Salah seorang dengan rambut galing bergelombang, tampak berbisik pada kawannya yang memakai jubah berwarna kuning.
“Kakang empu, siapa sebenarnya orang-orang bercadar hitam
itu?, ganas dan tak kenal ampun menghabisi lawan-lawannya…”
“Adik Jantra Bolang, kalau tidak
salah duga mereka berasal dari partai Galunggung...”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan kakang empu
Danurwenda...?”
“Kita tetap menunggu kemunculan
ksatriya yang akan mengambil bilah Sanggabuana dari dalam kawah...” tandas
sosok berjubah kuning sambil matanya terus mengawasi sekelilingnya.
“Terus, bagaimana dengan orang-orang dari rimba hijau
persilatan yang mempunyai tujuan sama. Mengambil bilah sanggabuana dari dasar
kepunden...?”
“Ingat yang di katakana guru
kita Sifu Zen, hanya ksatriya terpilihlah yang mampu mengangkat bilah Sanggabuana
dari dasar kepunden. Dan tugas kita adalah melindungi ksatriya itu...” ujar
sosok berjubah kuning datar.
“kakang empu lihat…!!” ujar
sosok berambut galing bergelombang sambil mengarahkan telunjuk kanannya ke arah
tenggara.
Dari
arah tenggara, terpaut lima ratus tombak dari semenanjung kawah Sanggabuana.
Satu bayangan ramping melesat dengan sebat menuju arah kepunden, gerakan sosok
yang baru datang itu begitu cepat. Meniti terjalnya bebatuan karang layaknya
seekor tupai, meloncat dari gundukan karang yang runcing ke karang yang runcing
lainnya nyaris tidak menimbulkan suara.
Detik berikutnya, sosok yang ternyata seorang dara berbaju hitam
ringkas dengan bunga kantil terselip di antara rambutnya yang di gelung di atas
kepalanya ini terlihat berdiri tiga ratus tombak di hadapan kepunden Gunung Sanggabuana.
Salah satu sosok berjubah kuning, yang berada di atas dahan randu alas terlihat
kaget manakala memandang paras dari sang dara yang baru datang tersebut.
“Ada apa kakang empu, apa kakang
empu Danurwenda mengenal gadis itu...?” kata sosok lelaki gagah berambut galing
bergelombang sambil berbisik.
“Larasati…” gumam orang yang di
panggil empu Danurwenda bergetar.
“Larasati…, siapa dia kakang empu…?”
“Dia dulu kekasih saya, waktu
saya menjadi pemimpin patai Halilintar Sewu. Tapi, begitu markas halilintar
sewu di ubrak-abrik partai Arit Iblisnya Manggala, dia seperti hilang di telan bumi…, tapi kenapa
sekarang muncul disini...”
“Hemm..., mungkin kekasih kakang
empu juga mengincar bilah sanggabuana...” ujar pemuda berambut galling
bergelombang pelan.
Empu
Danurwenda hanya diam membisu, lelaki gagah yang dulu di kenal sebagai bekas
seorang Wiku dan pemimpin partai tersohor di masanya itu terus mengawasi sosok
ramping berbaju hitam ringkas dengan saksama. Tanpa di minta, sebuah kisah
meluncur perlahan dari bibir empu Danurwenda.
ooOoo
“Kakang Windu Kuntoro, berapa
lama kakang pergi...?” ujar dara berkulit kuning langsat ini sendu.
“Tidak akan lama Larasati, begitu
Sifu Zen menurunkan semua ilmu kanuragannya. Dan saya berhasil mendirikan
sebuah partai, saya akan datang menjemput mu...”
“Baiklah kalau itu sudah
keputusan kakang, saya akan selalu menunggu kakang di tempat ini…” ujar dara
berkulit kuning langsat lirih.
Windu
Kuntoro hanya tersenyum, di elusnya sebentar rambut panjang Larasati. Sebelum
pergi, pemuda gagah ini menyelipkan sekuntum bunga kantil di antara gelungan
rambut Larasati.
Empu
Danurwenda tampak menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.
“Lalu, kenapa Larasati meninggalkan kakang empu...?” kata
Jantra Bolang penasaran.
“Setelah kita dengan licik
membunuh Sifu Zen dan saya membawa kabur batu bulan Sanggabuana yang seharusnya
menjadi hak dirimu. Partai Halilintar Sewu berhasil saya dirikan, Larasati lalu
saya boyong ke partai. Namun, Larasati begitu menentang sepak terjang saya yang
selalu memburu serta membunuh orok-orak kembar dengan tanda lahir rajah Kala
Cakra di dadanya. Hingga satu ketika, disaat bermaksud membunuh anak kembar
dengan tanda lahir rajah kala cakra yang ke sekian kalinya. Saya haya
mendapatkan salah satu dari anak kembar itu, yang menurut bisikan gaib jika
salah satu anak kembar itu lolos. Anak kembar yang satunya harus di angkat
menjadi anak sekaligus murid...”
“Dan salah satu anak kembar yang
lolos itu kakang empu berinama Sanjaya…” ujar pemuda berambut galing
bergelombang datar.
“Benar adik Jantra Bolang. Setelah itu, Larasati meninggalkan partai
Halilintar Sewu entah kemana…” ujar empu Danurwenda datar.
Sementara
itu, sosok ramping berbaju hitam dengan kuntum bunga kantil terselip di
gelungan rambutnya terlihat berdiri dengan gagah di hadapan kepunden Sanggabuana.
Telinganya yang tajam mendengar gerakan sebat ke arahnya. Namun dara anggun
bernama Larasati itu tetap tenang. Tak menunggu lama, puluhan bayangan hitam
sudah mengurung dara ini dengan rapat.
Di atas dahan randu alas, empu Danurwenda tampak gelisah. Lelaki gagah
berjubah kuning ini bersiap melesat ke bawah, tapi urung di lakukanya manakala
di lihatnya sepuluh orang bercadar hitam yang mengurungnya mendadak
terpelanting berhamburan, manakala sosok anggun berbaju hitam itu lesatkan
tubuhnya ke atas.
Lalu, dengan
badan yang masih mengambang di udara, Kebut selendang merah yang melilit di
pinggangnya yang ramping ke arah orang-orang bercadar hitam.
Ditempat
lain, Geni Siji yang mendekam di salah satu gundukan batu besar terlihat
geleng-gelengkan kepalanya.
“Luar biasa siapa perempuan itu...?”
gumam Geni Siji takjub.
“Hanya dengan sekali gebrak,
formasi istana kosong partai galunggung di buat mentah…” menambahkan Geni Telu.
“ Kita mendapat lawan yang
tangguh kakang Geni Siji...” ujar Geni loro berbisik.
“Belum tentu. Ingat rencana kita
semula, siapapun yang berhasil mengangkat bilah pedang itu dari dasar kawah.
Kita bereskan dengan jaring ulat sutra. Sudahlah, kalian perhatikan saja siapa-siapa yang sudah
berada di sekitar kawah...” ujar Geni Siji datar.
“Kakang Geni Siji lihat…” kata
Geni Loro, sambil gerakkan kepalanya kearah rimbunnya pokok pohon randu alas.
“Wiku Dharma Persada, ternyata
orang itu masih hidup...” desis Geni Siji.
“Kabar terakhir menyebutkan,
setelah partai Halilintar Sewu di obrak-abrik Manggala si Arit Iblis, Wiku itu
seperti hilang di telan bumi. Anehnya, sekarang dia berada di tempat ini
bersama seseorang. Apakah orang di samping Wiku itu adalah Sanjaya muridnya?”
menambahkan Geni telu sambil terus mengipasi badannya dengan kipas berbentuk
bulan sabit.
“Sanjaya memiliki parut
melintang di pipi sebelah kirinya dan masih muda, sedang orang yang bersama wiku
itu aku kira umurnya sama dengan wiku Dharma Persada...” gumam Geni Siji.
Kembali ke bibir kawah Sanggabuana
Begitu
sepuluh orang bercadar hitam terpelanting jatuh oleh tenaga inti yang di
timbulkan dari selendang merah milik sang dara, dari arah yang tak terduga
berkelebat beberapa bayangan hitam yang lain, lalu menyerang dengan cepat. Tapi
seperti acuh, dara berbaju hitam dengan bunga kantil terselip di gelungnya itu
hantamkan kedua telapak tangannya yang terbuka ke tanah.
Reeeeeeettttt…Blammmmm…Blaammmmm..!!
Dari
dalam tanah, melesat ratusan bayangan pilar raksaksa dan dengan kecepatan sulit
di ikuti pandangan mata. Bayangan pilar-pilar itu dengan cepat menghujam
puluhan orang-orang bercadar hitam yang dalam waktu seperempat detik semua
orang bercadar hitam yang mengurungnya amblas ke dalam tanah bersama ratusan
bayangan pilar yang menghujamnya dari atas.
“Jurus pilar pemasung roh…, tak
di sangka Larasati menguasai tehnik yang telah di segel itu…” gumam empu
Danurwenda kaget.
“Kakang empu mengetahui jurus
itu…?” ujar Jantra Bolang pelan.
“Jantra Bolang, Jurus itu milik
nyai Tenung Ireng. Seorang penyihir dari golongan rimba hitam persilatan, saya
tidak habis pikir mengapa Larasati bisa bersekutu dengan nya...” kata empu
Danuewenda datar.
“Kadang, cinta bisa merubah
seseorang menjadi sesuatu yang tidak kita mengerti kakang empu…” gumam Jantra
Bolang pelan.
“Maksud kamu apa adik Jantra
Bolang…?”
“Tidak usah berlagak pilon
kakang empu, saya yakin kakang merasakannya juga...” tukas Jantra Bolang pelan,
membuat empu Danurwenda terdiam beberapa saat.
Di
langit. Rembang petang perlahan melingkupi seluruh kawasan kepunden Sanggabuana,
hawa dingin terasa mencucuk persendian. Kabut mulai turun dari lereng-lereng Sanggabuana,
suara gejolak kawah yang terus mengepulkan asap berbau belerang itu semakin
terdengar bergemuruh. Larasati yang masih berdiri tegak bagai patung pualam itu
sesaat dongakkan kepalanya ke arah langit yang hitam mengelam, desahan berat
terdengar dari hidung bangir dara berbaju hitam ini.
“Celaka, kalau bulan purnama itu
tidak muncul malam ini. Sia-sia saja usahaku selama ini...” membatin dara
berbaju hitam dengan kuntum bunga kantil terselip di gelungan rambutnya.
Mendadak,
Larasati kebutkan selendang merah yang
ada di tangannya ke arah tenggara. Namun, dengan cepat pula dara berbaju hitam
tarik kembali serangannya. Di hadapan sang dara berbaju hitam, terpaut tiga
langkah satu sosok berjubah kuning tampak memandangnya dengan penuh kasih.
“Kakang wiku Dharma persada, benarkah
ini dirimu…” ujar Larasati lirih.
Orang
berjubah kuning, yang memang wiku Dharma Persada atau sekarang dunia perslatan
lebih mengenalnya sebagai seorang empu ini hanya tersenyum.
“Larasati bagaimana ke adaan
dirimu…?” kata empu Danurwenda pelan.
“Saya baik-baik saja kakang, ada
keperluan apa kakang wiku di tempat ini…?”
“Larasati, nama saya sekarang empu
Danurwenda, hanya kebetulan saja saya
lewat di tempat ini...” ujar empu Danurwenda berbohong.
“Kakang Wiku…, oh maap. Maksud
saya kakang empu Danurwenda, sampai kapan dirimu selalu membohongi saya...”
tandas wanita berbaju hitam ini lirih.
“Maksud kamu apa Larasati…?”
“Siapapun tahu, apa maksud
orang-orang dari rimba hijau maupun hitam yang datang ke tempat ini…, termasuk
kakang.” Kata Larasati, di tatapnya dalam-dalam sosok yang sebenarnya selama
ini selalu di rindukannya.
“Tapi tujuan saya bukan itu
larasati…” gumam empu Danuewenda datar.
“Lalu apa kakang…?”
“Kisahnya panjang dan rumit
Larasati. Tapi, ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada dirimu…”
“Silahkan kakang Danurwenda…?”
“Jurus pilar pemasung roh…” kata
empu Danurwenda pelan, lelaki gagah berjubah kuning ini hentian sejenak
kata-katanya, menunggu reaksi dari dara berbaju hitam.
Dara
berbaju hitam, dengan bunga kantil terselip di antara rambutnya yang di gelung
itu terlihat kaget. Parasnya seketika berubah murung.
“Apa hubunganmu dengan nyai
Tenung Ireng, Larasati...?” kata empu danurwenda pelan.
“Dia guru saya kakang...” ujar
larasati datar.
Sayap
malam membentang di angkas, Langit yang semula gelap pekat perlahan terang.
Bulan purnama lima belas hari bertengger dengan gagahnya di antara
bintang-gemintang yang bertaburan.
Gelegak suara kepunden kawah sanggabuana
mendadak sirap, bau belerang yang menyengat pernapasanpun seakan hilang.
Larasati, yang tengah berbincang dengan empu Danurwenda sesaat dongakkan
kepalanya ke atas memandang rembulan yang kini bersinar bulat penuh di angkasa.
Detik berikutnya, sosok ramping Larasati berlari ke bibir kawah dan tanpa
ragu-ragu gadis berbaju hitam ini melompat terjun ke dalam kawah Sanggabuana.
ooOoo
Air
terjun Mada Karipuri terdengar bergemuruh, manakala guyuran air dari atas
menerpa bebatuan gunung yang banyak berserakan di bawahnya. Fajar sidik tampak
semburat kemerahan di sebelah timur, kabut tipis melayang diantara pepohonan.
Sementara itu, jauh di atas air terjun. Dua
orang sosok tampak saling berhadapan.
Sosok pertama, adalah seorang tinggi besar
bertelanjang dada dengan rambut di gelung di atas kepalanya. Sedang sosok yang
satunya, adalah seorang pemuda gagah berbaju putih dengan celana hitam.
Sudah hampir sepenanakan nasi, kedua sosok ini
saling diam membisu sepertinya sedang mengukur kekuatan masing-masing lawannya.
Pemuda
gagah berbaju putih perlahan masukan tangan kanannya ke balik pinggang sebelah
kiri, sebilah senjata kujang berwarna kuning ke emasan kini tergenggam di
telapak tangan kanan sang pemuda.
“Tuan Gajah mada, senjata ini
bernama Kujang. Panjang bilahnya tiga puluh senti lima inci, terbuat dari
lempengan baja dan emas murni dari batu bulan kepunden Gunung Salaka. Tiga
bulatan di badan kujang, bisa mengeluarkan suara yang dapat memecahkan gendang
telinga juga mengeluarkan sinar yang membutakan mata...” kata Angglarang sambil
menyerahkan senjatanya pada orang tinggi besar dengan rambut di gelung di atas
kepalanya.
“Raden, keris hamba ini bernama
kyai Naga Sasra Sabuk Intan. Panjang bilahnya sekitar tiga puluh senti sembilan
inci, terbuat dari lempengan baja murni pilihan serta batu bulan kepunden Gunung
Mahameru. Bayangan dari keris, bisa melukai namun pamor birunya dapat meredam
pukulan tenaga inti” ujar orang tinggi besar bertelanjang dada, dengan rambut
di gelung di atas kepalanya sembari menyerahkan bilah keris berpamor biru itu
pada sang pemuda.
Setelah
bertukar senjata masing-masing. Dua sosok yang tak lain dari Mahapatih Gajah
Mada dan Anggalarang, terlihat mundur tiga langkah ke belakang sambil memasang
kuda-kuda pertahanan.
“Silahkan raden duluan…” kata Mahapatih
Gajah mada pelan, sembari menyilangkan kujang emas di depan keningnya.
“Sebagai orang muda, sudah
sepantasnya mendahulukan yang lebih tua. Silahkan tuan Gajah Mada memulai
terlebih dahulu…” ujar Anggalarang takzim, keris Nagasasra Sabuk Intan tampak
berpendar ke biruan di genggaman pemuda gagah ini.
“Baiklah raden, agar adil…, bagaimana
kalau kita maju secara bersamaan setelah daun siwalan di ujung tangkainya itu
jatuh ke dalam air terjun...” usul Mahapatih Gajah Mada pada Anggalarang sambil
menunjuk salah satu daun siwalan yang terus bergoyang terkena hempasan air
terjun.
“Saran yang bagus tuan Gajah
mada...” ujar Anggalarang.
Kembali,
kedua sosok ini terdiam bagai patung pualam. Saling menatap tajam mengukur
kekuatan lawan sambil menggenggam senjata dari lawannya.
Hampir
sepenanakan nasi, kedua sosok itu saling diam membisu. Anggalarang sebetulnya
sudah mengetahui, Gajah Mada sedang menguji kesabarannya. Daun siwalan yang di maksud
Mahapatih Wilwatikta itu tampak masih hijau segar, mana mungkin bisa jatuh
dalam waktu singkat. Tapi, calon prabu Padjajaran itu tetap bersikukuh untuk
berduel dengan gajah mada. Demi menegakan kewibawaan dan bela pati terhadap
kerabat keraton Padjajaran, yang gugur di palagan Bubat.
Memikir
sampai disana, Anggalarang secara diam-diam merapal ajian Raga Sancang. Dengan
ajian itu, tubuh halus Angalarang bisa
keluar dari badan wadagnya. Dan dengan ajian ini pula Anggalarang bermaksud
mematahkan daun siwalan dari tangkainya.
Perlahan,
sosok halus Anggalarang keluar dari badan wadagnya. Tapi, sosok halus
Anggalarang yang mulai bergerak ke arah daun siwalan mendadak tertegun. Satu
sosok halus lain, telah berdiri membelakanginya.
“Tidak semestinya, seorang ksatriya
mempunyai pikiran picik raden…” ujar sosok halus ini pelan.
“Tuan gajah Mada, maap. Saya tidak bermaksud menyerang tuan secara
licik…” kata Anggalarang pelan.
“Hamba percaya raden, baiklah…,
mari kita mulai” ujar sosok halus Gajah Mada sambil menemelkan senjata kujang
emas di keningnya.
Sosok
halus Anggalarang, yang memegang bilah keris Nagasasra Sabuk Intan silangkan
senjata milik mahapatih Gajah Mada itu di depan dada. Detik berikutnya, ke duanya
sama-sama melesat secara bersamaan ke tengah gelanggang pertempuran.
ooOoo
Dilain
tempat, pada bibir kawah semenanjung kepunden Gunung Sanggabuana. Sosok wanita
anggun dengan kuntum bunga kantil yang terselip di antara gelungan rambutnya
itu, tanpa ragu-ragu berlari ke arah kepunden lalu dengan sebat melompat ke
dasar kawah.
Sosok rampingnya, sesaat meluncur dengan cepat
ke bawah. Selendang merah yang di ikatkan di pinggangnya terlihat berkibar ke
atas. Sementara itu, empu Danurwenda hanya diam membisu sambil memperhatikan
tubuh langsing Larasati yang terus melesat ke dasar kawah.
Detik berikutnya, lelaki gagah berjubah kuning
ini lesatkan badannya ke bibir kawah menyusul sosok Larasati. Tak lama,
tubuhnya terlihat meluncur menyusul sosok Larasati yang kini tampak menembus
gumpalan awan yang menaungi pertengahan kawah kepunden Gunung Sanggabuana.
Di tempat lain, Geni Siji yang masih mendekam
di balik gundukan batu sebesar kerbau terlihat melompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Disusul Geni Telu dan Geni Loro juga ke tujuh anak buahnya.
“Bagaimana sekarang kakang Geni
Siji…?” ujar Geni Telu sambil silangkan kipas bulan sabit di depan dadanya.
“Pasang perangkap jaring sutra,
begitu salah satu dari mereka mencapai bibir kawah dengan membawa bilah
sanggabuana, jerat dengan cepat lalu lumpuhkan dengan jarum beracun…” sentak
Geni Siji datar, senyum simpul terbersit dari sudut bibirnya yang menghitam.
“Hemm…, usul yang jitu kakang Geni
Siji…” ujar Geni Loro datar, lantas perintahkan beberapa orang anak buannya
menjalankan rencana licik dari Geni Siji.
ooOoo
Dasar
kawah kepunden Gunung Sanggabuana itu ternyata sangat dalam dan gelap. Namun, karena saat itu bulan purnama penuh di angkasa
sinar rembulan yang lembut sangat membantu pandangan mata dari Larasati yang
terus meluncur dengan cepat ke dasar kawah.
Setelah beberapa kali menembus gumpalan awan
yang menaungi kawah, Larasati merasakan daya luncurnya bertambah cepat beberapa
kali lipat dari sebelumnya yang menandakan dasar dari kawah kepunden Gunung Sanggabuana
semakin dekat.
Dengan menggunakan selendang yang kini tergenggam di tangan
kanannya, Larasati gulungkan ujung selendang dari dahan yang satu ke dahan yang
lainnya hingga dalam waktu singkat sosok Larasati sudah jejakan kakinya di
dasar kawah Sanggabuana yang sudah mengering.
“Ternyata, dasar kepunden Sanggabuana
ini sangat luas. Kemana aku harus mencari senjata mustika itu...” membatin
Larasati, sambil sapukan pandangannya ke seluruh dasar kawah yang suram
tersaput sinar purnama.
“Kalau bukan iming-iming kitab
sihir kegelapan dari nyai Tenung Ireng, buat apa aku susah-susah berada di
tempat sialan ini…” gerutu Larasati dalam hati, sambil lesatkan badannya di antara
gundukan batu karang yang banyak berserakan di dasar kawah.
“Kalau sampai pagi belum aku
temukan juga, sia-sia sudah usaha ku. Lahar dari kepunden kawah sanggabuana
akan kembali bergolak...” gumam Larasati sambil melompat dari tebing batu
karang yang satu ke batu karang yang lainnya.
Wanita
dengan bunga kantil terselip di gelungan rambutnya ini sesaat dongakkan
kepalanya ke atas, bulan purnama masih tampak bersinar dengan lembutnya seakan
mengajaknya untuk sejenak menikmati keindahannya.
Mendadak, bhatin Larasati bergetar. Pikirannya melayang pada sosok gagah wiku
Dharma Persada atau empu Danurwenda, beberapa waktu yang lampau di tengah
purnama seperti saat ini, biasanya di habiskan berbincang berbagai hal dengan empu
Danurwenda. Berdua, di atas salah satu pilar di kawasan seratus pilar pencakar
langit padang rumput teki.
“Kenapa aku harus di pertemukan
lagi dengan dia, walau dahulu dia sangat kejam dan bengis terhadap
musuh-musuhnya. Sebenarnya aku masih sangat menyayanginya…” gumam larasati
gundah.
Mendadak,
telinga tajam Larasati mendengar sesuatu yang mencurigakan dari arah belakang.
Dengan cepat, wanita anggun ini lesatkan badannya ke samping dan dengan sebat
kebut selendang merahnya yang di lambari tenaga inti kearah belakang. Sebuah
pekik kesakitan terdengar, Larasati tesentak teriakan itu begitu di kenalinya.
“Kakang wiku…” teriak Larasati
lantang, lantas menubruk sosok berjubah kuning yang kini terkapar di
hadapannya.
Larasati,
totok beberapa bagian tubuh dari lelaki berjubah kuning ini. Sebuah butiran
putih di masukannya ke dalam mulut orang yang masih di dekapnya itu, setelah
mengurut pangkal leher orang berjubah kuning beberapa kali. Sebuah erangan
halus keluar dari bibir orang berjubah kuning.
“Kakang wiku, bagaimana keadaan mu...?” ujar Larasati cemas.
Orang
berjubah kuning, yang tak lain dari wiku Dharma Persada atau sekarang rimba
hijau persilatan mengenalnya dengan nama empu Danurwenda hanya tersenyum, lelehan
darah kehitaman masih menetes di sea-sela bibirnya.
“Larasati…, saya…saya...” ujar
orang berjubah kuning ini tersengal-sengal.
“Jangan banyak bicara dulu
kakang Wiku…” ujar Larasati. Kembali, wanita berbaju hitam ini salurkan tenaga
inti dari telapak tangannya ke dada empu Danurwenda.
Beberapa
saat kemudian, empu Danurwenda muntahkan darah hitam berbuku-buku dari
mulutnya. Kembali, Larasati totok bagian
punggung dari empu Daurwenda. Detik berikutnya, darah hitam berbuku-buku yang
keluar berganti dengan darah segar.
“Semua racun yang mengendap di
dalam tubuh kakang wiku, sudah saya keluarkan...” ujar larasati lirih.
“Terimakasih Larasati...” ujar empu
Danurwenda sambil mendekap dadannya yang di rasakan masih berdenyut.
“Sudahlah kakang wiku, waktu
saya tidak banyak. Sebaiknya kakang cepat naik ke permukaan.” Kata Larasati
sambil bersiap lesatkan badannya.
“Larasati, sebenarnya buat apa bilah
mustika itu kau cari...” ujar empu Danurwenda pelan.
“Untuk saat ini, saya belum bisa
menjelaskannya kakng wiku. Tenaga kakang akan pulih setelah fajar, segera naik
ke permukaan karena lahar dari kawah sanggabuana akan menggelegak kembali” ujar
Larasati, lantas sosoknya kembali melesat di antara gugusan karang.
Empu
Danurwenda hanya bisa mengikuti sosok Larasati dengan pandangan matanya saja, ketika
bermaksud menyusul Larasati. Sebuah sentuhan dingin menerpa pangkal lehernya,
membuat seluruh badannya tidak bisa di gerakkan sama sekali.
“Ah…, totokan jari es, sudah
sejauh itukah hubungan antara Larasati dan nyai Tenung Ireng...” membatin empu
Danurwenda, lantas salurkan tenaga inti ke arah pangkal leher mencoba
melepaskan totokan jari es. Namun, semakin di coba menyalurkan tenaga inti,
tenaga dari empu Danurwenda serasa terkuras habis.
Karena tidak ada yang bisa di lakukan oleh empu
Danurwenda, perlahan lelaki gagah
berjubah kuning ini pejamkan ke dua matanya. Mengheningkan cipta, asa dan
karsanya pada sang pemilik jagat.
ooOoo
Sosok
halus Anggalarang berkelebat dengan cepat sambil tusukkan keris Nagasasra Sabuk
Intan kearah sosok halus Gajahmada, Mahapatih non aktip Wilwtikta itu tangkis
tusukan keris miliknya dengan badan kujang emas milik Anggalarang yang
mengeluarkan tiga jalur sinar ke emasan dan gaung laksana ribuan pekikan elang
membesat kearah Anggalarang.
Menyadari, bahwa ketiga jalur sinar dan gaung
yang keluar dari badan kujang itu akan membutakan pandangan mata dan memecahkan
gendang telinga. Anggalarang lindungi matanya dengan mendekatkan keris Nagasasra
Sabuk Intan yang mengeluarkan pamor biru ke arah wajahnya.
Bllllaaarrrrrr…!!!
Dentuman
keras terdengar mengguncang kawasan madakaripuri, bilamana bentrokan tenaga
inti keduanya beradu. Sosok halus Anggalarang terpental masuk kembali ke dalam
badan kasarnya, tubuhnya yang masih berdiri tegak terlihat surut tiga langkah
ke belakang lantas terguling di rerumputan.
Tapi
dengan sigap, pemuda gagah berbaju putih
ini lesatkan badannya ke atas, bersalto beberapa kali di udara ketika jejakan
kakinya kembali dengan ringan di tanah, sosok Gajah Mada sudah berada dekat
tiga langkah di hadapannya sambil sabetkan kujang emas ke arah kepala
Anggalarang.
Traaaakkk..!!
Anggalarang
lindungi kepalanya dari sabetan kujang emas dengan menyilangkan keris Nagasasra
Sabuk Intan di atas kepalanya, kembali dentingan keras beradunya ke dua bilah
pusaka terdengar nyaring.
Mengetahui
serangannya di mentahkan oleh Anggalarang, Gajah mada lantas putar bilah kujang
emas yang di genggamnya dengan cepat. Suara gaung ribuan pekikan eleng
terdengar membahana merontokkan puluhan daun yang langsung mengering sebelum
menyentuh tanah.
Kembali,
Anggalarang dekatkan keris Nagasasra Sabuk Intan di keningnya. Pamor biru
berpendar menyelubungi seluruh tubuhnya, suara gaung pekikan ribuan elang sirap
seketika dari pendengaran yang akan memecahkan gendang telinga.
Begitu di rasakan aman, Anggalarang lentingkan
badannya ke udara. Dari atas, pemuda gagah calon pewaris tahta Padjajaran itu
tusukkan keris Nagasasra Sabuk Intan ke arah punggung sebelah kiri dari Gajah
Mada.
Srrreeetttt…!
Bayangan
dari keris Nagasasra Sabuk Intan melesat dengan cepat ke arah punggung sebelah
kiri dari Gajah Mada. Walau hanya bayangannya saja, senjata mustika itu mampu
menggores daging dari punggung patih Wilwatikta itu.
Gajah
Mada terperanjat, raba punggung sebelah kirinya yang terasa berdenyut perih.
Lelehan darah tampak membuncah di telapak tangan kirinya.
Menyadari
keris Nagasasra Sabuk Intan dapat melukai walau hanya bayangannya saja, Gajah
mada lesatkan badannya di antara rimbunnya pepohonan. Anggalarang memaklumi apa
yang ada di benak lawannya itu, dengan sekali hentakkan badan tubuhnya tampak
melayang menyusul Gajah Mada.
Disatu
lembah, dengan pepohonan rindang Gajah Mada jejakkan kakinya dengan ringan di
tanah berumput yang basah. Begitu menoleh ke belakang, sambaran keris Nagasasra
Sabuk Intan kembali di rasakannya.
Traaanggg...!!
Dentingan
senjata tajam kembali terdengar membahana. Mendadak, di angkasa seberkas sinar
kemerahan melesat dengan cepat ke arah kedua ksatriya yang sedang tanding jurit
itu.
Seberkas cahaya merah, berbentuk pedang itu
lantas melesat ke arah Mahapatih Gajah Mada dan tanpa di duga masuk bersatu ke
dalam bilah pusaka kujang emas milik Anggalarang yang berada di tangan kanan
Gajah mada.
Gajah
mada tersentak, kujang emas yang ada di genggaman tangan kanannya tampak
bergetar hebat. Hawa panas lantas menjalar dari bilah kujang masuk ke dalam tubuh
mahapatih wilwatikta ini, dengan cepat Gajah Mada salurkan hawa pelindung ke
telapak tangan yang menggenggam kujang. Nanun, semakin mengerahkan tenaga inti,
panas yang di rasakan semakin menjadi-jadi.
Kujang emas yang di pegangnya terlepas dan
jatuh tertancap di tanah berumput sampai ke pangkal gagang yang berbentuk
kepala harimau, begitu Gajah Mada bermaksud menarik kembali bilah kujang.
Serangkum hawa dahsyat, melontarkan lelaki tinggi besar itu sejauh satu tombak
ke belakang.
“Tuan Gajah Mada…, tuan tidak
apa-apa…?” kata Anggalarang sambil membantu Gajah Mada bangkit dari tanah
berumput.
“Senjata raden sangat luar biasa...”
ujar Gajah Mada sambil memegang dadanya yang di rasakan sedikit sesak.
“Senjata tuan Gajah Mada juga
sangat hebat...” jawab Anggalarang sambil menyerahkan bilah keris Nagasasra Sabuk
Intan ke tangan Gajah mada.
“Maap raden, senjata kujang
milik raden tidak bisa hamba ambil. Kekuatan dahsyat menghalangi hamba…” kata
Gajah Mada sambil memegang dadanya yang di rasakan sedikit sesak.
“Tidak mengapa tuan Gajah Mada,
biar saya sendiri yang mengambilnya...” ujar Anggalarang, lalu dekati gagang
kujang yang tampak menyembul di tanah berumput.
Perlahan,
Anggalarang genggam gagang kujang emas miliknya yang tertancap di tanah sampai
ke pangkalnya. Hawa panas langsung menyengat tangan pemuda gagah ini, begitu
Anggalarang salurkan tenaga inti ke telapak tangan kanannya. Hawa sejuk
berangsur-angsur menindih hawa panas, dan begitu di cabut dari tanah. Pemuda
gagah ini tersentak kaget, senjata kujang emasnya berubah menjadi sebilah
pedang tipis dengan pamor biru kemerahan menyelimuti badan pedang.
“Sanggabuana…” ujar Mahapatih
Gajah Mada tertegun.
ooOoo
Sebelumnya
di kawasan kepunden kawah gunung sanggabuana
Dari balik tebing curam sebelah barat kepunden,
satu sosok bercaping bambu dengan tongkat berujung sapu lidi terlihat
terengah-engah mendaki terjalnya bebatuan. Setelah hampir sepenanakan nasi
sosok ini mendaki, akhirnya sampai juga di kawasan padang bunga edelwais yang
sedang mekar.
Sosok itu terus melangkahkan kakinya ke arah
tenggara, di mana meremang dalam kabut sebuah tanjung yang menjorok ke sebuah
kawah. Tiga ratus tombak dari bibir kawah Sanggabuana, sosok ini hentikan langkahnya.
Sesaat sosok bercaping ini dongakkan kepalanya ke atas, bulan purnama penuh
masih bersinar dengan lembutnya.
Ketika hendak maju beberapa tombak lagi
mendekati bibir kawah, sosok bercaping itu tertegun. Di hadapannya, sekitar dua
puluh sosok bercadar hitam berkaparan tak bernyawa. Begitu melewati sosok-sosok
tersebut, kembali sosok bercaping bambu ini di kejutkan dengan lima sosok lain
yang sudah menjadi mayat dengan tangan masing-masing masih menggenggam tombak
panjang.
“Hemm…, benar yang di katakan
mendiang empu Palwa, pamor Sanggabuana berlumuran darah orang-orang tak
berdosa. Ini semua salah ku, Aku harus segera menemukan bilah Sanggabuana itu...”
membatin sosok bercaping bambu.
Memikir
sampai disitu, Sosok bercaping bambu yang tak lain dari Sanjaya atau Sada
Lanang angsurkan kepalanya ke bibir kawah. Hanya kegelapa berkabut yang tampak
meremang di bawah sana, hembusan angin sedingin es berhembus menerpa wajahnya.
Ketika
Sanjaya hendak menuruni kepunden kawah Sanggabuana, seseorang telah berdiri di
belakangnya. Dengan sigap, Sanjaya putar
tubuhnya kebelakang. Satu sosok lelaki dengan rambut galing bergelombang
terlihat menatapnya dengan tajam.
“Maap, siapakah andika ini…?”
ujar Sada Lanang sambil menyilangkan tongkat berujung sapu lidi di depan
dadanya. Sedangkan, sosok lelaki berambut galing ini cuma tersenyum simpul ke
arahnya.
“Sanjaya, apa kau sudah tidak
mengenali ku lagi…” ujar sosok lelaki ini yang perlahan baik wajah dan tubuhnya
berubah menjadi sosok lelaki berambut putih dengan jubah hitam yang melambai di
tiup angin malam.
“Guru…, pertapa Sapta Raga…”
ujar Sada lanang sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Dunia memang sempit Sanjaya…”
menambahkan sosok yang memang pertapa Sapta Raga adanya, kini rimba hijau
persilatan mengenalnya sebagai sosok raksakasa penghuni danau rawa bolang.
“Guru, maapkan semua kesalahan
saya selama ini…” ujar Sada Lanang
pelan.
“Tak mengapa Sanjaya, ada hal yang harus kau ketahui…”
“Apa itu guru…?”
“Empu Danurwenda berada di dasar
kawah ini…” ujar pertapa Sapta Raga pelan.
“Empu. Danurwenda…?” ujar Sada
Lanang. Wajahnya menyiratkan sebuah tanda tanya.
“Oh…, ya…maksud ku, wiku Dharma
Persada guru mu…” menambahkan pertapa Sapta Raga.
“Sedang apa rama guru berada di
dasar kawah Sanggabuana...?” kata Sanjaya atau Sada Lanang dengan wajah penuh
keheranan.
“Sanjaya, kau mungkin sudah
mengetahui. Beberapa tahun belakangan, rimba hijau persilatan di gegerkan oleh
pamor dari pedang Sanggabuana. Banyak tokoh-tokoh dari berbagai aliran
memburunya” menerangkan pertapa Sapta Raga atau Jantra Bolang pelan.
“Saya mendengarnya guru, dan
karena itu pula saya berada di kawasan ini. Sosok astral empu. Palwa meminta
saya untuk mengambil pedang buatannya itu, yang selanjutnya akan saya serahkan
pada calon prabu Padjajaran. Raden Anggalarang...” kata Sada Lanang
menerangkan.
“Ohh…, jadi begitu rupanya. Tapi
menurut bisikan gaib, hanya raden Anggalarang yang bisa mencaput pedang
sanggabuana itu…” ujar Jantra Bolang pelan.
“Tapi, kenapa empu Palwa
mengutus saya untuk mengambilnya..?” ujar Sada Lanang pelan.
“Entahlah Sanjaya…”
“Baiklah guru, mumpung purnama
belum pudar. Saya akan menyusul rama guru ke dasar kawah…” pungkas Sada Lanang.
“Sebaiknya begitu Sanjaya, sebentar
lagi dini hari. Begitu cahanya fazar
semburat di ufuk timur, lahar dari kepunden kawah Sanggabuana akan kembali
menggelegak...” tandas Jantra Bolang.
Sanjaya
atau Sada Lanang anggukkan kepalanya. Tak menunggu lama, dengan menggunakan
tongkat berjung sapu lidi yang di tancapkan di dinding kawah. Perlahan, sosok
pemuda dengan parut melintang di pipi kirinya ini meluncur ke dasar kawah Sanggabuana.
Sedang, sosok Pertapa sapta Raga kembali berubah menjadi sosok lelaki dengan
rambut galing bergelombang dan kembali melesat ke atas dahan ponon randu alas.
Sementara
itu, di balik gundukan bebatuan sebesar kerbau. Geni Siji cs terlihat berbisik
kepada ke dua kawannya.
“Ternyata, pemuda bercaping bambu itu Sanjaya, anak angkat sekaligus murid dari
Wiku itu…” ujar Geni Telu berbisik, kipas bulan sabitnya tampak tergenggam di
tangan kanannya.
“Urusan ini semakin berat, kakang Geni Siji…” tandas Geni Loro.
“Tenang, aku dengar semua
kanuragan dan kedigjayaan Sanjaya telah musnah. Dia bukan halangan lagi buat
kita…” menambahkan Geni Siji.
“Lalu, apa yang akan kita
lakukan kakang Geni Siji?, aku sudah mulai bosan menunggu seperti ini…” ujar
Geni Telu sambil terus mengipasi badannya.
“Sesuai rencana awal…” tandas
Geni Siji.
“Tapi, mengapa Anggalarang belum datang juga ke
tempat ini…?” ujar Geni Loro.
“Persetan dengan pemuda itu, bukankah
tujuan kita sebenarnya adalah bilah Sanggabuana. Tapi karena di gadang-gadang
hanya Anggalarang yang bisa mencaput bilah Sanggabuana, maka pembesar itu
menyewa kita untuk mengawasi semua gerak-geriknya. Namun, kenyataannya sampai hampir pagi sosoknya tidak
kunjung datang. Jadi, siapapun yang berhasil keluar dari dasar kawah dan
mambawa bilah sanggabuana. Dialah sasaran kita…” tandas Geni Siji.
“Lalu, bagaimana dengan orang yang menemui Sanjaya
barusan…?” ujar Geni Telu.
“Aku tidak begitu mengenalnya, tapi
melihat kemampuannya berubah wujud. Dia juga harus kita waspadai” ujar Geni Siji sambil mengepalkan tangannya.
ooOoo
Setelah
beberapa kali menembus gumpalan awan yang menaungi kawah Sanggabuana, daya
luncur Sada Lanang meningkat beberapa kali lipat. Dengan cepat, pemuda ini
cabut tongkat berujung sapu lidinya lalu putar ke atas. Beberapa saat kemudian,
kakinya di rasakan menyentuh dasar kawah. Dimana sosok dari empu Danurwenda
masih diam membisu dalam keadaan bersila.
“Rama guru, Saya Sanjaya…, apa
yang terjadi..?” ujar Sada Lanang sambil mengguncang-guncang sosok yang masih
diam bagai patung pualam.
Empu
Danurwenda buka kedua kelopak matanya perlahan, sesaat lelaki berjubah kuning
ini pandang pemuda di hadapannya dengan saksama. Senyum simul mengembang dari
sudut bibirnya, ketika mencoba membuka mulut. Tak ada sepatah kata pun yang
keluar.
“Rupanya, rama guru dalam
pengaruh totokan…” ujar Sada Lanang sembari meraba pangkal leher dari empu
Danurwenda yang sangat dingin bagai es.
“Maap rama guru, apa yang harus
saya lakukan untuk membebaskan totokan ini. Semua ilmu kanuragan dan
kedigjayaan serta tenaga inti, tidak saya miliki lagi…?” kata Sada Lanang
pelan.
Empu
Danurwenda hanya diam membisu, mendadak pandangan matanya membentur tongkat
berujung sapu lidi yang di pegang Sada Lanang. Sanjaya menangkap isyarat pandangan
mata dari rama gurunya, sekali lagi Sanjaya pandang mata lelaki berjubah kuning
itu. Empu Danurwenda cuma bisa mengejapkan matanya beberapa kali.
“Baiklah rama guru, akan saya
coba…” ujar Sada Lanang lantas tempelkan ujung tongkat ke pangkal leher empu
Danuewenda.
Teeesssss….!!
Sebuah
letupan kecil terdengar nyaring. Namun, sosok dari empu Danurwenda tetap diam
bagai patung es yang membeku. Sekali lagi, Sada Lanang tempelkan tongkatnya.
Namun, sampai di coba berkali-kali totokan jari es milik Larasati itu tidak
bisa lepas.
Sementara
itu, Larasati yang hampir mengelilingi separuh dari kawah Sanggabuana mulai
khawatir. Pedang yang di carinya belum juga ada tanda-tanda keberadaannya, sedangkan
dinihari mulai bergulir ke ambang fazar. Guratan kemerahan mulai tampak di ufuk
timur, dasar kawah sanggabuana sekali-sekali mulai bergetar.
“Celaka…, sebentar lagi fajar…”
membatin Larasati.
Mendadak,
sudut mata dara berbaju hitam ini sekilas menangkap kilatan cahaya berwarna
merah di ujung gundukan batu karang. Dengan sekali lompat, sosoknya tampak
sudah berdiri di hadapan bebatuan karang. Mata larasati membelalak, sebuah
gagang pedang tampak tersembul di antara gundukan batu karang.
“Sanggabuana, akhirnya aku
menemukannya juga…” gumam Larasati sambil tersenyum.
Perlahan,
tangan kanan larasati raih gagang pedang yang tersembul di antara gundukan batu
karang.
BLAAAARRRR..!!
Dentuman
keras terdengar nyaring, tubuh Larasati tampak terpental tiga tombak ke
belakang. Dinding karang yang terkena hempasan dari tubuh Larasati tampak
hancur berkeping-keping, namun dara dengan bunga kantil di gelungan rambutnya
itu dengan sigap bangkit. Di cobanya sekali lagi meraih gagang pedang. Hal sama
terulang kembali.
ooOoo
Semburat
cahaya fajar mengintip di antara gumpalan awan yang menaungi pertengahan kawah,
getaran dari dasar kepunden sanggabuana semakin keras. Dari sela-sela tanah di
dasar kawah, mengepul asap berbau belerang. Lelehan lahar panas mulai muncul
dari sela-sela batu karang di mana bilah pedang Sanggabuana tertancap.
Ketika lahar sudah menyentuh bilah gagang
pedang, tak dinyana bilah Sanggabuana yang tertancap di antara batu karang itu
melesat bagai kilat ke udara dengan membersitkan sinar merah. Melesat ke angkasa
mendahuli sosok Larasati dengan cepat tinggalkan kawasan dasar kawah yang sudah
mulai di penuhi oleh lahar panas berbau belerang.
“Kakang wiku…, cepat naik ke
atas…!!” teriak Larasati begitu melewati sosok empu Danurwenda yang masih duduk
bersila di temani Sada Lanang. Dalam sekejap, sosok gadis itu sudah menembus
gumpalan awan yang menaungi dasar kawah. Larasati lupa melepaskan totokan jari
es pada diri empu Danurwenda .
Di
atas semenanjung kawah sanggabuana, Geni siji cs tampak terkejut begitu
mendengar dentuman keras dari dasar kawah. Dengan segera ketiganya longokkan
kepala masing-masing ke bawah, seberkas cahaya biru kemerahan berbentuk pedang
melesat dengan cepat di hadapan ke tiganya.
“Bilah Sanggabuana, ayo tunggu
apa lagi kejar bilah pedang itu…!!” sentak Geni Siji sambil lesatkan badannya
ke arah cahaya merah berbentuk pedang yang terus meluncur dengan cepat ke arah
timur laut.
Tidak
membuang waktu, ke tiganya di ikuti ke tujuh anak buahnya. Melesat mengejar
sinar merah berbentuk pedang yang tampak berkilau di terpa cahaya mentari yang
mulai muncul di sela-sela dedaunan.
Sementara
itu, begitu sampai di atas bibir kawah. Larasati duduk bersimpuh sambil
memukul-mukulkan tangannya di atas batu.
“Kakang wiku, maapkan aku…, aku
lupa melepas totokan jari es yang menguasai dirimu...” gumam larasati sambil
menangis terisak-isak.
Sekali
lagi, dara berbaju hitam itu longokkan kepalanya kebibir kawah. Hawa panas di
sertai bau belerang langsung menerpa wajah anggunnya.
“Kakang wiku, mengapa semuanya
berakhir seperti ini…, seharusnya kau tahu, betapa aku masih sangat mencintaimu
kakang…” tersedu larasati sambil masih
bersimpuh di hadapan kawah Sanggabuana.
Begitulah
sifat manusia…, kadang ego, mengalahkan mata bhatin dan mata hati. Seseorang
yang kita sia-siakan, akan terasa lebih berarti begitu sudah tidak di samping
kita lagi.
“Kakang wiku, Lebih baik aku menyusul
mu…” sentak Larasati, dan entah apa yang
ada di dalam benak perempuan anggun ini. Tubuh langsingnya terlihat berlari ke
bibir kawah. Begitu hendak melompat ke dalam kepunden kawah Sanggabuana, satu
sosok bayangan hitam menyambar tubuh Larasati dan membawanya menjauh dari
kepunden kawah Sanggabuana.
Larasati,
merasakan tubuhnya di bawa lari dengan sangat cepat. Begitu sampai di pedataran
rumpun bunga edelwais, sosok langsingnya di lemparkan begitu saja di antara
rumpun bunga abadi itu. Seorang perempuan tua berjubah hitam dengan rambut
putih menjela sampai ke tanah, memandangnya dengan tajam.
“Murid tolol, apa yang akan kau
lakukan Lara Anting…?” bentak wanita berjubah hitam itu sengit.
“Nyai Tenung Ireng…, saya…saya..” ujar Larasati terbata-bata.
“Hapus air mata mu itu, Lara
Anting. Aku paling benci melihat air mata jatuh hanya karena cinta...” ujar
nyai Tenung Ireng sewot.
“Nyai, lebih baik ambil kembali
semua ilmu yang nyai berikan pada saya...” kata Larasati sambil masih
terisak-isak.
“Lara Anting… , apa aku salah
dengar atau kau yang asal bicara…?”
“Tidak nyai…, apa yang saya
bicarakan adalah benar adanya…”
“Huh…, enak betul ucapan mu Lara
Anting, setelah semua yang kau minta aku kabulkan. Seenaknya saja kau mau
mengakhirinya, ingat kau masih terikat janji dengan ku...” bentak sosok
berjubah hitam ini galak.
“Tapi nyai…” Larasati tidak bisa
meneruskan ucapannya, begitu dengan cepat perempuan tua berjubah hitam itu
menyarangkan totokkan ke pangkal leher Larasati. Dan dengan sebat memanggul sosok
Larasati ke arah selatan lembah.
ooOoo
Anggalarang,
yang masih menggenggam kujang emas miliknya yang kini berubah menjadi bilah
pedang tipis dengan pamor warna merah menyelimuti badan pedang. Sesaat, tatap
wajah Gajah Mada dengan bengis. Kilatan warna merah menyorot dari kedua bola
mata pemuda gagah ini.
“Terima ajal mu Gajah Mada..!!!”
teriak Anggalarang lantang, lantas sosoknya melesat ke arah lelaki tinggi besar
di hadapannya yang masih terpana menyaksikan perubahan yang terjadi pada sikap
Anggalarang yang tampak beringas.
“Raden…, apa yang terjadi dengan
diri mu..?”kata Gajah Mada, namun suaranya terdengar sirap, begitu bilah pedang
biru kemerahan yang di genggam Anggalarang dengan cepat menyerangnya dengan
gencar. Pertarungan sengitpun kembali pecah.
Keris
Nagasasra Sabuk Intan yang di pegang Gajah Mada terlihat beradu dengan bilah
pedang tipis di tangan Anggalarang, dentuman seperti halilintar terdengar
menggelegar ber kepanjangan. Konon, dentuman dari beradunya senjata mustika itu
terdengar sampai ke pulau dewata bali.
Seratus
jurus berlalu sudah, memasuki jurus berikutnya. Mendadak, suasana alam yang
semula terang benerang berangsur-angsur redup. Gumpalan kabut tebal entah
darimana datangnya menyelimuti kawasan Madakaripuri sejauh radius puluhan kilo.
Dari dalam kabut tebal, menyeruak seberkas cahaya putih keperakan yang
menyilaukan mata. Menghentikan tanding jurit kedua ksatria yang sedang
menyabung nyawa. Dari dalam kabut, satu sosok samar berselempang kain putih
terlihat menggerakkan tangan kanannya yang tanpa di duga, bilah pedang biru
berpamor merah yang di pegang Anggalarang. Kini, sudah berada di genggaman
tangan sosok berselempang kain putih itu.
“Sanggabuana…, berlumuran darah
orang-orang tak berdosa. Pedang ini telah mengandung kutuk orang-orang yang
menjadi korbannya, dari api kembali ke api, dari tanah kembali ke tanah, sirna hilang kertaning bhumi…”
Begitu
sosok berselempang kain putih di dalam kabut menghentikan ucapannya, perlahan
bilah pedang biru ke merah menciut menjadi lempengan batu pipih hitam. Kujang
emas, tampak terselip di pinggang kiri Anggalarang. Sosok beringas pemuda itu
perlahan mengendur, kilatan merah di mata Anggalarang memudar.
“Terimakasih..” kata Anggalarang
sambil merapatkan telapak tangannya di depan dada.
“Saya empu Palwa, pembuat bilah
pedang terkutuk itu. Apa yang telah saya buat terpaksa saya hancurkan kembali,
raden…, terimakasih. Senjata kujang milik raden, telah menjadi perantara wadah Sanggabuana…”
ujar sosok berselempang kain putih dalam kabut, Anggalarang hanya menganggukan
kepalanya. Seiring dengan memudarnya gumpalan kabut tebal, sosok astral empu
Palwa hilang dari pandangan Anggalarang dan Gajah Mada.
“Sayang sekali…, bilah mustika
dahsyat yang konon akan terlahir setiap limaratus tahun sekali, kembali ke
asalnya…” gumam Gajah Mada pelan.
“Maap tuan Gajah Mada, tadi saya
bersikap kurang pantas pada tuan…” kata Anggalarang sambil merangkapkan ke dua
telapak tangannya di depan dada.
“Tidak mengapa raden, itu bukan
kehendak dari raden sendiri…” ujar Mahapatih Wilwatikta ini pelan.
“Tuan Gajah Mada, mentari sudah
tepat di ubun-ubun. Ada baiknya, kita hentikan sejenak duel ini. Besok, kita
lanjutkan kembali…” kata Anggalarang sambil membenarkan letak kujang emas di
pinggang sebelah kirinya.
“Ada baiknya begitu raden…, mari
kita rehat sejenak di puri hamba…” kata Gajah Mada sambil melangkahkan kakinya.
“Silahkan tuan Gajah Mada duluan….,
saya masih ingin menikmati guyuran air terjun madakaripuri itu…” kata Anggalarang
yang langsung terjun ke bawah derasnya sungai dengan guyuran air terjun
Madakaripuri, Gajah Mada haya tersenyum simpul melihat tingkah pemuda gagah
tersebut.
ooOoo
Rembang
petang, melingkupi kawasan seratus pilar atap langit batu andesit padang rumput
teki yang menghijau kekuningan di saput lembayung senja hari. Disalah satu
pilar raksaksa, satu sosok tubuh ramping berbaju hitam ringkas tampak terikat
dengan seutas tali berwarna hitam. Meski hanya seutas tali, kekuatannya setara
dengan puluhan tambang yang biasa mengikat seekor banteng. Tiga langkah di
hadapan Dara berbaju hitam, seorang perempuan tua berjubah hitam dengan rambut
putih panjang menjela tanah. Terlihat memandangnya dengan bengis.
“Lara Anting, aku beri satu
kesempatan lagi pada mu. Untuk menyesali, semua perbuatan konyol mu itu…” ujar
perempuan tua berjubah hitam itu tandas.
“Nyai Tenung Ireng, saya sudah
memberikan jawabannya. Dan keputusan saya sudah bulat, kita akhiri saja
persekutuan ini. Aku ingin bertobat…”
ujar larasati lirih.
“Huh…, tobat…tobat, sudah sifat
manusia. Jika menemui jalan keputus asa’an enteng saja mengucap tobat, tapi
bila kembali jaya. Semua pantangan kembali di langgarnya...” semprot nyai Tenung
Ireng bengis.
“Nyai…, saya mohon pengertian
dari mu...” rengek Larasati pilu.
Wanita
tua berjubah hitam itu tak menggubris rengekan larasati. Sesaat, senyum penuh
arti tersembul di antara bibirnya yang perot. Di pandangnya lekat-lekat paras
larasati dengan tajam.
“Baiklah, Lara Anting. Kalau tekadmu sudah tidak bisa di
tawar-tawar lagi, aku akan melepas
dirimu pergi dari tempat ini. Kau bebas pergi kemana kau suka...” ujar nyai
Tenung Ireng yang selanjutnya dengan sekali jentikan jari, tali hitam tipis
yang mengikat Larasati langsung lepas meletup menjadi serpihan bubuk hitam.
Lalu, pudar di hembus angin senja hari.
“Pergilah Lara Anting…”ujar nyai
Tenung Ireng datar.
Sesaat,
Larasati bimbang. Semudah itukah dirinya dapat di lepaskan begitu saja dari
tangan gurunya. Namun, di langkahnya juga kakinya meninggalkan pedataran padang
rumput teki.
Sekitar
satu tombak, mendadak langkah larasati terhenti. Satu libatan benang hitam
kembali menjerat pinggangnya, sebelum menyadari apa yang terjadi. Tubuh
Larasati terlihat melayang kembali ke arah nyai Tenung Ireng di susul tendangan
melingkar yang membuat tubuh dara anggun itu terhempas membentur salah satu
pilar raksaksa batu andesit. Larasati merasakan pandangannya kabur, ketika
mencoba membuka mata. Puluhan totokan sedingi salju, menghujam tubuhnya bertubi-tubi.
Sesaat,
tubuh Larasati terhempas di rerumputan basah. Tidak bisa bergerak ataupun
bersuara, hanya pandangan matanya saja yang berputar kesana kemari. Satu
kilatan merah terbersit di kedua bola matanya.
“Lara Anting, semua inti ilmu
dari kitab sihir kegelapan sudah menyatu di seluruh aliran darah mu. Dulu, ki
Angin Sewu pernah menyegel ajian totokan jari es ini setelah menyempurnakannya
dengan memilih moksa. Tapi, aku dapat melepas segel itu. Kau tidak bisa menolak takdir, tubuhmu akan
kebal terhadap semua jenis senjata dan ilmu kedigjayaan. Hidup mu akan abadi
selamanya sampai hari penghabisan. Tugas ku sudah selesai, kini dirimu yang
akan meneruskan semua cita-cita ku. Menguasai rimba hitam dan rimba hijau persilatan...”
Ujar
nyai Tenung Ireng. Yang perlahan sosoknya memudar dari pandangan Larasati, di sambut
gelegar halilintar sebanyak enam kali berturut-turut. Di susul hujan badai
mengganas di kawasan seratus pilar atap langit batu andesit padang rumput teki.
ooOoo
Hampir
satu minggu, Anggalarang berada di madakaripuri. Setiap pagi, di atas pedataran
air terjun. Pemuda gagah itu, terus berduel dengan Gajah Mada dan baru berhenti
di kala mentari tepat berada d atas ubun-ubun.
Seperti yang terjadi di hari ini, dentingan
beradunya senjata mustika terdengar nyaring merobek dinginnya pagi yang masih
berkabut. Puluhan jurus telah berlalu, namun belum ada tanda-tanda siapa yang
menjadi pemenang atau pecundang.
Keduanya sama-sama tangguh. Memasuki jurus
berikutnya, mahapatih Wilwatikta itu mulai berfikir rasional. Gajah Mada sadar,
masa ke emasannya perlahan telah pudar dari genggamannya. Masa jayanya perlahan
tapi pasti akan meninggalkannya, sedangkan pemuda gagah yang jadi lawannya itu
masih banyak kesempatan lebih lama mengenyam pahit getirnya kehidupan.
Memikir sampai di sana, tokoh pemersatu
Nusantara itu mendadak berteriak lantang mengucapkan sesuatu yang membuat
Anggalarang tertegun.
“Raden, arahkan tusukkan kujang
pada betis hamba sebelah kiri...” ujar Gajah Mada lantang.
“Maksud tuan Gajah Mada...?”
“Di situ, bagian terlemah dari
hamba raden...”
Bukannya
langsung menyerang, Anggalarang malah hentikan gerakannya menggempur sosok
tinggi besar di hadapannya itu. Kujang emas yang di genggamnya lantas di sarungkannya
kembali ke dalam warangkanya.
“Kenapa raden menghentikan serangan...?”
kata Gajah Mada keheranan.
“Apa alasan Tuan Gajah Mada
memberitahu titik terlemah…?” ujar Anggalarang pelan.
“Sudah saatnya, tunas baru
menggantikan pokok akar yang telah lapuk raden…” tandas mahapatih Gajah Mada
tenang.
“Maksud tuan Gajah Mada sebenarnya
apa…?”
“Raden, masa ke emasan hamba
telah pudar. Cepat atau lambat, Majapahit kelak di ujung senja kala. Dan itu
semua karena kealpaan hamba…” kata Gajah Mada datar.
“Tuan Gajah Mada, tolong
jelaskan lebih banyak…” pungkas Anggalarang.
“Semua pangkat dan jabatan
terpenting di pemerintahan Majapahit hamba sandang pada diri hamba sendiri, hamba
lupa mempersiapkan tunas muda yang kelak akan menjunjung mahkota Wilwatikta.
Sedang perjalanan raden masih panjang, di ujung umur hamba hanya ketenangan bhatin
yang sekarang ini hamba rindukan…” ujar Gajah Mada sambil menyarungkan kembali
bilah keris Nagasasra Sabuk Intan ke dalam warangkanya.
Anggalarang
terdiam mendengar uraian yang di ucapkan Patih Wilwatikta itu, senjata kujang
yang telah masuk kedalam warangkanya itu di selipkan kembali di balik pinggang
kiri baju putihnya.
“Apa yang di ucapkan tuan Gajah
Mada benar adanya. Kini saya sadar, bukan kekuatan mengalahkan lawan yang dapat
memuaskan hati. Tapi, keikhlasan yang membuat seseorang menjadi berarti. Tuan
Gajah Mada, terimakasih atas segalanya. Hari ini, genap sepuluh tahun pengembaraan saya. Saya
akan kembali ke Padjajaran…” kata Anggalarang sambil merangkapkan ke dua
telapak tangannya di depan dada.
“Sampaikan salam hamba, pada Mangkubumi
Bunisora Suradipati dan seluruh kawula Padjajaran raden...” ujar Gajah Mada
sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Akan saya sampaikan tuan Gajah
Mada…” ujar Anggalarang.
Mentari
tepat di ubun-ubun, manakala sosok Anggalarang dengan tenang meninggalkan
kawasan madakaripuri di iringi tatapan kagum patih Gajah Mada.
Beberapa
bulan kemudian, setelah Anggalarang di lantik menjadi prabu anom di Padjajaran
dengan gelar NiskalaWastu kencana. Majapahit gempar, dalam tahun 1364 Gajah
Mada tutup usia.
Tidak di ketahui, di mana kesatria pemersatu
Nusantara itu terkubur. Kata sebagian orang, Gajah Mada meninggal di Majapahit.
Kata sebagiannya lagi, Gajah Mada moksa di tengah gelombang samudra Indonesia.
Dialah, orang besar Indonesia yang tidak di
ketahui tempat lahir dan tempat meninggalnya. Walaupun demikian, nama dan
perjuangannya tinggal hidup selamanya dalam hati sanubari rakyat Indonesia dan
mendapat tempat istimewa dalam sejarah kebangsaan Indonesia.
ooOoo
Kepunden kawah Sanggabuana
Seperempata
detik, setelah Larasati sampai di permukaan kawah sanggabuana. Sada Lanang yang
tengah berusaha menyelamatkan rama gurunya empu Danurwenda yang masih dalam
keadaan kaku akibat totokan jari es. Lahar panas tampak merambat ke arah tubuh
keduanya. Sada Lanang atau Sanjaya Tampak panik, tongkat berujung sapu lidi
tidak mampu membuyarkan pengaruh totokan jari es. Meski di ulang-ulang beberapa
kali.
Mendadak, seutas tali tipis keperakan melibat
tubuh mereka. Hanya membutuhkan waktu sepersekian detik, tubuh keduanya kini
telah berada lima ratus tombak dari bibir kawah Sanggabuan.
Begitu menyentuh tanah berumput, pengaruh
totokan yang di derita empu Danurwenda lenyap dengan sendirinya. Kini, di
hadapan Sada Lanang dan empu Danurwenda serta Pertapa Sapta Raga atau Jantra
Bolang, tampak tiga sosok berjubah garis-garis hitam putih dengan surban putih
terlihat berdiri di hadapannya.
“Terimakasih atas pertolongannya
tuan…” ujar Mpu. Danurwenda pelan.
Tiga
sosok bersurban putih, dengan hidung bangir serta jenggot panjang di dagunya
itu hanya tersenyum tipis.
“Assalamualaikum…, siapakah di antara
antum berdua yang bernama empu Danurwenda…?” ujar salah satu orang berjubah
garis hitam putih itu sambil tersenyum ramah.
“Saya yang bernama empu
Danurwenda, ada keperluan apa tuan-tuan ini mencari saya...” ujar Mpu.
Danurwenda pelan.
“Kami duta dari tanah ngarab, Khalifah
kami meminta bantuan dari tuan empu untuk berkunjung ke nagri kami. Sekaligus,
meminta bantuan dari empu. Danurwenda…”
“Kalau boleh tahu, bantuan apa
yang di harapkan pemimpin tuan dari saya…?”
“Khalifah meminta tuan empu,
menempa batu bulan yang di angkat dari palung terdalam laut merah untuk di
buatkan sebuah pedang...” ujar orang bersurban tenang.
“Oh…, begitu rupanya, baiklah
saya bersedia. Tapi sebelumnya, izinkan saya berbicara sejenak dengan murid dan
saudara seperguruan saya ini…” kata empu Danurwenda.
“Silahkan tuan empu Danurwenda.
..”
Empu
Danurwenda, terlihat berbicara dengan Sada Lanang dan Pertapa Sapta Raga atau
Jantra Bolang.
“Sanjaya, ada sesuatu yang mesti
kau ketahui tentang ikhwal kehidupan mu...” ujar empu Danurwenda pelan
“Apakah itu rama guru...?”
“Kau masih memiliki seorang
saudara kembar dan seorang ibu. Terkhir, mereka berada di perdikan welangun
sebelah tenggara kaki gunung Arjuna..”
“Benarkah itu rama guru…?” kata
sanjaya, ke dua matanya tampak berbinar.
“Benar Sanjaya. Dan saudara
kembarmu itu juga memiliki rajah kala cakra di dadanya, sama seperti yang kau
miliki…” kata empu Danurwenda pelan.
“Rama guru, saya bermaksud ke
Padjajaran untuk mengabdi pada Anggalarang. Sekaligus meminta bantuan, melepaskan kutukan yang selama ini saya
derita...” tandas Sada Lanang pelan.
“Alangkah bagusnya, kau temui
dulu keluarga mu Sanjaya…, saya akan ke tanah ngarab. Dan mungkin, kita tidak
akan pernah bertemu lagi…” tandas empu Danurwenda, nada suaranya sedikit
bergetar.
“Mengapa begitu rama guru…?”
kata Sada Lanang sambil memandang ke heranan pada sosok berjubah kuning di
hadapannya.
“Sudah menjadi dharma bakti saya
sebagai seorang empu Sanjaya…” kata empu Danurwenda menerangkan.
“Baiklah rama guru…” kata
Sanjaya atau Sada Lanang pelan.
“Dan untuk mu adik Jantra
Bolang, kembalilah ke danau rawa bolang. Firasat saya mengatakan, kelak akan
ada orang alim yang akan menuntun dirimu menjadi orang yang lebih baik…” ujar
Mpu. Danurwenda pelan.
“Siapakah orang alim itu kakang empu…?”
tanya Jantra Bolang penasaran.
“Kelak, kau akan mengetahuinya sendiri. Adik Jantra
Bolang...” tandas empu Danurwenda.
“Baiklah kakang empu, selamat
jalan…, semoga yang maha kuasa selalu melindungi mu...” ujar Jantra Bolang
sambil merangkapkan ke dua telapak tangannya di depan dada.
Empu
Danurwenda hanya tesenyum, tidak berapa lama sosoknya raib di balik rumpun bunga
abadi bersama tiga orang bersurban putih utusan dari tanah ngarab tersebut.
ooOoo
Dua
tahun belakangan. Dunia persilatan kembali di gegerkan dengan adanya rumor
sebuah kitab pusaka yang akan membuat pemiliknya menjadi raja diraja penguasa
rimba hijau dan rimba hitam peresilatan sekaligus dapat mengungkap harta
terpendam yang nilainya dapat menghidupi sampai tujuh turunan.
Rumor
itu, langsung menyebar luas dikalangan orang-orang dari rimba hijau maupun
rimba hitam persilatan. Banyak tokoh-tokoh ternama di zaman itu ikut andil
dalam pencarian kitab mustika tersebut. Kasak-kusuk tentang sebuah peta yang
dapat mengungkap keberadaan kitab pusaka semakin santar terdengar, namun
beberapa dari tokoh-tokoh ternama yang katanya sudah mendapatkan peta itu keberadannya
sampai sekarang tidak pernah terdengar lagi. Mereka bagai hilang di telan bumi.
Tapi, hal itu tidak menyurutkan tekad
dari para jawara dan pendekar-pendekar yang silau dengan kemilau duniawi untuk
terus melacak jejak keberadaan peta maut tersebut.
Mentari
perlahan bergulir kearah barat, bias sinar kekuningan semburat di antara
mega-mega di atas langit yang kelabu. Desiran angin utara meliuk menggoyangkan
rerumputan teki nan menghijau kekuningan oleh bias lembayung.
Di sebuah pedataran yang luas, di mana sejauh mata memandang sekitar seratus
pilar-pilar raksaksa batu andesit tampak menjulang kelangit. Meremang di saput
kabut tipis di senja hari.
Lima
sosok bayangan dengan ringan jejakkan kaki masing-masing diantara pilar-pilar
raksaksa batu andesit, satu di antaranya adalah seorang wanita tua dengan tutup
kepala seperti tanduk kerbau. Puluhan gelang emas kroncongan, menghiasi hampir
separuh lengan kanan dan lengan kirinya.
Rimba
hijau persilatan, mengenalnya dengan sebutan Sabai Gadang Nan Kayo. Seorang
pendekar kosen yang masih berkerabat dekat dengan penguasa istana Maimun di
pulau Swarnabhumi.
Orang
ke dua, adalah seorang lelaki separuh baya dengan janggut, kumis dan jambang
berwarna putih keperakan menghias wajahnya. Sedang tiga orang lainnya adalah
sosok gadis-gadis ramping berparas jelita.
“Teja Putih, cepat buka gulungan
peta itu. Apa benar, ini tempatnya yang bernama seratus pilar raksaksa batu
andesit padang rumput teki...?” ujar Sabai Gadang Nan Kayo lantang, sementara
pandangannya terus menatap ke depan dengan tajam. Dimana, pilar-pilar raksasa
batu andesit terlihat tegak menjulang.
Perlahan,
lelaki separuh baya dengan ikat kepala lancip berwarna kuning emas itu buka
gulungan kain lusuh yang ada di tangan kanannya. Sebuah gambar ratusan garis
dengan tanda silang, di kelilingi jalan lembah dan pegunungan terjal yang
berliku terhampar di hadapan perempuan tua dengan gelang keroncong memenuhi
kedua pergelangan tangannya itu.
“Tidak salah lagi Inyiek…” ujar
Teja Putih pelan.
“Baiklah, untuk kalian bertiga.
Teja merah, Teja Jingga dan Kuning. Menyebar, cari tanda apa saja yang mengarah
pada keberadan kitab pusaka itu...” kata Sabai Nan Kayo lantang.
“Baik Inyiek…” ujar tiga sosok
dara jelita itu hampir berbarengan. Tak lama, sosok ke tiganya melesat ke tiga
jurusan arah mata angin.
“Teja Putih, mari kita ke atas
pilar-pilar batu andesit itu. Siapa tahu ada petunjuk…”
“Silahkan Inyiek…” ujar Teja
Putih pelan.
Tak
lama, sosok perempuan dengan tutup kepala seperti tanduk kerbau itu tampak
melayang di antara pilar-pilar raksaksa batu andesit. Detik berikutnya,
sosoknya terlihat berlompatan di antara puncak-puncak pilar. Di susul, sosok
Teja Putih di belakangnya.
Sementara, rembang petang mulai melingkupi
seluruh kawasan padang rumput teki. Mendadak, telinga tajam Sabai Gadang Nan
Kayo mendengar tiga jeritan dari bawah pilar. Tak membuang waktu, keduanya memburu kearah sumber jeritan.
“Merah…Jingga…Kuning…siapa yang
melakukan kesadisan ini…” jerit Sabai Gadang Nan Kayo begitu mendapati ketiga
muridnya terkapar tak bernyawa dengan tubuh masing-masing tergencet pilar
raksaksa batu andesit.
Sabai Gadang Nan Kayo dan Teja Putih berusaha
menarik tubuh-tubuh malang itu dengan kekuatannya, namun tak dinyana ketiga
tubuh gadis jelita itu malah amblas tersedot ke dalam tanah. Terkubur di bawah
pilar raksaksa batu andesit dengan rumput teki yang semula menghijau segar
perlahan menjadi layu lalu kering.
“Siapapun yang melakukan
kekejian ini, harap tunjukkan wujudmu...!!” sentak Sabai Gadang Nan Kayo
Lantang.
Hanya
desiran angin, menerpa pepohonan yang terdengar. Suasana seratus pilar batu andesit
padang rumput teki yang temaram terasa senyap, hening, dan sepi. Membuat kedua
orang itu sedikit bergidik merinding.
“Terlalu hening…” gumam teja
Putih pelan.
“Teja Putih. Baiknya kita
kembali ke padepokan, melacak sesuatu di kegelapan seperti ini hanya akan
memudahkan pembunuh sadis itu, dengan mudah menghabisi kita...” bisik Sabai
Gadang Nan Kayo.
“Lalu bagaimana dengan kitab
pusaka itu Inyiek…?” kata Teja Putih datar.
“Kita tunggu kabar selanjutnya,
ambo mulai ragu apakah keberadan kitab pusaka
di tempat ini benar adanya atau mungkin cuma jebakan dari orang yang
menghendaki sesuatu dengan mengirim peta itu pada kita...” kata Sabai Gadang
Nan Kayo datar.
“Bailah Inyiek…” ujar Teja Putih,
sambil menghembuskan napasnya dengan berat.
Begitu
jejakan kaki masing-masing ke tanah, sosok keduanya terlihat melesat menuruni
lereng-lereng terjal di mana seratus pilar raksaksa batu andesit berada. Sepeninggal
kedua pendekar itu, dari balik salah satu pilar. Satu sosok ramping dengan
bunga kantil terselip di antara gelungan rambutnya tampak tersenyum dingin ke arah
lenyapnya Sabai Gadang Nan Rancak dan Teja Putih.
Dua pekan kemudian
Walau
terdengar sudah banyak memakan korban jiwa, baik dari kalangan rimba rijau dan
rimba hitam persilatan tanpa sebab yang jelas di kawasan seratus pilar raksaksa
atap langit padang rumput teki. Namun, tidak menyurutkan pendekar-pendekar yang
penasaran dengan kitab pusaka itu terus menyambangi daerah tersebut. Walau
hasilnya sama, semuanya tewas dengan tubuh-tubuh amblas tergencet pilar
raksaksa batu andesit.
ooOoo
Angin
dingin berhebus kencang menerpa pepohonan janakeling yang tumbuh liar di sebuah
lereng yang terjal, kabut tipis masih melayang di antara rimbunnya pepohonan
perdu yang menempel di dinding-dinding tebing curam di kaki bukit batu cadas.
Di salah satu bilik pondok, di sebuah
pedataran luas, satu sosok lelaki berjubah kelabu dengan rambut putih sebahu
tampak membuka pintu pondok tersebut. Hawa segar dari lereng Galunggung
langsung memenuhi rongga dada lelaki tua yang tampak masih kekar itu.
Sebuah
desingan senjata tajam, terdengar meluncur ke arah lelaki tua berjubah kelabu.
Dengan sigap, tangan kanan dari lelaki yang di kenal sebagai ketua partai
galunggung tersebut kebut lengan jubah kelabunya ke depan. Senjata rahasia
berupa jarum halus panjang dengan gulungan kain, kini tertancap di salah satu
batang pohon janakeling di depan pondok.
“Kisanak yang berada di dahan
janakeling, harap tunjukkan dirimu...” ujar ketua partai Galunggung itu
lantang.
Tidak
menuggu lama, satu sosok tambun berjubah merah dengan kipas berbentuk bulan
sabit terlihat jejakkan kakinya dengan ringan di tanah.
“Apakah sekarang saya tengah
berhadapan dengan ki Ketapang Reges, ketua partai Galunggung..?” kata sosok
tambun berjubah merah sambil lipat kipas bulan sabitnya.
“Betul, bukankah kisanak salah
satu dari pajineman tiga Geni…, siapa yang menyuruh kisanak dan dihargai berapa
kepal saya...?” tandas ki Ketapang Reges.
“Jangan salah menduga ki
Ketapang, saya datang kemari bukan untuk tujuan itu...” ujar Geni Telu pelan.
“Lalu untuk apa, jelas-jelas
tadi kisanak menyerang saya…?” ujar ketua partai Galunggung itu datar.
“Hari ke tujuh belas bulan Sembilan,
datanglah ke seratus pilar atap langit batu andesit padang rumput teki…” ujar
Geni Telu sembari mulai mengipasi badannya yang mulai berkeringat, walau suasana di tempat itu sangat dingin
mencucuk persendian.
“Ada apa di tempat itu…?” tanya
ki Ketapang Reges.
“Jawabannya, ada di lipatan kain
yang tertancap di batang pohon janakeling itu ki Ketapang...” ujar Geni Telu, begitu
jejakkan sekali kakinya ke tanah. Sosoknya terlihat jauh melesat menuruni
lereng terjal Galunggung.
Mata
tajam ketua partai Galunggung membentur
lipatan gulungan kain yang menancap di batang pohon janakeling. Dengan sekali
gerakkan tangan kirinya yang terbalut sarung tangan berwarna hitam, gulungan
yang tertancap di batang pohon janakeling tampak terbetot lepas dan melayang di
udara. Begitu sekali lagi ki Ketapang Reges gerakkan tangan kirinnya, gulungan
kain itu sekarang sudah berada di tangan kanan dari ketua partai Galunggung.
Perlahan, di bukanya gulungan kain yang tampak sudah lusuh tersebut. Kedua mata
ki Ketapang Reges langsung berbinar.
“Peta harta terpendam...” gumam
orang tua berjubah kelabu ini bergetar.
Sejak
peristiwa pembantaian dua puluh orang anak buahnya, di kawasan kepunden kawah Sanggabuana
dua tahun silam. Sebenarnya, ki Ketapang Reges sudah enggan berurusan lagi
dengan namanya perburuan benda-benda mustika atau sejenisnya. Tapi, rumor
sebuah kitab pusaka yang dapat mengugkap harta terpendam yang nilainya dapat
mencukupi sampai tujuh turunan. Membuat pendekar kosen yang umurnya sudah
mencapai setengah abad ini memiliki pandangan lain.
Memang, begitulah sifat manusia jika sudah
berurusan dengan harta, tahta dan wanodya. Prinsip dan pandangan hidupnya, akan
di pertaruhkan demi sebuah kepuasan.
Setelah
melipat baik-baik gulungan kain dan memesukkannya di balik jubah kelabunya, tanpa
membuang waktu. Dalam sekali jejakkan kaki ke tanah, sosok ki Ketapang Reges
terlihat melesat menuruni lereng-lereng terjal Galunggung.
Ketua partai Galunggung itu tidak menyadari, batang
pohon janakeling bekas tanjapan jarum tampak berubah warna menjadi hitam
kebiruan. Menandakan, betapa sangat beracunnya jarum terebut.
ooOoo
Sepekan sebelum rumor kitab pusaka yang menggegerkan
dunia rimba hijau maupun rimba hitam
persilatan beredar luas.Sosok
wanita anggun, dengan bunga kantil terselip di antara gelungan rambutnya itu
dengan ringan jejakkan kakinya di atas sebuah wuwungan rumah yang terbuat dari anyaman
bambu ori. Sesaat, sosok wanita anggun berbaju hitam ringkas itu dongakkan
kepalanya keatas. Lembayung senja, tampak temaram kekuningan di antara
mega-mega di angkasa sana.
Sekitar sepeminuman teh, sosok wanita anggun
itu masih di atas wuwungan. Mendadak, sosoknya terlihat jungkir balik di udara
begitu dari arah yang tak terduga melesat sebuah jaring tipis berwrna putih
mengarah ke tubuhnya.
Begitu jejakkan kakinya kembali ke tanah,
sepuluh orang berjubah merah sudah mengurungnya dengan rapat. Salah seorang
berjubah merah dengan cambang bawuk meranggas di wajahnya, tampak tersenyum
simpul kearah wanita anggun tersebut.
“Angin apa, yang membawa nyai Larasati
menyambangi tempat kami yang buruk ini...” ujar sosok tinggi besar berjubah
merah lantang.
“Kau yang bernama Geni Siji...?”
kata wanita anggun itu tegas, tanpa menjawab pertanyaan orang.
“Ah, sebuah kehormatan seorang
wanita cantik mengenali ku...” jawab Geni Siji datar.
“Dengar, mulai saat ini. Kalian
semua harus tunduk pada perintah ku…!!” kata wanita anggun itu lantang.
“Apa kami tidak salah dengar
atau nyai yang salah bicara...” tandas Geni Siji sambil mengusap-usap ke dua
telapak tangannya.
“Sudahlah, kalian semua jangan
banyak bicara dan berfikir. Tunduk pada ku, atau nyawa kalian minggat ke neraka…”
nada suara wanita anggun itu mulai meninggi.
“Ck.ck.ck..jemawa sekali, anak-anak
beri sambutan istimewa pada tamu terhormat kita ini...!!” sentak Geni Siji lantang, disusul
berkelebatnya ke tujuh anak buah Geni Siji menyerang nyai Larasati atau kelak
dunia persilatan mengenalnya dengan sebutan nyai Lara Anting. Seorang wanita
yang mempunyai kemampuan sihir hitam.
Ketujuh
orang berjubah merah, terlihat lemparkan tali-temali yang langsung berubah
menjadi jaring tipis berwarna putih. Disusul, lemparan jarum-jarum tipis oleh
Geni Telu ke beberapa titik mematikan dari nyai Larasati
.
Sesaat lagi, kedua serangan yang mematikan itu akan sampai
pada lawannya. Mendapat serangan yang sangat berbahaya itu, senyum sinis
terkulum di sudut bibir nyai Larasati.
“Kalian semua tidak tahu sedang
berhadapan dengan siapa...!!” sentak nyai Larasati yang dalam hitungan detik, tubuhnya telah raib dari pandangan orang-orang
yang menyerangnya. Detik berikutnya, entah datang dari mana puluhan bayangan
pilar-pilar raksaksa tampak menyerang dengan ganas anak buah Geni Siji. Melihat
hal itu, Geni Loro, Geni Telu dan Geni Siji terjun kearena pertempuran.
Geni
Telu kebut kipas bulan sabitnya ke arah depan, serangkum angin panas membersit
dari sela-sela kipas meluncur ke arah tenggorokan nyai Larasati. Sesaat, alur
dari angin yang di timbulkan oleh kipas seakan membentur tenggorokan lawannya.
Tapi, begitu nyai Larasati kibaskan selendang merahnya. Jalur merah dari kipas
langsung musnah.
Melihat hal itu, Geni Telu keruk saku
jubahnya. Selusin jarum tipis tergenggam di tangan kanannya, namun belum sempat
senjata rahasia itu di gunakan. Kembali, jiratan selendang merah milik nyai Larasati
melibasnya hingga tubuh tambun Geni Telu terjungkal di rerumputan. Belum sempat
Geni Telu bangun, sebuah pilar raksaksa batu andesit sudah menggencetnya di tanah.
Dalam
waktu singkat, ke tujuh anak buah Geni Siji termasuk Geni Loro dan Geni Siji
sendiri roboh terjungkal ketanah dengan tubuh masing-masing tergencet pilar
raksaksa batu andesit.
“Jika aku mau, saat ini juga
tubuh kalian semua akan remuk..!!” bentak nyai Larasati lantang.
“Ampun nyai, kami menyerah...”
ujar Geni Siji tercekat.
“Apa jaminan kalian...?” tandas
nyai Larasati.
“Apapun yang nyai minta...”
gumam Geni Siji.
“Bagus…” ujar nyai Larasati
sambil jentikan jarinya. Pilar-pilar raksaksa batu andesit yang menghimpit Geni
Siji cs langsung musnah menjadi bayangan, lalu raib di sapu angin yang
berhebus.
“Telan pil-pil ini...” kata nyai
Larasati.
Sepuluh
sinar hitam, mendadak melesat. Tanpa bisa di tolak, sepuluh jalur hitam itu
masing-masing masuk ke mulut lalu amblas ke dalam perut anak buah Gani Siji cs.
“Sekarang dengarkan perintahku.
Mulai saat ini, panggil aku dengan
sebutan nyai Lara Anting. Sebar peta-peta ini pada tokoh-tokoh ternama, baik
dari kalangan rimba hijau ataupun rimba hitam persilatan. Katakana pada mereka,
di hari ke tujuh belas bulan Sembilan mereka harus datang ke tempat yang ada di
dalam peta itu. Tebar rumor, siapapun yang menghendaki harta terpendam harus
bisa mendapatkan dahulu sebuah kitab pusaka. Setelah mereka masuk kedalam
perangkap, kalian habisi satu persatu…mengerti...” kata nyai Larasati lantang.
“Baik, nyai Lara Anting… kami
mengert” ujar Geni Siji cs berbarengan.
“Jika kalian berhianat, racun
yang kalian telan akan membunuh secara otomatis. Dan jika waktu yang aku
tentukan tiba, kalian semua akan mendapat penawarnya. Sekarang, pergilah...” ujar nyai Larasati lantang.
Tidak
menunggu aba-aba dua kali, Geni Siji cs langsung meninggalkan tempat itu di
iringi pandangan tajam nan dingin dari
wanita anggun dengan bunga kantil terselip di gelung rambutnya tersebut.
“Nyai Tenung Ireng, semua
cita-cita mu. Menguasai rimba hijau dan hitam persilatan, sebentar lagi akan terlaksana...”
gumam nyai Larasati yang kini, sosoknya telah raib entah kemana.
ooOoo
Mentari
sepenggalah, ketika Sanjaya atau Sada
Lanang menginjakkan kaki di perbatasan perdikan Welangun. Dengan masih
mengenakan caping lebar dan tongkat berujung sapu lidi, pemuda dengan parut
melintang di pipi kirinya itu sampai di sebuah pedataran.
Di mana sejauh mata memandang, beberapa pokok pohon cemara melingkari sebuah
lembah nan subur itu. Dan di bawah
lembah itu, berdiri dengan kokoh sebuah rumah panggung yang baik dinding dan
atapnya terbuat dari rotan.
Didepan halaman rumah, seorang perempuan
separuh baya terlihat mengawasi seorang gadis berumur sepuluh tahun yang sedang
berlatih pedang terbuat dari akar rotan.
“Sekar…, istirahat dulu nduk..”
ujar perempuan separuh baya sembari duduk di langkan rumah.
“Sebentar lagi nek…, Sekar harus
merampungkan jurus yang di ajarkan biung Pitaloka kemarin...” ujar gadis cilik
ini sambil terus memainkan jurus-jurus dengan semangatnya
Mungkin
karena terlalu bersemangat berlatih, pegangan pada gagang pedang yang terbuat
dari akar rotan itu menjadi licin oleh keringat dan terlepas dari pegangannya.
Bilah rotan itu terus meluncur dengan deras
dan tak di duga mengenai caping bambu yang di kenakan oleh Sada Lanang. Karena terkejut,
pemuda dengan parut melintang di pipi kirinya
itu sampai jatuh terduduk.
Melihat pedang mainannya mengenai seseorang, dengan
panik Sekar Wangi segera memburu pedang mainannya. Dalam satu jejakan kakinya
ke tanah, tubuhnya melesat bagai kilat ke udara. Dan dalam hitungan detik,
pedang rotan sudah berada kembali di telapak tangan kanannya.
“Paman tidak apa-apa…?” kata Sekar Wangi sambil membantu Sada Lanang
berdiri. Gadis kecil itu
terperanjat, manakala menatap wajah Sada Lanang. Wajah itu sangat mirip dengan
bapanya Sungging Prabangkara. Yang membedakan, hanya parut melintang di pipi kirinya.
“Siapakah paman ini, mengapa
wajah paman mirip dengan bapa...?” ujar Sekar Wangi keheranan.
Kejadian
tadi, tidak luput dari perhatian wanita
paruh baya yang juga berlari mendekati sekar Wangi. Begitu sampai tiga langkah
di hadapan Sada Lanang, wanita paruh baya yang tak lain dari Welas sama
terperanjatnya dengan Sekar.
“Biung…, biung Welas...” ujar
Sada Lanang terbata-bata menyebut Biung, pada Welas.
“Rajah Kala Cakra…, kau..Sanjaya…anak
biung…?” ujar welas sambil merangkul Sada Lanang. Ibu dan anak yang terpisah
selama belasan tahun itu larut dalam tangis kebahagiaan.
“Nenek…, paman ini siapa…?” kata
sekar Wangi yang masih tertegun di tempatnya.
“Sekar…, paman ini anak biung. Saudara kembar bapa mu,
paman mu sendiri...” ujar Welas sambil mengusap wajah mungil bocah perempuan
itu.
Tidak
berapa lama, dari dalam rumah panggung
muncul Sungging prabangkara dan istrinya Dyah Pitaloka. Keduanya sama tertegun,
menatap Sada Lanang. Sekar wangi langsung berlari menyongsong bapanya.
“Bapa, biung, paman itu saudara
kembar bapa..” ujar Sekar Wangi yang langsung di gendong oleh Sungging
Prabangkara.
Sungging
Prabangkara yang masih menggendong Sekar Wangi lantas menyalami Sada Lanang.
“Sanjaya, kau memang benar
Sanjaya...” ujar Sungging Prabangkara begitu melihat Rajah Kala Cakra di dada
Sada Lanang. Detik berikutnya, saudara kembar yang terpisah belasan tahun itupun saling berangkulan penuh haru.
“Maap kan saya biung, mungkin
saya tidak akan berlama-lama di sini. Ada sesuatu yang harus saya selesaikan...”
ujar Sada Lanang pelan.
“Sanjaya, apa dirimu tidak
kangen pada biung dan Sungging Prabangkara saudara kembar mu..?” kata Welas di
sela isak tangisnya.
“Saya sangat kangen sekali
biung. Tapi, ada urusan yang belum saya selesaikan...”
“Kau mau kemana lagi Sanjaya, dan
urusan apa lagi yang musti kau selesaikan…?” ujar Welas lirih.
Tanpa
di minta dua kali, Sada Lanang menceritakan semua kisah yang di alaminya di
hadapan Welas, biungnya. Sungging Prabangkara dan Dyah Pitaloka Yang tentunya
sebagian kisah itu, sudah Welas ketahui dari Sungging Prabangkara yang di sampaikan
melalui bapanya sendiri Resi Mahesa Jenar, ketika menggembleng Sungging
Prabangkara di puncak Mahameru.
“Baiklah Sanjaya, kalau itu
memang tekad mu. Biung hanya bisa merestui dirimu...” ujar Welas sendu, sisa
butiran bening masih mengambang di pelupuk mata wanita paruh baya itu.
“Sanjaya, jika sudah sampai di
Padjajaran. Berikan patrem saka domas ini pada Anggalarang. Kelak, jika Anggalarang sudah beristri. Patrem Saka
Domas itu harus di berikan pada istrinya...” ujar Dyah Pitaloka sambil
menyerhkan sebilah keris kecil tanpa eluk pada Sanjaya.
“Akan saya sampaikan gusti
putri...” ujar Sanjaya sambil merangkapkan kedua telapak tangannya di depan
dada.
Di
iringi tatapan sendu Welas biungnya, Lambaian tangan Sekar wangi keponakannya,
Senyum simpul Dyah Pitaloka dan anggukkan tegas Sungging Prabangkara. Dengan
mantap, Sada Lanang meninggalkan perdikan Welangun. Tujuan pemuda itu satu, Padjajaran.
ooOoo
Mentari
hari ke tujuh belas di bulan kesembilan bersinar dengan teriknya. Namun tak
lama, mendung hitam terlihat berarak menutupi matahari. Pedataran seratus pilar
raksaksa atap langit padang rumput teki tampak temaram, rinai hujan mulai
menitik ke bumi. Di awali sambaran kilat dan gelegar samar di angkasa, hujan
badai terlihat mengguncang pedataran seratus pilar raksasa batuan andesit yang dengan
lebatnya.
Di
sebuah cegukan bebatuan karang, dua
sosok tubuh tampak mendekam sembari mengawasi pilar-pilar raksaksa batu andesit
yang tampak di guyur hujan lebat. Seorang wanita tua, dengan tutup kepala
seperti tanduk kerbau terlihat membisikkan sesuatu pada teman di sebelahnya.
Seorang tua berjubah putih dengan rambut, jambang, kumis serta jenggot dengan
warna yang senada.
Kedua
sosok, yang mendekam d dalam cegukan
batu cadas itu tak lain dari Sabai Gadang Nan kayo dan Teja Putih. Sudah dari
hari ke tujuh, ke dua orang itu menyatroni kawasan seratus pilar raksaksa atap
langit batu andesit.
Berbagai macam peristiwa pembantaian para
pesilat baik dari golongan rimba hijau maupun rimba hitam sudah di lihatnya
dengan mata nanar dan tengkuk dingin. Di
mana, jasad-jasad para pesilat, pendekar maupun jawara. Terbenam, di dasar
pilar-pilar batu andesit. Setelah terlebih dahulu, beberapa bayangan merah
dengan jaring dan jarum halus panjang menyerangnya dengan licik.
“Teja Putih, ternyata dugaan
kita selama ini benar adanya. Semua ini hanya jebakan...” ujar perempuan tua
dengan tutup kepala seperti tanduk kerbau pelan.
“Betul Inyiek, dan wanita yang
bernama nyai Lara Anting itu sangat bengis dan kejam...” bisik Teja Putih
pelan.
“Lebih baik, kita kembali ke
Swarnabhumi. Tidak ada untungnya kita tetap berada di pulau Jawadwipa ini...”
ujar Sabai Gadang Nan kayo datar.
“Apa Inyiek tidak ada niat
membalas kematian Merah, Jingga dan Kuning...?” kata Teja putih geram.
“Sudahlah Teja Putih, apa
gunanya. Biarlah, para sesepuh dari rimba hijau dan rimba hitam yang mengurus
wanita iblis itu...” gumam Sabai Gadang Nan kayo pelan.
Belum
sempat keduanya beranjak dari tempat persembunyian, dari arah barat daya padang
ilalang. Di tengah lebatnya guyuran hujan badai yang semakin mengganas. Satu
sosok bayangan kelabu, tampak jejakkan kaki satu tombak di depan pilar-pilar
raksaksa batu andesit
.
Teja Putih yang masih mendekam di sebuah cegukan batu cadas terlihat kernyitkan
dahi, bilamana sosok kelabu yang baru
datang itu melangkah lebih dekat ke kawasan padang rumput teki.
“Teja Putih ada apa, kau
mengenal orang yang baru datang itu...?” bisik Sabai Gadang Nan Kayo.
“Dia sahabat lama saya Inyiek, ki
Ketapang Reges dari padepokan Galunggung. Saya harus memperingatkannya dari
jebakan maut yang akan menyerangnya dengan licik…” ujar Teja Putih yang hendak
keluar dari tempat persebunyiannya.
Tapi, kembali Teja Putih urungkan niatnya bilamana
di depan sana sepuluh orang berjubah merah kini sudah mengepung orang yang
bernama ki Ketapang Reges dengan rapat. Tujuh diantaranya terlihat
memutar-mutar jaring putih halus dengan cepatnya. Sedang, tiga bayangan merah dengan cepat melancarkan
serangan ke tiga titik mematikan dari ki ketapang Reges.
“Ternyata semua ini jebakan dari
kalian tiga geni…!!” bentak ki Ketapang Reges sambil susun kuda-kuda
pertahanan.
“Hahaha..., sudahlah ki
Ketapang, jangan banyak lagak. Saatnya bagi dirimu istirahat selamanya...”
sentak Geni Siji sembari lancarkan tendangan berantai kearah dada ki Ketapang
Reges.
Ki
Ketapang Reges miringkan badannya sedikit kesamping kiri, tendangan berantai
yang di lancarkan Geni Siji lewat sesenti dari dadanya. Dari arah belakang,
Geni Loro sapukan kakinya ke arah ki Ketapang Reges. Namun, rupanya orang tua
berjubah kelabu itu sudah mengantisipasi serangan tersebut. Maka, dengan sekali
jejakan kaki ke tanah. Tubuhnya terlihat melenting ke atas dan dengan sekali
gebrakan, tendangan berputar dari ki Ketapang Reges telak menghujam kepala Geni
Loro.
Lelaki jangkung, berjubah merah itu langsung
terjengkang kebelakang dan jatuh bergulingan di rerumputan. Mengetahi hal itu,
Geni Telu kebut kipas bulan sabitnya ke arah depan. Seberkas sinar panas, di sertai
lesatan jarum-jarum halus melabrak kearah Ki Ketapang Reges. Namun, dengan
sekali kibasaan ujung lengan jubah kelabunya, sinar merah panas dengan
jarum-jarum halus itu luruh amblas ke dalam tanah.
“Hentikan…!!”
Sebuah
teriakan lantang namun merdu terdengar membahana, meluruhkan dedaunan pepohonan
dari tangkainya yang langsung mengering sebelum menyentuh tanah
Satu
sosok wanita anggun, berbaju hitam
ringkas dengan bunga kantil terselip di antara gelungan rambutnya terlihat
berdiri di antara tiga geni dan ki Ketapang Reges.
“Maapkan atas sambutan yang
kurang berkenan ini, Ki Ketapang Reges...” ujar wanita anggun itu sambil
rangkapkan ke dua tangannya di depan dada.
“Siapakah nyisanak ini, apa
hubungannya dengan tiga geni…?” kata ki Ketapang Reges sambil terus menatap
wanita anggun di hadapannya dengan takjub.
“Perkenalkan, saya Lara Anting.
Tiga geni hanya menjalankan perintah saya, mohon mereka di maapkan...” kata
wanita anggun berbaju hitam ini pelan.
“Tidak masalah nyai Lara Anting,
maap apakah peta itu juga ada sangkut pautnya dengan nyai Lara…?” Tandas ki
Ketapang Reges.
“Marilah kita bicara di pondok
saya, Ki Ketapang Reges...” ujar nyai Lara Anting sambil berlalu meninggalkan
tiga geni dan ke tujuh anak buahnya.
Mau
tidak mau, ki Ketapang Reges mengikuti langkah wanita anggun itu ke arah selatan
di mana sebuah pondok mungil terlindung di balik salah satu pilar raksaksa
berada.
Begitu
melewati pintu pondok, ki Ketapang Ragas terpana. Pondok yang dari luar
terlihat begitu kecil. Ternyata, di dalamnya sangat luas dan lapang. Prabotan
mewah tampak tertata dengan apik di setiap sudut kamar, lilin-lilin berukuran
besar tampak menyala lembut menebarkan wewangian yang menemtramkan hati
siapapun yang berada di dalamnya. Dinding-dinding ruangan di lapisi semacam
bebatuan yang berkilau, begitupun langit-langitnya.
Nyai
Lara Anting mengajak ki Ketapang Reges ke sebuah ruangan yang tak kalah
indahnya dari ruang utama, di ruangan tersebut tampak sebuah singgasana terbuat
dari gading bertaburan batu-batu mulia yang berkilau begitu terkena sinar
lilin.
Di samping kiri singgasana, tampak sebuah meja
bundar terbuat dari batu pualam putih. Dan di atas meja bundar tersebut,
tergeletak sebuah kitab berwarna hitam yang memancarkan aura merah di
sampulnya. Tak lama, nyai Lara Anting
sudah tampak duduk dengan anggun di atas singgasananya.
“Silahkan duduk, ki Ketapang…”
kata nyi Lara Anting sambil menopangkan siku kanannya di pegangan singgasana.
“Terimakasih nyai Lara Anting...”
ujar ki Ketapang sambil masih terkagum-kagum memperhatikan suasana
sekelilingnya. Mata ki Ketapang Reges sesaat terlihat melirik kearah kanan, di mana
kitab hitam dengan aura merah tergeletak di atas meja dari pualam putih.
“Saya sengaja mengundang ki
Ketapang kemari untuk menawarkan sebuah kerjasama...” ujar nyai Lara Anting
pelan.
“Kerjasama dalam hal apa nyai...?”
ujar ki Ketapang Reges datar.
“Sebelumnya, silahkan segarkan
diri dengan minuman ini...” tandas nyai Lara Anting yang entah dari mana
datangnya, begitu jentikkan jari. Dua gelas kristal bening berisi madu,
melayang ke arah ki Ketapang Reges. Yang langsung menyambutnya dengan tangan
kanan.
“Silahkan ki Ketapang...” ujar
nyai Lara Anting ketika melihat ki Ketapang Reges belum juga meminum cairan
madu harum di dalam gelas kristal.
“Saya tidak haus nyai Lara...”
gumam ki Ketapang Reges datar.
“Ki Ketapang takut, madu itu
beracun?” ujar nyai Lara Anting yang sekali gerakan tangan kanan, gelas Kristal yang di pegang ki Ketapang Reges
terlepas lalu meluncur ke arah nyai Lara Anting yang langsung menyambut gelas
itu dan tanpa ragu meminum isinya tanpa sisa.
“Kalau madu ini beracun, mungkin
saya sudah tewas ki Ketapang...” kata
nyai Lara Anting sambil membuang gelas kristal yang sudah kosong itu ke lantai.
“Maap nyai, bukan maksud saya mengabaikan penghormatan dari
nyai Lara...” ujar ki Katapang Reges sambil rangkapkan ke dua telapak tangannya
di dada.
“Sudahlah ki Ketapang, saya
mengerti. Kewaspadaan merupakan hal yang harus di miliki oleh siapapun untuk
menghindari hal yang tidak di inginkan...” kata nyai Lara Anting datar.
“Sekali lagi saya minta maap
nyai, tadi nyai mau menawarkan kerjasama apa..?” ujar ki Ketapang Reges
berusaha mencairkan susana yang sedikit kaku.
“Ki Ketapang, mungkin sudah melihat kitab yang tergeletak di
atas meja bundar itu bukan...” tandas nyai Lara Anting sambil menggerakkan
kepalanya sedikit ke arah kanan, dimana sebuah kitab warna hitam tergeletak di
atas meja pualam.
“Apakah itu, kitab pusaka yang
menggegerkan rimba hijau dan rimba hitam persilatan itu nyai...?” kata ki
Ketapang Reges bergetar.
“Benar, kitab itu akan saya
berikan pada ki Ketapang. Asal, mau
bergabung dengan saya, menjebak sekaligus memusnahkan para jawara dan pendekar
baik dari rimba hijau maupun rimba hitam persilatan...” ujar nyai Lara Anting
lantang, membuat ki Ketapang Reges tercengang di tempat duduknya.
“Jadi, selama ini nyai Lara
Anting yang melakukan pembunuhan terhadap para pendekar-pendekar itu…?” ujar ki
Ketapang Reges yang nada bicaranya mulai meninggi.
“Benar ki Ketapang, kita berdua
bisa menjadi raja di raja dunia persilatan...”
“Maap nyai, meskipun saya
seorang pemburu hadiah dan benda-benda mustika. Tapi, untuk berbuat kelicikan
seperti yang nyai lakukan itu bukan tujuan saya...” ujar ki Ketapang Reges yang
tampak berdiri dan bermaksud meninggalkan ruangan tersebut.
Tapi
langkah ki Ketapang Reges mendadak terhenti, di rasakannya pangkal lehernya
sangat dingin. Saat itu juga, anggota badan dari ki Ketapang Reges tidak bisa
di gerakan sama sekali.
“Orang tua bodoh, saya tawarkan
madu malah memilih racun. Sekarang, rasakan akibatnya...” sentak nyai Lara
Anting. Lalu tepuk tangannya sebanyak tiga kali, dari balik dinding pualam muncul tiga sosok
berjubah merah.
“Geni Siji, bereskan orang tua
bodoh ini. Mayatnya gantung di salah satu pilar batu andesit...” sentak nyai. Lara
Anting bengis.
Salah
satu, dari tiga sosok berjubah merah ini lantas dekati ki Ketapang Reges yang
masih diam kaku bagai patung es. Mendadak, sekelebatan bayangan kelabu
menyambar sosok ki Ketapang Reges di susul suara gemerincing memekakan telinga,
membuat orang-orang yang berada di tempat itu tutup telinganya karena merasakan
seperti ribuan tawon menyengat pendengarannya. Begitu suasana kembali tenang, sosok
ki Ketapang Reges sudah tidak ada lagi di tempat itu.
“Tidak usah di kejar Geni Telu…”
ujar nyai Lara Anting, manakala melihat Geni Telu bersiap lesatkan badannya
yang tambun.
“Kalau ki Ketapang Reges lolos,
rencana kita bisa terbongkar nyai...” ujar Geni Loro lantang.
“Siapapun yang masuk ke ruangan
ini, tidak akan lolos dari Asap lilin
tuba kecubung melati…, termasuk, orang yang menyelamatkan ki Ketapang
Reges...” ujar nyai Lara Anting geram.
ooOoo
Sekitar
sepeminuman teh, begitu sosok wanita anggun dengan bunga kantil terselip di antara
gelungan rambutnya masuk ke dalam pondok bersama ki Ketapang Reges. Dua sosok
bayangan terlihat melesat bagai kilat ke atas atap wuwungan pondok, dari
kisi-kisi wuwungan yang sedikit terbuka keduanya lantas mengintai kedalam.
Kedua sosok ini tampak terkejut, begitu
melihat suasana di dalam pondok.
“Teja Putih, apa kau melihat
yang ambo lihat…?” ujar sosok dengan tutup kepala seperti tanduk kerbau itu
pelan.
“Iya inyiek, luar biasa…, pondok
yang tampak kecil di luar, ternyata seperti istana di dalamnya...” ujar Teja
Putih terkagum-kagum.
“Hati-hati dengan penglihatan mu
Teja Putih, itu sihir yang di tebar nyai Lara Anting...” tandas Sabai Gadang
Nan Kayo datar.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk
menyelamatkan ki Ketapang Reges...?”
“Tutup jalan pernapasanmu, sedikit
saja kau hirup asap lilin itu. Seumur-umur kau akan menjadi budaknya…” bisik
perempuan dengan gelang emas kroncongan memenuhi langan kanan dan kirinya itu
pelan.
Dan
ketika ki Ketapang Reges bermaksud di habisi oleh tiga geni, dengan menggunakan
jurus selaksa rencong untuk mengacaukan pendengaran yang bersumber dari puluhan gelang emas di kedua lengannya, kedua
sosok yang tak lain dari Sabai Gadang Nan Kayo dan Teja Putih melabrak masuk
dan dengan cepat menyambar tubuh ki Ketapang Reges yang saat itu tampak kaku
bagai patung pualam yang membeku.
Begitu
sampai di suatu tempat yang dirasakan aman, tubuh ki Ketapang Reges yang kaku
di turunkan dari pundak Teja Putih.
“Totokan Jari es…” gumam Sabai
Gadang Nan Kayo, Perempuan dengan tutup kepala seperti tanduk kerbau itu lantas
luruskan telunjuk dan jari tengahnya. Begitu tusukkan ke pangkal leher ki
Ketapang Reges, sebuah letupan kecil terdengar di susul gumpalan hawa dingin
menguap dari pangkal leher ki Ketapang Reges.
Orang
tua berjubah kelabu ini perlahan buka kedua kelopak matanya.
“Ki Ketapang Reges, saya sahabat
mu Teja Putih...’ ujar Teja Putih sambil membantu orang tua berjubah kelabu itu
duduk.
Namun,
ki Ketapang Reges yang sudah terbebas dari totokan jari es terlihat
kebingungan. Pandangan matanya tampak kosong, sesekali terlihat senyum-senyum
sendiri dan kadangkala bergumam tidak jelas.
“Celaka, sahabat mu ini terlalu
banyak menghirup asap lilin yang mengandung tuba kecubung melati...” kata Sabai
Gadang Nan Kayo, kecemasan tergambar jelas di raut wajahnya yang putih.
“Apa pengaruhnya Inyiek…?” tanya
Teja Putih.
“Kalau tidak cepat diobati,
Ketapang Reges akan kehilangan ingatannya secara menyeluruh...” tandas Sabai
Gadang Nan Kayo datar.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk memullihkan
ki Ketapang Reges. Inyiek…?” ujar Teja Putih khawatir.
“Kita harus membawanya ke istana
Maimun di Swarnabhumi, mudah-mudahan tabib istana bisa memulihkan ki Ketapang
Reges...” pungkas Sabai Gadang Nan Kayo.
“Mari Iyiek, hari ini juga kita bawa ki Ketapang Reges ke
Swarnabhumi…” ujar Teja Putih.
Sabai
Gadang Nan Kayo cuma anggukkan kepalanya, detik berikutnya sosok keduanya
terlihat melesat sambil mendukung ki Ketapang Reges ke arah timur laut.
Meninggalkan kawasan seratus pilar atap langit batu andesit yang masih di guyur
derasnya hujan.
ooOoo
Langkah
Sanjaya atau Sada Lanang terhenti di depan pintu gerbang keraton Padjajaran, dua
orang prajurit penjaga dengan tombak dan perisai menghalanginya masuk ke dalam
pelataran keraton.
“Ada keperluan apa kisanak
kemari…?” ujar salah seorang prajurit jaga pintu gerbang sangar.
“Maap tuan prajurit, saya mau
menghadap gusti prabu...” ujar Sada Lanang pelan.
“Kau mau melamar pekerjaan
menjadi juru resik kisanak...?” kata pengawal ini acuh.
“Maksud tuan prajurit apa…?”
ujar Sada Lanang pelan.
“Jelas-jelas kisanak membawa
sapu lidi, bukankah alat itu di gunakan untuk membersihkan daun-daun kering
yang berguguran...” menambahkan teman prajurit jaga yang satunya sambil
tersenyum.
“Sekali lagi maap tuan prajurit,
saya kemari mau memberikan sesuatu pada gusti prabu Niskala Wastu Kencana...”
kata Sada Lanang pelan.
“Apa itu kisanak, tunjukan dulu
pada kami...?” kata prajurit jaga itu tampak acuh.
Sanjaya
atau Sada Lanang lantas keruk saku baju hitamnya, sebuah tusuk konde berbentuk
keris kecil tanpa eluk terpapar di hadapan kedua prajurit jaga itu.
“Patrem..patrem Saka Domas...”
ujar dua orang prajurit jaga ini dengan muka pucat.”
“Silahkan masuk kisanak, maap
kami tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Apakah kisanak yang bernama
Sada Lanang..?” ujar kedua prajurit itu terbata-bata.
“Benar tuan prajurit, saya Sada
Lanang...”
“Silahkan masuk kisanak Sada
Lanang, gusti prabu sudah menunggu kisanak di balairung singgasana, mari saya
antar…” ujar salah seorang prajurit jaga itu sambil mengantar masuk Sada Lanang
ke dalam halaman istana Padjajaran.
Di
dalam ruangan balairung singgasana. Anggalarang yang sekarang telah di tabalkan
menjadi raja Padjajaran dengan gelar Prabu Niskala Wastu Kencana tengah
berbincang dengan pamannya, Mangkubumi Sang Bunisora Suradipati.
“Paman Mangkubumi, apa sudah ada
kabar siapa di antara pejabat istana ini yang menyewa pajineman untuk membunuh
saya...?” sabda Prabu anom Niskala Wastu Kencana pelan.
“Maap angger prabu, sejauh ini
telik sandi yang hamba sebar. Belum memberikan laporan pasti, tapi yang jelas
kita harus tetap waspada...”
“Apa yang di katakana paman
mangkubumi benar, kita jangan terlalu curiga tapi kewaspadaan tetap harus di tingkatkan
paman Mangkubumi...” sabda prabu Niskala
pelan, Mangkibumi Bunisora tampak menganggukkan kepalanya.
“Angger prabu, sudah mendengar
kabar akhir-akhir ini dari Majapahit…?”
“Kabar apa itu paman Mangkubumi…?”
“Setelah wafatnya mahapatih
Gajah Mada dan mangkatnya prabu Hayam Wuruk. Tahta Wilwatikta di bagi menjadi
dua oleh Prabu Hayam Wuruk. Antara Bre Wirabumi dan Wikramawardhana. Namun,
sekarang kedua trah Wilwatikta itu berselisih pahan yang mengakibatkan perang
paregreg. Kini, kedua dinasti itu tengah
mencari sekutu, bagaimana pendapat angger Prabu...”
“Paman Mangkubumi, diantara dua
kekuatan yang sedang bertikai. Ada baiknya, kita menjadi penengah tidak memihak siapapun, karena
peperangan hanya akan menyengsarakan kawula alit...” sabda pabu Niskala Wastu
Kencana Tegas.
Tak
lama, pintu balerung singgasana terbuka. Seorang prajurit jaga tampak
menghaturkan sembah bakti sambil membawa Sada Lanang.
“Paman Mangkubumi, Ini tuan Sada
Lanang yang pernah saya ceritakan...” ujar Prabu Niskala Wastu Kencana di sambut
anggukan dan senyum ramah dari Mangkubumi Bunisora Suradipati.
“Maap gusti prabu, hamba datang
kemari bermaksud mengabdi pada Padjajaran. Sekaligus menyampaikan amanat dari
perdikan Welangun…” ujar Sada Lanang pelan.
“Amanat apakah itu, tuan Sada
Lanang...?”
Sada
Lanang, lantas angsurkan tusuk konde
berbentuk bilah keris tak ber eluk pada prabu Niskala Wastu Kencana yang menyambutnya
dengan mata berbinar dari raja muda Padjajaran itu. Sekaligus, menyampaikan
pesan dari Dyah Pitaloka agar Patrem saka Domas kelak di berikan pada
permaisuri Padjajaran.
“Patrem Saka Domas…” ujar prabu
Niskala Wastu Kencana, sembari meletakkan patrem itu di keningnya.
“Bagaimana keadaan kerabat di Welangun
Tuan Sada Lanang…?” tanya prabu Niskala Wastu Kencana pelan.
“Semua dalam keadaan baik gusti prabu...”
ujar Sada Lanang takjim.
“Syukurlah kalau begitu, kelak
saya akan kesana lagi” gumam Prabu Niskala Wastu Kencana.
“Maap gusti prabu, ada satu hal
lagi yang harus hamba sampaikan...” pungkas Sada Lanang.
“Saya sudah tahu tuan Sada
Lanang, sekarang berikan tongkat bergagang sapu lidi itu pada saya...” pungkas
prabu Niskala Wastu kencana sambil turun dari singgasananya.
Perlahan,
Sada Lanang angsurkan tongkat berujung sapu lidi yang langsung di terima prabu Niskala
Wastu Kencana dan dengan takjim. Perlahan, Raja anom Padjajaran itu usap
seluruh tubuh Sada Lanang sebanyak tiga kali dengan tongkat berujung sapu lidi
tersebut.
Letupan
kecil terdengar, asap hitam berbau busuk tampak keluar dari ubun-ubun Sada
Lanang. Lambat laun asap itu berubah menjadi putih dengan aroma kembang melati
melingkupi seluruh ruangan kedaton padjajaran.
“Tuan Sada Lanang, sekarang
kutuk yang menimpa tuan sudah sirna. Ilmu kanuragan, tenaga inti dan yang
lainnya telah kembai tuan miliki. Mulai
hari ini, nama tuan menjadi Kidang Pananjung. Sebagai abdi keraton padjajaran
yang akan mengemong putra-putri pewaris dari trah padjajaran. Silih berganti
dan wangi...” sabda Raja muda itu takzim.
“Terimakasih gusti Prabu, anugrah
ini akan hamba junjung di pundak hamba dengan rasa tanggung jawab...” ujar Sada
Lanang yang mulai detik itu bernama Kidang Pananjung.
Dalam
satu riwayat terpisah di kisahkan, Kidang Pananjung atau ki Sidum mengabdi di
Padjajaran sampai trah terakhir. Dimana, yang memerintah Padjajaran pada waktu
itu adalah raden Pemanah Rasa atau kelak di tabalkan menjadi Raja Padjajaran dengan
gelar prabu Wangi atau prabu Siliwangi.
ooOoo
Selesai
Salam Bhumi Deres Mili
TENTANG PENULIS
KUSYOTO, AMK.
lahir di Indramayu 02-07-1977 anak sulung dari dua bersaudara ini mulai
menulis sejak SMA, pria 35 tahun ini
sangat terinspirsi dengan ayahnya yang notaben sebagai sutradara sebuah
sandiwara keliling atau ketoprak yang menjamur pada masa itu, dari sanalah jiwa
jurnalnya menulis berggenre kisah fiksi legenda berlatar kerajaan muncul.
ALAMAT PENULIS
KLINIK SENTRA MEDIKA LANGUT
JL.RAYA LANGUT-LOHBENER NO.100 INDRAMAYU
NO.HP: 081380790380, 081320118558
Akun Facebook. Kusyoto,kyt
Akun twetter. kyt_twett
website. www.bhumideresmili.blogspot.com
Email. kkusyoto@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar