Bukit pualam biru meremang dalam kabut
dini hari, semilir angin tenggara meliuk meningalkan gemerisik berkepanjangan
manakala menerpa beberapa daun pohon siwalan yang banyak tumbuh berderet
melingkari sebuah pedataran luas di lamping bukit pualam biru, sosok renta
Mpu.Palwa tampak duduk bersila di atas sebuah lempengan batu pipih, semalaman Mpu pembuat berbagai senjata mustika ini terpekur
besemadi mengheningkan cipta, rasa, karsa dan raganya dalam sentuhan akhir
penyempurnaan sebuah senjata mustika pesanan orang penting dari kedaton
Wilwatikta, di pangkuan Mpu. Palwa terlihat bilah sebuah pedang tipis berwarna
perak kebiruan berpendar menyelimuti badan pedang, bilamana semilir angin
berhembus terdengar desingan halus dari badan bilah mustika itu.
“duh Gusti yang maha
Agung..terimakasih, atas kehendak MU, bilah pusaka ini dapat saya rampungkan..”
Gumam Mpu. Palwa sambil usap
bilah pedang mustika itu dengan pelan kemudian secara perlahan dan penuh
perasaan ditempelkannya bilah pedang mustika itu di kening nya, bersamaan
dengan itu dari dalam pondok beratapkan sirap satu sosok pemuda dengan rambut
di gelung di atas kepala muncul sambil membawa warangka dari kayu pohon
siwalan.
“Mpu, warangka untuk pedang
itu sudah saya selesaikan…”
gumam pemuda dengan rambut
di gelung keatas, mpu. Palwa lantas angsurkan kedua telapak tanganya menyambut
warangka yang di sodorkan sang pemuda.
“terimakasih
Mangkurat..pedang pesanan kiageng Wanabaya ini bernama Sanggabuana…”
Kata Mpu. Palwa sambil perlahan
memasukan bilah pedang mustika itu dalam warangkanya, kembali desingan halus
terdengar manakala bilah pedang menyentuh bibir warangka.
“Sanggabuana, maknanya apa
itu Mpu…” sela Mangkurat.
“Sangga artinya menjaga
melindungi dan mengayomi, sementara Buana adalah alam semesta beserta isinya,
pilosofinya siapapun yang memiliki pedang mustika ini di harapkan dapat membawa
kemaslahatan bagi orang banyak dan menjaga keseimbangan tatanan alam semesta..”
gumam Mpu. Palwa sambil
memeluk bilah mustika itu dalam dekapan nya.
“mangkurat, bilah mustika
Sanggabuana ini seyogyanya akan di hadiahkan kiageng Wanabaya pada Gusti Prabu
Hayam Wuruk, semoga dengan memiliki bilah mustika ini beliau dapat menjadi
seorang raja yang selalu melindungi, mengayomi dan mengopeni rakyatnya dengan
penuh welas asih..”
“maap Mpu, bolehkah saya
memegang pedang mustika itu..” sela mangkurat
Mpu. Palwa hanya tersenyum,
perlahan diangsurkannya bilah mustika Sanggabuana yang langsung di terima oleh
Mangkurat.
“Mpu.apa keistimewaan
mustika Sanggabuana ini..”
“Mangkurat..dengar,
sejatinya di dunia ini setiap benda baik benda hidup atau mati tidak memiliki
keistimewaan apapun, hanya dengan izin sang Maha kuasalah keistimewaan itu
terwujud…”
“jadi buat apa Mpu selama
itu menempa lempengan batu bulan ini hingga berwujud bilah pedang kalau tidak
ada keistimewaan..”
“anak muda, semua benda
pusaka dan mustika sejatinya tiada daya dan guna, hanya wadah yang telah
ditempa yang mampu mencipta apakah sebuah senjata bisa membawa berkah atau
petaka.. paham yang aku maksud mangkurat..”
“saya belum memahami
sepenuhnya akan hal itu Mpu..”
“kelak kau akan menemukan
jawabannya Mangkurat..”
“baiklah Mpu, apa saya sudah
bisa membawa pedang ini..”
“tunggulah sampai matahari
tepat di ubun-ubun mangkurat, karena aku belum mengisi khodamnya..”
“terlalu lama Mpu, menurut
saya sebuah senjata mustika akan berarti bila sudah di butikan..”
“maksud kamu
apa..mangkurat..”
“maksud saya adalah ini….”
“brreeesssss…!!”
Mpu Palwa terpana dalam
kebisuan, matanya nyalang memandang orang di hadapannya, dirasakannya tubuhnya
dingin membeku, bibirnya tampak bergetar namun tak ada satu patah katapun yang
terlontar dari mulut Mpu uzur ini.
darah terlihat menyembur
membasahi jubah putihnya manakala dengan tanpa perasaan Mangkuat anak muda yang
selama sepekan membantunya merampungkan bilah mustika Sanggabuana menusukkan
lebih dalam bilah pedang mustika itu sampai tembus ke punggung kirinya.
“heeekkk…!!”
hanya erangan halus yang
terdengar dari bibir Mpu. Palwa manakala Mangkurat dengan cepat mencabut bilah
pedang itu dari tubuh Mpu. Palwa lalu menendang nya.
“Mpu Bodoh..agar arwahmu
tidak penasaran..lihat siapa aku sebenarnya…” sentak pemuda ini sambil perlahan
melepas topeng tipis dari wajahnya, mpu palwa yang tengah sekarat hanya sempat
memandang sebentar orang yang selama ini di kenalnya sebagai utusan dari
kiageng. Wanabaya itu, sosok angkuh terlihat disana dengan guratan bekas luka
melintang panjang di pipi sebelah kirinya, dan dengan cepat lesatkan tubuhnya
kearah barat sambil menjinjing bilah mustika pedang sangga buana ditangan
kananya.
bersamaan dengan lenyapnya
sosok pemuda ganas tadi, dari balik bukit karang terjal melesat satu sosok lain
yang anehnya baik pakaian, rambut dan perawakannya mirip dengan pemuda yang
barusan pergi setelah membunuh dengan kejam Mpu. Palwa dengan pedang ciptaannya
sendiri.
“Mpu.Palwa apa yang
terjadi…”
sentak sosok pemuda yang
barusan datang, perlahan kelopak mata Mpu. Palwa membuka dan sangat terkejut
dengan apa yang dilihatnya..
“kau..kau..” ujar Mpu. Palwa
terbata-bata..
“saya Mangkurat Mpu, utusan
kiageng Wanabaya..”
“pedang itu..pedang itu..”
……………………………………………
kelopak mata Mpu. Palwa perlahan meredup, napasnya
terlihat tersengal-sengal dan ketika butiran-butiran air dari langit mulai
membasuh bumi, roh mpu palwa meninggalkan zasadnya.
Setelah selesai mengurus zasad Mpu.Palwa
dalam guyuran hujan yang semakin deras menyiram bumi pemuda yang memang benar
bernama Mangkurat salah satu telik sandi yudha Majapahit utusan kiageng.
Wanabaya ini menancapkan warangka dari pedang Sanggabuana yang ditemukannya
tergeletak di tanah basah di lempeng batu tempat abu dari zasad Mpu. Palwa
disimpan.
“kemana saya harus mencari
sang durat mata itu, sebelum Mpu. Palwa menghembuskan napas terakhirnya beliau
sempat mengucapkan satu kata..kalau tidak salah Rajah..kala..rajah kala
cakra…yah..durjana itu memiliki rajah kala cakra di dadanya..jadi siapapun yang
memiliki rajah kala cakra di dadanya dialah sang durat mata itu…”
Mangkurat lantas berdiri
dari duduknya, pemuda dengan rambut di gelung keatas ini lantas jejakkan
kakinya ke tanah yang dalam sekejap sosoknya kini terlihat jauh meninggalkan
kaki bukit pualam biru dalam hujan badai yang seakan mengguncang mayapada.
ooooOoooo
selanjutnya: Pinangan
Berdarah
mohon maaf untuk link ini sudah terhapus tanpa sengaja..mohon dimaklumi..
BalasHapus