkan pada mangkubumi bunisora..”
ooooOoooo
Kita
tinggalkan sejenak pulau jawadwipa, nun jauh diseberang lautan sana tepatnya
negri Hindustan, setelah menendang jasad rajes kedalam jurang tanpa dasar
semenanjung Himalaya, dengan sigap sanjaya lesatkan tubuhnya terjun menyusul jasad
rajes yang meluncur dengan deras kedasar jurang dan dengan enteng jejakan
kakinya diatas tubuh rajes yang terus meluncur dengan cepat, rambut gondrong
sanjaya tampak berkibar begitu melewati gumpalan kabut yang melayang mata tajam
pemuda ini sekilas melihat sebuah gua didinding jurang disebelah kanannya, maka
dengan sigap kaki kirinya jejakan sekali ke tubuh rajes dan dalam satu lompatan
pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini telah sampai didepan mulut
goa, sementara jasad malang rajes terus meluncur kedasar jurang.
“hemmm..gua ini begitu luas dan sangat indah, apakah
ini kediaman pertapa sapta raga..”
Membatin
sanjaya sambil tangan kakannya meraba gagang pedang sangga buana yang ada dipunggungnya.
Sanjaya terus
melangkahkan kakinya menyusuri relung-relung gua yang cukup besar ini,
stalagtit dan stalagmit tampak terpancang dengan kokoh, suara tetesan air
terdengar berkecipuk menyuarakan nada alam nan abstrak.
Telinga tajam pemuda
ini sesaat mendengar suara berdesir dari belakang punggungnya, dengan sigap
sanjaya lesatkan badannya keatas, jungkir balik beberapa kejap diudara dan
ketika jejakan kembali ketanah sebuah benda halus dirasakan melibat kaki terus
menjalar keatas dan dalam sekejap tubuh sanjaya telah terbungkus oleh sebuah
kain sutra ungu dengan kuatnya, pemuda dengan parut melitang dipipi kirinya ini
lantas salurkan tenaga inti disekujur tubuhnya kain sutra ungu tampak bersinar
oleh kekuatan inti dari dalam tubuh sanjaya.
“hihihihi…jurus kuntum
kilat melecut raga apa bagusnya..bagiku itu seperti mainan anak bau kencur…”
Suara lantang tapi
merdu terdengar bergema memantul didinding-dinding goa, namun sang empunya
suara tak tampak batang hidungnya.
“hai..siapapun andika,
unjukan rupamu..dan lepaskan aku dari libatan kain ini..”
Teriak sanjaya lantang,
bukannya terlepas malah kain sutra ungu yang melibat tubuh sanjaya semakin erat
detik kemudian tubuh pemuda ini terangkat dan terlempar dengan keras kedinding
goa, pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini, sekarang terlihat menempel
dengan erat dinding gua…sebelum pemuda ini kehilangan kesadarannya sekejap satu
sosok bayangan putih melesat menghampirinya, namun pemuda ini telah terbuai
kealam bawah sadarnya.
“puluhan tahun tlah
berlalu…hari ini, aku dapat menyaksikan kembali kedahsyatan jurus kuntum kilat
melecut raga, siapakah pemuda ini..apa hubungannya dengan windu kuntoro..”
Sosok perempuan
berjubah putih dengan sekuntum bunga tanjung berwarna ungu yang terselip
digelung rambutnya ini lantas kebut jubahnya beberapa kali, sebersit sinar ungu
melesat kearah pangkal leher sanjaya membuyarkan totokan pemuda ini yang masih
menempel didinding goa.
Perlahan sanjaya
membuka matanya, sesaat pemuda ini tampak takjub melihat satu sosok yang sangat
mempesona dihadapannya
“siapa kamu anak muda,
berani menyatroni kediamanku…”
“namaku sanjaya, jauh
dari tanah jawa ke Hindustan ini mau menyambangi pertapa sapta raga, apa
nyisanak mengetahuinya..”
“apa hubunganmu dengan
orang bernama windu kuntoro..”
“windu kuntoro, aku
tidak mengenalnya nyisanak..”
“lalu jurus kuntum
kilat melecut raga yang barusan kau pamerkan itu, kau dapat dari mana..”
“dari guruku
nyisanak..”
“siapa gurumu…”
“turunkan aku dulu nyisanak,
baru akan kuberitahu siapa guruku..”
“kurang ajar,
ucapanmu..disini aku yang berkuasa..katakan siapa gurumu..atau aku tinggalkan
kau agar dimakan kelelawar-kelelawar hantu penghisap darah penghuni goa ini..”
“baik..baik..nyisanak..guruku
bernama wiku dharma persada, pemimpin partai halilintar sewu..”
“sudah kuduga…”
Seberkas cahaya ungu
kembali melesat dari lengan jubah perempuan dengan kuntum bunga tanjung yang
terselip dirambutnya, membuyarkan pengaruh magnet yang membuat sanjaya menempel
didinding goa, dan dengan ringan tubuh sanjaya kembali menjejak lantai goa.
Namun alangkah kagetnya
sanjaya, begitu memandang kedepan perempuan nan anggun ini telah raib dan yang
tampak sekarang adalah satu sosok lelaki paruh baya dengan jubah hitam dan
rambut yang keseluruhannya berwarna putih keperakan..
“hah…apakah pandangan
ku yang salah..atau…” sentak sanjaya
Orang tua berjubah
hitam dengan rambut panjang keperakan ini ganda tertawa
“hahahaha…kadang, orang
hanya menilai penampilan luarnya saja…”
“siapakah..kisanak
ini…”
“anak muda, tak usah
heran..perhatikan baik-baik….”
Sosok lelaki berjubah
hitam dengan rambut keperakan ini lantas rangkapkan kedua tangannya didada,
detik berikutnya pemuda dengan parut melintang dipipi kirinya ini dibuat
terperangah ditempatnya, bagaimana tidak dalam beberapa detik sososk berjubah
hitam dengan rambut keperakan ini dapat merubah wujudnya menjadi beberapa sosok
yang berbeda, bahkan dapat merubah wujud menjadi sosok sanjaya lengkap dengan
parut melintang dipipi kirinya.
“pertapa sapta
raga..andalah yang selama ini menjadi tujuanku kemari…”
Ujar sanjaya sambil
jatuhkan lututnya ketanah..
“bangunlah anak muda,
aku tidak butuh penghormatan darimu dan dari siapapun, sesungguhnya
penghormatan yang berlebihan seperti barusan kau lakukan, hanyalah biasa
dilakukan oleh jiwa-jiwa yang sakit..dan bermental busuk…”
Dada sanjaya berdesir
manalaka orang berjubah hitam dan berambut keperakan selesai mengucapkan
kalimatnya, agaknya pemuda ini merasa tersindir.
“katakana apa
keperluanmu menemuiku, apa kau diutus oleh gurumu itu..”
“benar pertapa sapta
raga, guru menitipkan benda ini untuk diserahkan pada pertapa..”
Sanjaya lantas
angsurkan pedang mustika sangga buana pada pertapa sapta raga
“pasti ini pedang
sangga buana itu…”
Ujar pertapa sapta raga
lantas mengambil pedang yang diangsurkan sanjaya, diusapnya bilah pedang itu
beberapa kali lantas diciumnya dengan khidmat
“guru mengembalikan
benda pusaka sebagai hak pertapa…”
“sangga buana…sayang
pedang ini telah ternoda..darah-darah tak berdosa..”
Sekali lagi sanjaya
tersentak dibuatnya, karena memang selama ini pedang sangga buana telah
berlumuran darah-darah dari orang yang menghalangi tujuannya untuk menguasai
dunia rimba hijau persilatan tanah jawadwipa.
“gurumu windu kuntoro,
atau kau lebih mengenalnya dengan sebutan wiku, tentu tak segampang itu mau
menyerakan mustika batu bulan yang kini telah menjadi bilah pedang yang maha
dahsyat tentu kau mengharapkan imbalan dari ku…”
“saya..”
“kau mengharapkan apa
dari ku anak muda…”
Secara singkat dan
jelas, sanjaya menuturkan bahwa partai halilintar sewu dalam masalah besar
karena kitab pusaka milik perguruan yang berisi jurus pamungkas telah dicuri
oleh manggala atau si arit iblis..(baca
episode pertama, rajah kala cakra, pen)
“pencuri yang kecurian.
Maling yang kemalingan.”
Gumam pertapa sapta
raga sambil letakan pedang sangga buana disebuah lempengan batu pipih disebuah
dinding goa
“maap pertapa sapta
raga…”
“panggil saja diriku
lindu bergola…gelar hanya akan membuat kita lupa jati diri dan asal kita..”
“baik, bagaimana kalau
saya panggil paman guru..”
“terserah kau saja anak
muda…”
“bagaimanapun juga
paman guru merupakan saudara seperguruan dari wiku dharmapersada, walau tega
semasa hidup apakah tega juga disaat menjelang ajal…”
Pertapa sapta raga atau
lindu bergola tercenung sesaat, walau wiku dharma persada pernah mencurangi
dirinya, bagaimanapun ikatan saudara perguruan tetaplah ada ini kali ucapan
sanjaya telak menghujam sanubari orang tua berjubah hitam ini.
“baiklah sanjaya kau
kuangkat menjadi muridku…”
Sanjaya kembali
menjatuhkan lututnya ke tanah, kali ini pertapa sapta raga hanya membiarkannya
saja.
Sang bagaskara perlahan bergulir kearah
barat, semilir angin berhembus menuruni lereng sebuah bukit merontokan
daun-daun kering waringin putih, dari arah selatan beberapa sosok bayangan
hitam tampak melesat menaiki sebuah bukit, dipertengahan lereng bukit
bayangan-bayangan hitam ini hentikan larinya, didepan sana meremang sebuah
bangunan berbentuk kubus yang kesemuanya terbuat dari batu andesit.
“tunggara, apa kau
yakin ini tempatnya…”
“sudah dapat dipastikan
manggala, menurut penyelidikan anak buahku..tempat inilah yang disebut kuburan
mustika milik wiku dharma persada..”
“baiklah siagakan
laskar kita, mungkin wiku gadungan itu kini berada didalamnya setelah partainya
kita bumi hanguskan kemarin…warok sampar kombayoni apa laskarmu juga sudah
siap..”
“tak usah meragukan
laskar dari alas roban manggala..”
Sentak orang tinggi
besar bercambang bawuk sambil membolang balingkan tombak pendek bermata trisula
miliknya.
Warok sampar kombayoni
merupakan pemimpin partai rampok alas roban, dan terpaksa bergabung dengan
manggala karena partainya ditundukan oleh manggala yang kini menjadi raja
diraja pemimpin partai rampok yang disegani dengan cara menundukan para
pemimpin-pemimpin rampok diantero jawa bagian timur sampai tengah dan barat
dengan jurus kuntum kilat melecut raga tingkat akhir yang dipelajari manggala
melalui kitab mustika yang dicurinya dari wiku dharma persada ketika manggala
menjadi murid wiku dharma persada.
(baca, episode awal. Rajah kala cakra, pen)
“sangaran..apa bekas
anak buah partai halilintar sewu yang tersisa sudah kau bereskan..”
“sudah tuan manggala,
anak buah ku telah mengurusnya..yang menyerah kita paksa bergabung dipartai
tuan manggala dan yang membangkang kami tuntaskan diujung rantai maut kami..”
“bagus..sangaran..baiklah,
mari kita mulai…”
Diawali suitan-suitan
panjang dan keras, puluhan bayangan hitam dari berbagai penjuru tampak berlompatan
dan dalam sekejap telah mengurung bangunan berbentuk kubus yang keseluruhannya
terbuat dari batu andesit.
“wiku dharma
persada..keluar kau..dari tempat perembunyian mu…”
Teriak manggala keras
sampai menggetarkan pohon-pohon waringin putih hingga sebagian daunnya luruh
berhamburan.
Belum kering gema suara
manggala dari tenggorokannya, bangunan kubus batu andesit tampak melesak
kedalam tanah disusul sekelebatan bayangan putih, tak lama satu sosok lelaki
pelontos berselempang kain putih dengan bulatan enam dikepalanya, kini tampak
berdiri tiga langkah dihadapan manggala si arit iblis.
“akhirnya kau keluar
juga wiku…kau masih ingat aku…”
“murid murtad, apa yang
telah kau lakukan dengan partai halilitar sewu..”
“hahahah..pemimpin
macam apa kau, partainya porak-poranda, malah kongkow-kongkow disni, mana itu
sanjaya murid kesayangan mu itu, gara-gara anak tengik itu aku kehilangan
tangan kananku ini..”
Sentak manggala sambil
megacungkan tangan kanannya yang kini telah disambung oleh semacam logam dengan
ujung arit berwarna merah.
“kelak sanjaya akan
mencari dan membunuhmu..manggala..”
“ooohhh
begitu..hahaha..bagaimana seandainya sanjaya tahu kalau sebenarnya dirimu dulu
akan membunuhnya..”
“jaga ucapanmu
manggala, kembalikan kitab mustika halilintar sewu..”
“baiklah..ini aku
kembalikan beserta nyawamu..”
Selesai berkata seperti
itu tubuh manggala tampak melesat keatas jungkir balik beberapa kali diudara
dan kebutkan lengannya yang seketika bermunculan puluhan bayangan arit berwarna
merah menghujam wiku dharma persada.
“BBBUUUUUUMMMM…!!!!!”
Dentuman memekakan
telinga menggelegar ditempat itu, tapi dengan gesit wiku dharma persada telah
beralih tempat diatas sebuah pohon kiara
“apa pemimpin partai
halilitar sewu bisanya Cuma berloncatan saja diatas pohon seperti seekor
ketek..hahahah…”
Sekali lagi manggala
kebutkan lengan kananya kecabang pohon dimana wiku dharma persada berada…
“BBBHHHUUUMMM…!!!!”
Kembali terdengar
dentuman yang keras disusul hancurnya pohon kiara menjadi bubuk berwrna merah,
namun ini kali wiku dharma persada telah berada satu jengkal disamping manggala
dan dengan cepat sarangkan tendangan berantai nya..
Manggala tersentak,
namun tendangan kilat yang dilancarkan wiku dharma persada telak menghujam
lambungnya, manggala tampak terhuyung melihat lawannya lengah dengan cepat wiku
dharma persada kembali lancarkan serangannya, namun kini dihadapannya telah
menghadang sosok tinggi besar dengan tombak pendek dengan ujung trisula.
“hahaha..hebat juga kau
wiku, tapi sekarang aku lawanmu..”
“warok sampar
kombayoni…”
“kau masih mengenalku,
hari ini aku menagih dendam duapuluh tahun yang lalu, ketika dulu kau
mengalahkan ku…”
“kau juga
penghianat..warok sampar… menyesal dulu aku mengampuni mu” sentak wiku dharma
persada
“hahah…kau sudah
waktunya rehat wiku..sah-sah saja kan aku mau berserikat dengan siapa..”
“kau juga..sangaran…”
sentak wiku dharma persada geram
“hahaha…kasihan kau
wiku, diakhir kejayaan orang-orang dekatmu sendiri yang menghianati dan
sekaligus membunuhmu…ayooo..kawan-kawan..kita bereskan orang itu…”
Sentak manggala yang
kini tampak bersandar dibatang pohon angsana.
Serentak puluhan orang
berpakaian hitam yang sedari tadi mengurung tempat tersebut melesat kearah wiku
dharma persada, pertarungan yang tak seimbangpun pecah..
kita tinggalkan
sejenak, wiku dharma persada yang tengah dikeroyok bekas anak buahnya
Ditempat lain, demung wira yang tengah
diutus oleh mahapatih gadjah mada untuk menyampaikan abu kremasi prabu lingga
buana dan putri dyah pitaloka serta surat dari prabu anom raja sanegara hajam
wuruk telah sampai dipadjajaran dan diterima di balerung oleh sang mangkubumi
bunisora suradipati.
Selesai membaca surat
permohonan maap dari prabu hajam wuruk, mangkubumi bunisora suradipati tampak
menarik nafaspanjang dan berat.
“seharusnya yang
menerima abu kremasi ini adalah anggalarang atau niskala wastu kencana sebagai
anak dari sang prabu linggabuana, tapi karena beliau sedang menjalankan lelaku
sebagai calon pengganti raja yang telah mangkat, maka saya selaku pamannya yang
bertanggung jawab mengurus istana padjajaran..”
“ampun gusti
mangkubumi, mahapatih gadjah mada memberikan kerisnya pada paduka..niskalawastu
kencana…”
Ujar demung wira sambil
mengangsurkan keris milik mahapatih gadjah mada yang langsung diterima oleh
mangkubumi bunisora.
“oohh..jadi ini, keris
yang menggemparkan nuswantara dengan sumpah palapanya itu, baiklah
perwira..surat telah kami terima, biarlah anggalarang sendiri yang akan memutuskannya..”
“kalau begitu saya
pamit kembali ke majapahit..”
“silahkan perwira..”
Sepeninggal demung
wira, dari balik dinding kedaton, satu sosok pemuda tegap berparas cakap Cuma
diam sambil mengepalkan kedua tangannya, sososk ini tak lain dari angga larang
atau niskala wastu kencana calon pengganti prabu lingga buana.
Selesai
Segera menyusul :
KUTUKAN SANG PENDEKAR
Salam Bhumi deres mili
penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar