Malam merambat ke dini hari, hawa dingin berhembus menggetarkan gorden-gorden dari sebuah jendela rumah yang masih terbuka, seraut wajah pucat pias dengan tatapan hampa, kosong dan dalam tampak termangu dibalik jendela .
“satuuu.., duuuaaa..tigaaa..empaaatt..”
Suara lirih terdengar dari mulut mungilnya, namun tatapan matanya masih seperti tadi menerawang hampa dan dalam seakan tatapan mata itu datang dari dimensi lain dingin, gelap, sunyi dan misterius.
“limaaa..enammm..tujuuhh..”
Kembali suara parau itu terdengar dari bibir pucatnya, sementara malam semakin larut dingin dan sepi, detak-detak jarum jam dinding seakan tak mengusik sosok tubuh kurus yang masih duduk termanggu dibalik jendela, sosok ini terus mengarahkan matanya yang sayu keluar jendela, kembali dari bibir keringnya terdengar mulai menghitung angka-angka.
ooooOoooo
“selamat pagi neng dara, apa kabar pagi ini..”
Sapa mang waluyo seorang juru parkir komplek berusia tujuh puluh tahun, walau usianya terbilang sepuh mang waluyo ini selalu memakai pakaian nyentrik ala anak muda metal dengan rambut putinnya yang selalu disasak keatas.
Tapi anehnya sapaan ramah itu tidak pernah ada tanggapan dari sosok gadis ini, gadis itu tetap diam dikursinya sambil menghadap keluar jendela kamarnya..
“satuuu…duuuaaa…tiiggaa…emmpatt..”
Kembali dari bibir mungil gadis ini meluncur sebuah hitungan deret angka-angka, sedangkan mang waluyo dengan senyum-senyum simpul kembali melanjutkan perjalanannya, menggoes sepeda kumbang menuju tempatnya bekerja disebuah pasar induk sebagai juru parkir.
ooooOoooo
Suasana ruang tengah yang luas itu seakan sempit, mungkin begitu yang dirasakan sepasang suami –istri yang tengah duduk disofa sambil melihat tayangan televisi, sesekali dari sudut mata wanita paruh baya ini mengalir butiran-butiran bening meluncur deras kearah pipinya, sementara sang suami dengan penuh kasih seka butiran-butiran air mata itu.
“sudahlah bu, jangan menangis terus, nanti ibu sakit..”
“tapi pak, bagaimana dengan anak kita dara..kasihan dia, semuda itu harus menanggung beban yang berat, kalau boleh berandai-andai biarlah ibu saja yang menanggungnya..”
“bapak tahu bu, tapi kita sudah berupaya semaksimal mungkin..kita serahkan saja semuaya pada penanganan dokter dan kehendak takdir..”
“apa dokter itu tidak salah mendiagnosis penyakit anak kita pak..”
“bapak juga kurang tahu bu..tapi dari hasil tes darah dan penunjang lainnya, rasanya sudah menjawab semuanya bahwa anak kita dara menderita leukemia atau kangker darah..”
“berarti umur anak kita tinggal seminggu lagi, pak..kasihan dia..”
“bu, itu baru vonis dokter, ajal ditangan gusti Allah..”
“yah, bapak benar..”
ooooOoooo
“neng dara selamat, pagii..apa kabarnya…”
Sapaan hangat mang waluyo sang juru parkir nyentrik selalu menghiasi suasana pagi dari aktifitas gadis tujuh belas tahun ini, tapi seperti biasa tak ada tanggapan, reaksi, ataupun apapun yang bisa mengalihkan pandangan sayu dara yang selalu menerawang lurus kedepan .
“satuuu..duuuaaa..tigggaaa…emmpattt..”
Seperti biasa meluncur hitungan..hitungan dari bibir gadis ini, awalnya mang waluyo tidak begitu perduli dengan sikap gadis tetangganya ini, namun lambat laun rasa penasarannya tak bisa dibendung lagi, hingga pada satu kesempatan sang juru parkir nyentrik ini bertemu dengan bi.yuli pembantu yang bekerja dirumah dara dipasar, dan dari bi yuli lah satu misteri terungkap.
“bi, ane heran, setiap hari neng dara selalu menghitung..satu sampai sekian, sebenarnya apa yang di hitungnya bi..”
Awalnya bi yuli, Cuma diam agaknya perempuan paruh baya ini menyimpan sesuatu yang dia sendiri yang mengetahui dan tidak mau membaginya pada siapapun, namun karena didesak terus oleh mang waluyo akhirnya bi yuli mau berbagi cerita.
“kuntum-kuntum daun melati ..”ujar bi.yuli bergetar
“kuntum daun melati, maksud bi yuli..”
“neng dara menderita leukemia, dan dokter telah memvonis umurnya Cuma bertahan hingga seminggu..”
“lantas apa hubungannya dengan kuntum daun melati..”
“neng dara tengah menghitung hari kematiannya sendiri…”
“ahh..bi.yuli ini..membuat ane tambah bingung..”
“didepan jendela neng dara tumbuh rumpun melati yang menempel ditembok, setiap hari kuntum melati yang jatuh dan berguguran ditanah selalu dia hitung , dia beranggapan ketika kuntum daun melati terakhir gugur, maka saat itulah dirinya juga akan meninggal..”
“ah..sudah sedemikian putus asanya neng dara..” gumam lirih mang waluyo.
ooooOoooo
Enam hari kemudian
“sattuuu..duuuaaa..tiggaaa..emmpatt..”
“neng dara makan dulu, dari kemarin makanan yang bibi buat tak disentuh sedikitpun..nanti neng dara sakit..”
“saya sakit bii, dan sebentar lagi meninggal seperti gugurnya kuntum daun melati yang tinggal satu itu..” gumam gadis ini sambil menunjuk kedepan.
Bi yuli tersentak, diarahkan pandangan matanya ketembok dimana rumpun melati berada, dan benar saja..disana Cuma tersisa satu kuntum daun melati ditangkainya.
“bi..jika kuntum itu jatuh..saya juga akan meninggal bi..begitukan bi..”
“neng dara jangan bilang begitu, bibi sedih mendengarnya..”
Hari ke Tujuh
Sinar mentari pagi semburat menembus kisi-kisi jendela dara, pagi itu seperti biasa setelah mandi dan sarpan gadis manis ini membuka jendelanya, sinar mentari menerpa wajahnya yang imut sedang hembusan angin segar mengurai rambutnya yang panjang sebahu, diarahkan mataya kerumpun bunga melati yang menempel didinding gerbang rumahnya, disana satu kuntum daun melati masih tersisa.
Dara terus mengawasi kuntum daun terakhir yang masih ditangkainya itu, hari merambat siang dara terus melihat kuntum terakhir dari daun melati, karena lealah akhirnya gadis ini tertidur dikursi rotannya, dan ketika bangun disore harinya kuntum terakhir dari bunga melati itu masih ada ditangkainya.
Hidayah Allah akan datang dari jalan manapun, begitupun dengan gadis ini, perlahan semangat hidupnya mulai bangkit , berjam-jam lamanya menanti gugurnya kuntum daun melati yang sepertinya enggan meninggalkan tangkainya.
“kuntum daun melati itu saja bisa bertahan dan tegar walau tinggal satu, mengapa saya tidak..”
Begitu kira-kira yang ada dipikiran gadis ini
“sudah hari ketujuh, namun saya masih bisa menatap mentari..”gumamnya.
Gadis ini terus merenung, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang kurang dipagi ini..apa ya..fikirnya..
Oh..ya..sapaan hangat dari mang waluyo, juru parkir nyentrik itu pagi ini sampai siang begini belum Nampak wajahnya yang lucu itu dan juga suara deritan sepeda kumbangnya, kemana ya mang waluyo
Entah apa yang dipikirkan dara, namun hari ini dia sangat kangen sama mang waluyo
“bi yuli..dari mana..”
Teriak dara mana kala dilihatnya bi yuli muncul dari mulut gang
“melayat neng..”
“siapa yang meninggal bi..”
“mang waluyo neng, semalam dia ditabrak truk ketika selesai markir..”
Dengan segera dara berlari keluar rumahnya, dan langsung menuju rumah mang waluyo diikuti bi yuli, disana sudah berkumpul banyak warga didepan rumah juru parkir nyentrik ini, dibawah sebuah pohon mangga dara menemukan sebuah tangga dan sekaleng cat beserta kuasnya.
“apa yang terjadi bi..”
“semalaman, mang waluyo melukis kuntum daun melati ditembok neng dara, mang waluyo tahu kuntum terakhir pasti jatuh, makanya demi menyemangati neng dara dia melukis kuntum melati itu, tapi sayang ketika dia mau menyeberang sebuah truk menabraknya..”
“mang waluyoo..”
SELESAI
Salam Bhumi Deres Mili
Penulis