KONTAK SAYA

Email Twitter Facebook

TELUSURI

GALERI FOTO

Kategori Arsip Daftar Isi

MULAI DARI SINI

Pelayanan Portfolio Pembayaran

Sabtu, 10 September 2011

BALADA CINTA DYAH CITRARESMI PITALOKA


     Embun bergantung diujung daun disaat sang surya memancarkan sinarnya, hembusan angin timur meliuk disela rumpun melati, titik embun itu tampak bergulir menetes kearah telaga mengguratkan pesona alam nan abstrak dipermukaan kolam berair jernih.
Tatapan mata bening itu terus menerawang seakan menembus ruang dan waktu yang tak terbatas,  perlahan desahanya terdengar berat disela gemuruhnya pancuran air ditengah telaga.
“gusti ayu, tidak baik seorang putri agung terlena dalam hayalan..”
Suara berat emban pengasuh membuyarkan lamunan dara ayu yang masih menatap kosong ketengah telaga.
Pemilik mata bening itu adalah Dyah citraresmi pitaloka, putri dari sang maharaja agung pasundan prabu. Lingga buana, seorang raja yang bertahta di tatar sunda  penguasa keraton pakuan padjajaran.
“mbok mban, salahkan jika seorang putri raja jatuh cinta..”
Gumam dara ayu ini lirih
“tentu tidak gusti ayu, rasa cinta dan tertarik dengan seseorang adalah hal yang wajar dan alami karena setiap insan ditakdirkan berpasangan oleh sang maha pemilik hidup, kalau boleh tahu..gusti ayu sedang jatuh cinta pada siapa..”
Dara ayu berkulit kuning langsat ini sesaat arahkan pandangannya kearah selatan dimana puncak sebuah gunung tersaput kabut dipagi hari
“dilereng gunung salak itu pertama kali kami bertemu, gagah, tampan, dan tatapan matanya begitu menyejukan kalbu..”
“siapa pemuda itu gusti ayu, pangeran dari kerajaan mana..” ujar mban pengasuh ini antusias
“namanya Sungging prabangkara..dan dia berjanji akan melamar saya mbok..”
“gusti ayu sudah dewasa..sudah pantas berkeluarga..”
“tapi…”
 raut wajah dara ayu ini kembali muram..
“ada apa gusti…”
“saya tidak tahu dimana dia tinggal, dan siapa dia sebenarnya..”
“maksud gusti ayu..”
“saya bertemu dia dialam mimpi..mbok..”
Gumam dyah pitaloka tertunduk lesu, membuat wanita pengasuh ini tercenung sesaat
“tapi saya terlanjur mencintainya mbok..saya lebih baik mati bila tidak bertemu dengan dia..”
Sentak dara ayu ini sambil berlalu meninggalkan mban pegasuhnya yang tampak bengong ditempatnya.

ooooOoooo




     Hampir tiga hari lamanya dyah pitaloka mengurung diri didalam kamar peraduanya, makanan dan minuman yang disediakan mban pengasuhnya tak disentuh sedikitpun, dan kegiatan sehari-hari putri raja pakuan padjajaran ini Cuma melamun dan melamun, kadang bergumam tak jelas kadang tersenyum sendiri bahkan disaat bersamaan menangis terisak-isak, awalnya mban pengasuhnya menganggap wajar dan biasa namun setelah memasuki hari ketujuh akhirnya mban pengasuh ini melaporkan kondisi dyah pitaloka pada ayah dan bundanya.
“mbok mban..apa kamu tidak salah ngomong atau kami yang salah dengar..”
Ujar permaisuri, bilamana mban pengasuh selesai  bercerita ihwal sikap dyah pitaloka yang mulai tidak wajar.
“hamba tidak berani mengada-ngada den ayu permaisuri..”
Permaisuri pakuan padjajaran ini Cuma beradu pandang dengan prabu lingga buana  yang juga tampak termenung disinggasananya.
“kakang prabu..bagaimana ini..bagaimana dyah pitaloka putri  kita..”
“walau hanya mimpi, kita tidak boleh meremehkannya karena mimpi adalah pertanda tak langsung dari sang maha pencipta..”
Ujar prabu lingga buana sambil mengelus janggut pitihnya
“lalu apa tindakan kita kakang prabu..” ujar permaisuri
“mban..coba kamu panggil mangku bumi sang bunisora.kemari.”
Mbok mban ini tampak rangkapkan kedua telapak tangannya dikening lalu beringsut keluar meningalkan prabu lingga buana dan permaisuri yang masih termenung disinggasananya, tak lama seorang pemuda gagah tampak melangkah dihadapan penguasa tatar pasundan ini.
“adik mangku bumi, ikut aku kesuatu tempat ada sesuatu yang ingin aku bicarakan..”
“baik kakang prabu..”
Pemuda gagah ini kemudian melangkah mengikuti prabu lingga buana yang terlebih dulu berlalu dari balai rung singgasana pakuan padjajaran.

ooooOoooo

     Halimun tampak melayang tipis diudara memaksa sekumpulan kelelawar yang bertengger diranting pohon tembesi mengepakan sayapnya disaat dua sosok bayangan dengan ringan jejakan kedua kakinya disalah satu pedataran puncak pegunungan salak, kedua bayangan ini kemudian lesatkan kembali tubuh masing-masing dan dihadapan sebuah gua terlindung gemuruh air terjun keduanya hentikan langkah, didepan sana dibawah guyuran air diatas batu pipih satu sosok pemuda belia tengah bersemadi, mengheningkan cipta, rasa, asa dan karsanya  pada sang maha tunggal, karena tidak mau mengusik kekhusukan semadi orang, kedua sosok bayangan ini sama-sama duduk bersila ditepian sungai berair terjun.

     Waktu bergulir dengan cepat, lima hari lamanya sosok yang tengah semadi dibawah guyuran air terjun belum menandakan untuk mengakhiri semadinya, begitupun dengan kedua sosok tubuh yang yang bersila dipinggir sungai masih tenggelam dalam keheningan alam nan asri disekitarnya.

Memasuki hari ketujuh, pemuda belia yang tengah semadi dibawah guyuran air terjun perlahan buka kedua kelopak matanya dan pandangannya langsung tertuju pada kedua sosok tubuh yang tampak masih bersila ditepi sungai, dengan sekali hentakan kaki pemuda belia  bertampang gagah ini telah berdiri diantara dua sosok yang masih duduk diam membisu dalam semadi.
 “ayahanda prabu dan pamanda mangku bumi..maapkan saya tidak menyambut dengan layak..”
Gumam sang pemuda sambil rangkapkan kedua telapak tangannya didepan dada, perlahan kedua sosok yang masih diam bak patung pualam ini buka kedua matanya masing-masing.
“ananda wastu kencana, apa sunyi raga mu telah usai..”
Ujar lelaki gagah berjanggut putih yang tak lain dari prabu lingga buana bersama adiknya mangkubumi  sang bunisora suradipati.
“gerangan apa ayahanda prabu dan pamanda mangku bumi menyambangi hamba..”
“ananda wastu kencana sesuatu tengah terjadi dengan kakakmu dyah pitaloka..”
“maap ayahanda apakah itu..”
Perlahan sang prabu lingga buana menceritakan ihwal dyah pitaloka yang  bertingkah tidak wajar dalam beberapa minggu ini.
“sulit dipahami dengan nalar..” gumam wastu kencana begitu ayahhandanya prabu lingga buana selesai bercerita.
“paman juga bingung dengan tingkah kakandamu  wastu kencana..”
“paman mangku bumi..mana mungkin kakang mbok mencintai seseorang yang ada dalam mimpinya..mustahil..”
“tapi itu yang tengah terjadi dengan kakakmu ananda wastu kencana..” ujar mangku bumi sang bunisora.
“lalu apa yang harus hamba lakukan ramanda prabu..”
“cari pemuda bernama sungging prabangkara kepeloksok negri..”
“seperti apa cirri pemuda itu ramanda prabu..”
“menurut petunjuk yang kami dapat dalam semadi beberapa hari ini, didada pemuda yang bernama sungging prabangkara terdapat guratan rajah kala cakra..”
“baik ayahanda prabu dan pamanda mangku bumi, hari ini juga ananda akan turun gunung..”
“doa kami selalu menyetaimu ananda wastu kencana..”
Pemuda gagah yang kelak menurunkan trah raja-raja agung ditatar sunda ini rangkapkan kedua tengannya didada dan dalam satu kejapan saja sosoknya telah berada ribuan langkah dilamping bukit dikaki gunung salak.

ooooOoooo



     Dalam episode awal “Rajah Kala Cakra” dikisahkan dimana sang prabu Hajam wuruk raja majapahit tengah mengadakan sayambara dengan melibatkan puluhan pelukis diseantero majapahit dalam mencari permaisurinya dengan menitahkan melukis seorang putri dari kerajaan mana saja dan jika lukisan dari salah saatu pelukis ini dapat berkenan dihati prabu hajam wuruk serta dapat mempersunting sebagai permaiasuri, seratus kepeng emas dipastikan sebagai hadiahnya .

Woro-woro atau sayambara ini dengan cepat menyebar keseantero majapahit bahkan sampai kenegeri-negeri jauh,  tak terkecuali  puncak gunung semeru dimana seorang pemuda gagah berikat kepala hitam tengah asik menggurat-guratkan kuas diatas sebuah kanvas.

Angin semilir begitu sejuknya, gemerisik daun-daun bamboo  serta kicauan merdu burung membuat berat kedua kelopak mata pemuda yang tengah melukis ini, sesaat pemuda ini hentikan  goresan kuas diatas kanvas, renggangkan kedua tangannya tinggi keudara, detik berikutnya dengkuran halus terdengar dari sosok yang kini terbaring dibawah sebuah pohon nan rindang.

Entah berapa lama pemuda ini tertidur, begitu terbangun dengan segera diambilnya kembali kuas yang tercampak ditanah dan dengan semangat kembali menorehkan kuasnya diatas kanvas.
Tak dihiraukan alam disekitarnya sampai-sampai kehadiran satu sosok bercaping bamboo dibelakang luput dari perhatiannya, dengan semangat pemuda ini terus melukis.
“apa yang tengah sungging lukis kali ini..”
Gumam sosok bercaping bamboo tapi sosoknya kembali berkelebat dengan cepat kearah gundukan bukit karang, hembusan angin semakin kencang menerpa tubuh pemuda ini, namun tetap menggoreskan kuasnya dengan semangat

Mendadak tubuh sungging prabangkara yang tengah serius melukis melesat keatas jungkir balik beberapa kali diudara, begitu lambaikan telapak tangan kanannya puluhan bayangan berupa kuas-kuas kecil tampak berhamburan menyelubungi diseluruh tubuhnya.
“tring..tring..tring..!!”
Dentingan senjata beradu terdengar memekakan telinga ketika bias-bias sinar keperakan membeset kearah tubuh pemuda ini disaat yang sama satu sosok bercaping bamboo telah berdiri tiga langkah dihadapannya.
“guru mau membunuh saya..”
Ujar sungging prabangkara ketika dengan ringan jejakan kakinya kembali ketanah, sedang puluhan bayangan kuas yang menyelubungi dirinya raib masuk kembali kedalam telapak tangan kanannya.
“sungging apa yang kau lukis kali ini..”
Ujar sosok bercaping bamboo sambil sandarkan badannya disebuah pokok pohon randu pugur
“hem lain yang ditanya, lain pula jawabannya..”gumam pemuda ini bersungut-sungut
“sungging duduklah ada sesuatu yang ingin aku sampaikan..”
Ujar  sosok bercaping bamboo yang tak memperdulikan suasana hati pemuda ini
“silahkan guru..”
“sudah berapa tahun kamu berada disini..”
“kalau tidak salah  sepuluh tahun guru..”
“tepatnya tujuh belas tahun sungging..” ujar sosok bercaping bamboo
“maap kenapa guru menanyakan hal itu..setahu saya Cuma guru yang terus bersama saya ketika masih kanak-kanak..”
“ketahuilah sungging, selain bopomu yang telah tewas ditangan manggala si arit iblis, dirimu memiliki saudara kembar..”
“maksud guru..saya masih memiliki saudara..”
“benar, tujuh belas tahun yang lalu ketika bopomu akan membawa dirimu dan saudara kembarmu kemari dihadang oleh wiku dharma persada, aku hanya sempat menyelamatkan dirimu namun saudara kembarmu berhasil dibawa lari manggala si arit iblis setelah terlebih dahulu membunuh srengenge bopomu..”
“siapa wiku dharma persada itu guru..”
“pemimpin partai halilintar sewu..sebenarnya dia juga memburu dirimu untuk dibunuh..”
“aneh..apa alasan wiku itu mau membunuh saya..”
“sungging coba kau buka bajumu..”
“maksud guru..”
“jangan banyak berpikir dan bertanya, lakukan saja..”
Sambil garuk-garuk rambutnya yang gondrong, akhirnya pemuda ini lepas baju hitamnya
“kau perhatikan dadamu..”
“gambar ini telah ada ketika saya masih kecil guru..”
“rajah kala cakra, dengan alasan itu, wiku dharma persada tega membunuh puluhan bahkan ratusan anak-anak kembar yang lahir pada masa itu karena dia beranggapan kelak anak-anak kembar yang memiliki rajah kala cakra akan menggusur kekuasaannya sebagai pemimpin partai sekaligius dapat membuunuh dirinya..”
“berarti saudara kembar saya dalam bahaya..”
“dia harus membunuh anak kembar yang berajah sepertimu secara bersamaan, namun karena dia Cuma mendapatkan saudaramu saja, maka dia tidak bisa membunuh saudaramu..”
“jadi saudara kembar saya memiliki rajah yang sama dengan saya guru..”
“tepat dan mungkin sekarang saudaramu berada dipartai halilintar sewu, tapi sekarang saudaramu itu menjadi pendekar yang angkara, dengan menaklukan beberapa partai, ini tugasmu untuk menyadarkan saudaramu..”
“baiklah guru, saya akan ke partai halilintar sewu..”
“ada satu hal lagi yang patut kau ketahui sungging..”
“hal apa itu guru..”
“biyungmu, yang bernama welas masih hidup, pulanglah keperdikan welangun dikaki gunung arjuna..”
“biung saya masih hidup guru..”
“benar, nah berangkatlah sekarang juga..doa ku selalu menyertai langkah mu sungging..”
“baik guru..eh..tapi sebelum berangkat ada sesuatu yang ingin saya tanyakan..”
“kau ingin mengetahui siapa diriku kan..”
“belasan tahun guru hampir tidak melepas caping bamboo , sebelum saya pamit izinkanlah sekali saja saya dapat melihat wajah guru..”
“kelak kau akan mengetahuinya..sungging..pergilah..”
Pemuda ini Cuma tersenyum, dia sudah tahu..pasti jawaban itu yang akan diperolehnya, dan setelah rangkapkan kedua tangannya didada pemuda gagah berbaju hitam dengan ikat kepala berwarna yang sama lesatkan badannya menuruni lereng pegunnungan semeru yang dalam sekejap sosoknya hilang dibalik rimbunan pepohonan..”
“ahh..akhirany lega hati ini, rahasia selama belasan tahun terungkap juga..”
Gumam lelaki bercaping bamboo ini, lantas buka capingnya dan sandarkan badanya disebuah pohon.
“belasan tahun menutupi wajah dengan caping ini capek juga..” gumam lelaki ini letakkan caping bamboonya ditanah
“guuruuu..terimakasih..saya sudah dapat melihat wajah guru…”
Lelaki bercaping ini tersentak lantas sambar caping bamboonya, diarahkannya pandangannya kesesantro lembah, namun hanya kesunyian yang menggantung.
“ah..dasar anak nakal..” gumam lelaki ini lantas rebahkan badannya dibawah pohon.

ooooOoooo


Salam Bhumi Deres mili
Penulis

Segera terbit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lisensi

Lisensi Creative Commons
BHUMI DERES MILI by BHUMI DERES MILI is licensed under a Creative Commons Atribusi 3.0 Unported License.
Berdasarkan karya di KANG KUSYOTO, KYT.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http//:www.bhumideresmili.blogspot.com.

Total Tayangan Halaman

About

Pages

Download

Powered By Blogger

Search Box

Popular Posts

Followers