Sosok agung penuh wibawa ini tampak tersenyum
penuh welas asih. Pandangan matanya begitu teduh menyejukan kalbu manakala menatap
sosok pemuda berbaju putih bercelana hitam ringkas dengan buntalan butut warna
hitam di punggung kanannya yang tampak duduk bersila di atas rerumputan.
“Ananda Anggalarang. Bara dendam hanya akan
membuat hidup kita berada dalam lingkaran yang menyesatkan. Membutakan mata
hati dan pikiran. Menyesakan dada serta menumpulkan hati nurani yang
mengakibatkan martabat sebagai manusia menjadi rendah bagai binatang”.
“Tapi ayahanda prabu. Gajah Mada telah
merendahkan martabat kesatria-kesatria Padjajaran. Menginjak-injak harga diri
kerabat kedaton. Membunuh orang-orang tak berdosa tanpa alasan yang jelas.
Apakah saya sebagai generasi trah Padjajara hanya berdiam diri saja tanpa
melakukan apapun untuk mengembalikan wibawa Padjajaran..” ujar Anggalarang
lantang namun pandangan dari pemuda gagah ini tetap santun.
“Ananda Anggalarang. Kadang apa yang ananda
lihat, dengar dan rasakan belum tentu seperti kenyataannya..”
“Maksud ayahanda prabu..”
“Ananda masih ingat yang di katakana mbok mban
Dalem..”
Sesaat Anggalarang kerutkan keningnya. Mencoba
mengulas kembali pertemuannya dengan mban pengasuhnya ini.
“Saya ingat ayahanda prabu. Lalu apa yang harus
hamba lakukan..”
“Ananda Anggalarang. Ayahanda tidak bermaksud
menghalang-halangi tujuan ananda menantang duel dengan Mahapatih Wilwatikta
itu. Namun ayahanda juga tidak melarang ananda mengembalikan kewibawaan
Padjajaran..”
“Saya mengerti ayahanda prabu..” ujar Anggalarang
pelan.
“Ananda Anggalarang. Ada baiknya sebelum ananda
melaksanakan apa yang menjadi tekad dan tujuan. Ananda menyambangi perdikan
Welangun di kaki sebelah tenggara pegunungan Arjuna..”
“Saya juga mempunyai pemikiran seperti itu
ayahanda prabu..”
“Nah ananda Anggalarang. Ayahanda pamit..”
“Ayahanda mau kemana..Ayahanda
tunggu..Ayahanda..Lingga Buana..Ayahanda..Ayahanda..”